Akhir-akhir ini, dunia pendidikan tanah air diramaikan dengan wacana Menteri Pendidikan untuk menghapus Ujian Nasional (UN). Ada yang gembira dalam menyambut wacana itu.
Namun tidak sedikit juga yang resah. Yang gembira umumnya mereka yang berdiri pada barisan pro untuk penghapusan UN. Yang resah sebaliknya. Mereka berdiri pada barisan yang ngotot agar UN tetap dipertahankan.
Dalam tulisan ini, saya hendak menyoroti UN sebagai momok yang dilematis bagi dunia pendidikan di tanah air. Karena itu saya menyebut UN sebagai buah simalakamanya dunia pendidikan.
UN, Momok yang Menakutkan
Bagi anak sekolah, UN merupakan momok yang menakutkan. Mengapa? UN menjadi patokan dan tolok ukur satu-satunya bagi berhasil tidaknya siswa dan siswi dalam menyelesaikan sekolahnya.
Artinya, semua proses pemelajaran yang dijalani siswa-siswi di bangku sekolah tidak memiliki arti apa-apa di hadapan soal-soal UN yang harus mereka kerjakan hanya dalam rentang 3-4 hari. Logikanya, rentang waktu 3 tahun (baik SMP maupun SMA) tidak memiliki arti apa-apa di hadapan hitungan 3-4 hari waktu UN.
Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik (baca: siswa-siswi) baik kognisi, afeksi, maupun motorik dalam rentang waktu 3 tahun sekolah tidak memiliki arti apa-apa di hadapan UN.
UN sebagai satu-satunya barometer untuk menguji lulus tidaknya peserta didik menjadikan visi dan arah semua prose belajar-mengajar tertuju pada UN. Artinya, seluruh rangkaian kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan tanah air berorientasi pada usaha bagaiaman caranya agar siswa-siswi dapat lulus UN.
Konsekuensinya ialah, aspek kognisi mendapatkan porsi yang cukup besar dalam proses pembelajaran. Sedangkan aspek yang lain, seperti afeksi dan motorik mendapatkan porsi yang relatif kecil.
Perbedaan tekanan dalam proses pembelajaran di atas tidaklah bisa dipersalahkan. Para pengajar mau tidak mau mencurahkan seluruh proses dan kegiatan mengajarnya pada usaha untuk mencetak siswa-siswi yang siap menghadapai UN.
Proses pengajaran yang berfokus pada usaha untuk menjawab dan memecahkan soal-soal UN menjadi jurus jitu dalam metode pengajaran. Sehingga tidak mengherankan bila aspek lain selain kognisi mendapatkan porsi yang relatif kecil (untuk mengatakan hampir tidak ada) bila dibandingkan aspek kognitif.