Lihat ke Halaman Asli

Yoga Prasetyo

Belajar menjadi penulis pembelajar

Ponari dan Ngepet 4.0

Diperbarui: 2 Mei 2021   09:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Batu Petir Ponari (Foto: Enggran Eko Budianto/detikcom) 

Segelintir orang membuat prank tidak lucu. Mereka membagi peran secara lengkap. Ada yang bertindak sebagai tokoh masyarakat, ada yang berperan sebagai orang kehilangan uang, ada yang berperan sebagai juru bicara, ada yang menjadi buzzer untuk mengkonfirmasi isu seolah fakta, ada yang menjalankan peran word-of-mouth sebagai media pemasaran ke seluruh kampung  bahkan ada babi tulen berpartisipasi menjadi properti sandiwara yang pada akhirnya harus digorok hingga tewas. Sandiwara itu digelar secara live premier dengan sukses di sebuah kampung bernama Bedahan di daerah Sawangan depok. 

Kita kilas balik. Sebelas tahun lalu, di Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang seorang anak kecil membuat heboh. Namanya Ponari (tanpa "Sweat", karena bukan merek minuman). Dia dan keluarganya mengklaim telah menemukan batu petir yang punya khasiat sapu jagat. Segala jenis penyakit yang bahkan dokter lulusan S3 sepuluh kali pun belum tentu bisa mengobati, di tangan Ponari semuanya tuntas. Hanya dengan modal segelas air putih, batu tersebut dicelupkan ke dalamnya, kemudian diminumkan kepada si pasien. Criinggg... semuanya sembuh! Kalau tidak sembuh, berarti Tuhan belum mengijinkan.

Kasus Ponari dan Babi Ngepet memang tidak ada hubungan. Tapi keduanya ada kemiripan. Pertama, begitu mudah masyarakat kita percaya pada hal-hal di luar nalar.  Hanya dengan bekal si ini dan si anu bersaksi bahwa itu terjadi, maka kesaksian lantas menjadi keyakinan. Padahal, agama mengajarkan kita untuk tabayyun, fact finding, investigate. Padahal, agama mengajarkan kita iqro'. Bacalah! Bacalah! Baca itu bisa menjadi kata kias yang mempunyai makna sangat luas. Bukan hanya baca dalam arti mencerna tulisan, tapi "baca" sesungguhnya juga termasuk: Gunakan akal sehatmu untuk melakukan justifikasi terhadap informasi yang datang kepadamu. Kemiripan lain adalah, hal-hal yang dipandang ajaib dan di luar nalar ketika dikuti alur ceritanya, pada akhirnya berujung pada motivasi materi juga. Materi itu bisa jadi adalah uang atau sekedar ketenaran. 

Nah, selain kemiripan kasus, yang menarik justru perbedaannya. Kasus Ponari terjadi lebih dari satu dekade lalu, pada saat sosial media belum seaktif dan semasif sekarang. Bahkan istilah 4.0 belum terlalu banyak digunakan sebagai jargon. Sementara, kasus Babi Ngepet terjadi pada era yang konon, masyarakat kita sudah memasuki era transformasi digital. Era di mana tidak hanya milenial saja yang aktif mengkonsumsi konten digital, tetapi generasi baby boomers juga dipaksa berakrab-akrab dengan gawai ketika harus melakukan pertemuan-pertemuan secara virtual dalam pekerjaan atau aktivitas kesehariannya.

Sebuah premis bisa saja mengatakan bahwa era digital adalah era rasional. Tetapi faktanya, dinamika sosial jauh lebih kompleks dari hal itu. Kemajuan teknologi digital tidak selalu berbanding lurus dengan kemajuan berpikir secara rasional. Bahkan fenomena yang belakangan terjadi adalah adalah suksesnya oknum-oknum tertentu menunggangi teknologi digital dengan mitologi takhayul untuk kepentingan sesaat. Celakanya, tidak sedikit yang menelannya bulat-bulat.

O ya, sekedar informasi. Bicara tentang Ponari, sekarang dia sudah remaja. Dan menurut penuturannya, setiap hari masih ada 3-5 orang datang kepadanya untuk berobat.

Selamat datang pada era Ponari Ngepet 4.0!

  

 

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline