Lihat ke Halaman Asli

Edid Teresa

Gak Ket Hai Gaku

Tingul dan Jintot, New Normal bagi Masyarakat Manggarai

Diperbarui: 3 Juni 2020   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Pribadi

Kejenuhan manusia akibat pandemi covid 19 sudah mencapai titik puncaknya. Lock down, karantina massal, pembatasan sosial, pembatasan fisik, dan aneka pembatasan lainnya ternyata tidak cukup untuk memutus rantai penyebaran covid 19.

Semua pembatasan yang mewajibkan setiap orang untuk melakukan segala sesuatu dari dalam rumah ternyata kehilangan daya magisnya untuk memberhentikan laju penyebaran pandemi itu.

Yang ada malah sebaliknya. Grafik penularan meningkat. Angka kematian terus bertambah setiap hari meskipun dibarengi menigginya angka pasien yang sembuh. Dalam situasi ketidakpastian perihal kapan virus ini akan berakhir, muncul slogan baru yang sangat radikal yaitu 'berdamai dengan covid 19'.

Perdamaian itu diimbangi dengan semboyan untuk memulai hidup yang dijuluki dengan 'new normal (normal baru)". Tulisan ini hendak menggali paradigma berpikir di balik narasi agung 'berdamai dengan covid 19'.

Disiplin Masyarakat yang Rendah
Narasi agung 'berdamai atau hidup berdampingan dengan covid 19' sesungguhnya lahir dari rasa putus asa setelah semua usaha untuk memutus rantai penyebaran covid 19 di anggap 'gagal'. Orang tidak lagi disiplin untuk tinggal dalam rumah selama masa karantina.

Ide tentang pembatasan sosial dan fisik tampak bertepuk sebelah tangan. Larangan untuk mudik juga tidak diindahkan. Padahal semua upaya itu berkaitan dengan hidup-matinya manusia.

Mengapa semua usaha untuk memutus rantai penyebaran covid 19 tampak gagal? Ada variasi jawaban yang dikemukan. Banyak orang akan menjawab bahwa inkonsitensi pemerintah beserta jajarannya dalam membuat peraturan menjadi penyebab kegagalan semua usaha itu. 

Pemerintah baik pusat dan daerah tidak sejalan dalam membuat peraturan. Kalau dilihat lebih dalam jawaban itu sesungguhnya sangatlah naif. Logikanya sangat sederhana. Perkara covid 19 sesungguhnya menyentuh persoalan tentang hidup dan mati. Itu berarti setiap orang mesti bertanggungjawab dengan hidupnya masing.

Semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah sifatnya tawaran. Jika ingin hidup dan terhindar dari penularan covid 19 maka harus menaati protokol dan peraturan yang dibuat dan ditetapkan pemerintah berupa pembatasan sosial dan fisik serta melakukan segala sesuatu dari dalam rumah.

Sebaliknya. Jika menolak dan melanggar tawaran yang diberikan oleh pihak pemerintah berarti memilih untuk tertular covid 19 yang mematikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline