Gebrakan menteri pendidikan dan kebudayaan Repoblik Indonesia sejak awal dilantik oleh Presiden Joko Widodo sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia. Kesuksesannya membawa bisnis online Gojek telah memberi harapan besar kepada masyarakat bahkah dunia. Harapannya, apa yang sudah dilakukan oleh Nadiem Makarim di Gojek begitulah juga terhadap wajah pendidikan Indonesia. Bukan tanpa alasan ketika banyak orang mengharapkan hal tersebut dilakukan.
Berkaca pada sistem pendidikan Indonesia dari masa ke masa, wajah sistem pendidikan di Indonesia masih begitu-begitu saja. Sistem kurikulum yang selalu diganti kerap kali menimbulkan persoalan. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa, sistem kurikulum yang selalu berubah malah menjadikan pendidikan di Indonesia semakin tidak terarah.
Satu point yang menjadi persoalan tanpa masalah adalah kerinduan untuk meniadakan UN. Entahah, atas dasar apa kerinduan untuk menghapus UN sebegitu meriah untuk dibahas. Jangan-jangan ada yang menyimpan spekulasi banyak-banyak dibalik terselenggaranya UN?
Lagi-lagi kita yang tidah banyak tahu tempe tidak akan pernah tahu mengapa hal itu sangat menarik untuk dibahas. Karena, pada akhirnya UN akan tetap menjadi tolok ukur pertama kesuksesan belajar seseorang. Terbayangkan perjuangan 3 tahun di bangku SMP dan SMA hanya dikupas tuntas dalam waktu 3-4 hari. Belum lagi mata pelajaran yang uji adalah mata pelajaran pilihan. Sebut saja, Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan mata pelajaran kekhususan jurusan. Mengapa bukan mata pelajaran Penjas dan Seni Budaya sih yang diuji? Kan saya paling mahir dalam mata pelajara itu.
Sebenarnya, bukan soal mahir sih sehingga saya sebegitu greget merindukan mata pelajaran Penjas dan Seni Budaya sebagai mata pelajaran yang dipilih untuk diuji pada saat UN. Toh, kita tinggal membunyikan not satu sampai delapan. Hitung per ketukan. 1 seper delapan. Lagu Indonesia Raya dimulai pada pukulan keempat.
Lalu, Penjas hanya membahas luas lapangan. Panjang lapangan misalna 110 meter dan lebar lapangan 90 merter misalnya. Sudah begitu. Jika demikian yang terjadi wacana penghapusan UN bukan sebagai momok yang perlu dinantikan oleh masa termasuk saya. Namun, dunia pendidikan di negeri Indonesia seakan tidak berminat dengan mata pelajaran ugal-ugalan terebut.
Oleh karenanya, Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan mata pelajaran jurusan akan tetap menjadi syarat utama menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan melalui sistem UN. Bukan tanpa sebab mengapa UN menjadi masalah. Beberapa mata pelajaran tersebut dianggap sukar untuk ditemukan jawabanya. Yang meskipun guru mata pelajaran telah menyediakan jawaban dipilihan ganda. Toh, kita hanya tinggal memilih. Asalkan saja, pilihlah jawaban yang paling benar! Begitu suruhan atau perintahnya.
Alih-alih perintah untuk memilih jawaban yang paling benar, bukankah kita mesti berpikir? Misalnya, disediakan teks Bahasa Inggris lalu panjang sampai 3 paragraf. Dengan sejumlah kosakata menarik perhatian otak untuk segera menstranlate. Lantas, dengan indahnya sebuah pertanyaan sebagai soal muncul " What purpose of the text?" atau " The genre of the text is?". Di bawah soal akan muncul beberapa opsi jawaban. A bla..bla..B la..bla. C bla..bla. dan D bla..bla. lagi-lagi otak kembali diajak untuk berpikir. Kadang, frustasi menjadi pilihan terakhir ketika berhadapan dengan soal-soal demikian.
Bukan kah masih ada pertanyaan lain? Misalnya, disediakan soal Matematika tentang Phytagoras. Jumlah soal ada 4 nomor. Nomor satu, dengan pertanyaan siapakah yang membuat soal tersebut? Muncul salah satu opsi dijawaban " Guru Matematika" toh rame-rame satu kelas akan memilih jawaban tersebut, kan? Nomor 2, dengan pertanyaan " siapakah yang menemukan teori Phytagoras?" yah, yang pasti jawabanya adalah Phytagoras. Tidak perlu repot untuk berpikir. Tidak perlu susah untuk menentukan jawaban. Toh, jawabannya semua benar.
Lagi-lagi, negeri kita tidak suka dengan soal yang ugal-ugalan. Sebagai sebuah Negara yang ingin maju, negara tentunya inginkan masyarakat berkembang menuju arah yang lebih baik. Salah satunya melalui pelaksanaan UN. Alhasil, seluruh rangkaian kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan tanah air berorientasi pada usaha bagaiaman caranya agar siswa-siswi dapat lulus UN. Konsekuensinya ialah, aspek kognisi mendapatkan porsi yang cukup besar dalam proses pembelajaran. Sedangkan aspek yang lain, seperti afeksi dan motorik mendapatkan porsi yang relatif kecil. Padahal, kalau dipikir-pikir bersama oleh Negara Indonesia dengan kita kecuali saya tidak semua orang dengan aspek koginisi tinggi mempunyai batas kemampuan lebih.
Ada beberapa orang yang mempunyai aspek kognisi katakana kurang namun aspek afektif dan aspek motoriknya lebih dari aspek kognisi. Saya tidak mampu menulis dengan baik tetapi saya mampu membaca dengan baik. Saya tidak bisa berbicara tetapi saya bisa membawa motor. Logika sederhananya demikian.