SETELAH Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) terbentuk, pusaran parpol berputar kencang. Partai Gerindra dan PKB menyepakati koalisi bahkan diusulkan nama koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR). Menyusul kemudian Nasdem berhasil memikat PKS dan Partai Demokrat.
PDIP bagai terancam kehilangan teman. Namun, jangan salah sangka. Jika banteng sudah mengamuk ketiga koalisi itu bisa diobrak-abrik dalam sekejap. Ketika partai banteng berhasil menyusup ke salah satu koalisi dengan tawaran yang menggiurkan, pasti kesepakatan koalisi mereka bakal tergoncang.
Jika PDIP menawarkan posisi calon presiden kepada Prabowo Subianto maka pasukan Hambalang sudah pasti akan merapat ke Teuku Umar, rumah Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Demikian pula jika menawarkan Airlangga Hartarto sebagai capres maka KIB yang terdiri Partai Golkar, PPP, dan PAN dipastikan siap merapat.
Namun, tidak mungkin PDIP menawarkan posisi bakal capres dan cawapres kepada Anies Baswedan yang diusung Surya Paloh atau Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk berduet dengan Puan Maharani. Hal yang mustahal juga, PDIP menawarkan posisi ke PKS. Dalam Hal ini PDIP telah menutup pintu kepada trio: Nasdem-PKS-Demokrat.
Dalam hal ini, musuh sejati PDIP tampaknya kubu yang hendak dibangun Surya Paloh. Hal itu juga sudah muncul sejak Megawati dan Surya tidak mesra ketika terbentuknya kabinet kerja Jokowi periode kedua lalu.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidato Rakernas II menyatakan menolak diksi koalisi, ia hendak mengembalikan fitrah sistem presidential yang sebenarnya tidak mengenal koalisi. Megawati menyebutkan kerja sama antar partai politik.
Sejenak apa yang disampaikan Presiden kelima RI benar. Sistem parlementer yang mendengungkan koalisi dan oposisi tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan RI. Namun, sistem multi partai di Tanah Air dan kebijakan presidential threshold membuat parpol berkoalisi, kata lain dari kerja sama.
Kaolisi juga mutlak harus dilakukan bagi pemenang dalam Pilpres yang diimplementasikan di parlemen. Penguasaan mayoritas kursi parlemen dibutuhkan untuk melancarkan program-program yang ditetapkan pemerintah.
Artinya, kemenangan seorang capres maka harus diikuti penguasaan di parlemen. Presiden bisa tersandera atau tersandung-sandung jika tidak didukung mayoritas di parlemen di Senayan. Itu sebabnya, gabungan partai yang dalam istilah Megawati sebagai kerja sama menjadi syarat mutlak.
Dengan demikian, PDIP tetap harus menggandeng parpol lain untuk memenangkan Pemilu, baik Pilpres dan Pileg, sehingga bisa mengantarkan calon presiden ke istana dan menguasai mayoritas wakil rakyat di parlemen.
Meskipun PDIP bisa mengusung sendiri pasangan capres dan cawapres tampaknya akan sulit memenangkan pertempuran menghadapi tiga koalisi yang ada.