PASCA surat Ketum Partai Demokrat (PD) tak terbalas Jokowi. PD menarik tudingan 'restu' Jokowi kepada Kepala KSP Moeldoko. Sang Ketum PD Agus Harimurti Yudhoyono, Kamis (18/2/2021) menyatakan Jokowi tidak terlibat.
"Saya sudah mendapatkan sinyal bahwa Presiden tidak tahu-menahu tentang keterlibatan salah satu bawahannya itu. Ini hanya akal-akalan kelompok GPK-PD untuk menakut-nakuti para kader," ujar anak sulung Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.
AHY tetap pada tuduhan ada rencana kudeta atau yang disebut sebagai pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat (GPK-PD). AHY juga tetap menempatkan keterlibatan eksternal. Dalam hal ini mantan Panglima TNI Moeldoko bergabung dengan kader internal, eks kader, dan pecatan kader.
Cukup disayangkan bahwa polemik PD tersebut harus menyeret nama Kepala Negara. Seorang presiden harus masuk dalam sengkarut perebutan kekuasaan. Tidak hanya Jokowi, sebelumnya juga dikaitkan nama Menko Polhukam, Menkumham, hingga kepala BIN.
Konsep kehati-hatian tampaknya tidak dilakukan. Mungkin karena berpedoman tidak ingin kalah cepat sehingga gebrak dulu, urusan belakangan. Pertemuan yang disebut dilakukan di Hotel Aston berlangsung pada 27 Januari 2021. Rapat di Cikeas menyikapi pertemuan berlangsung pada 31 Januari 2021. AHY mengumumkan adanya kudeta pada 1 Februari 2021.
Bila mengikuti runtutan peristiwa tersebut memang relatif sangat pendek. Kesan hanya reaktif pun mengemuka ketimbang pendalaman kasus yang terjadi. Gebrakan itu memang membuat banyak orang kaget. Bukan karena PD tetapi karena ada nama Moeldoko kemudian klaim restu Istana alias dari Jokowi.
Kesan bahwa pemerintah mirip Orde Baru yang mencampuri partai politik kemudian muncul dalam persepsi publik. Sebelumnya, Partai Berkarya berhasil diambil alih Muhdi PR melalui munaslub. Kepengurusan Muhdi pun cepat disahkan Kemenkumham. Muhdi PR merupakan pendukung Jokowi.
Asosiasi publik menjadi liar bahwa pemerintah Jokowi ingin menguasai seluruh parpol. Tidak cukup dengan partai koalisi yang sudah ada, sekalipun sudah diperkuat dengan Partai Gerindra yang dalam dua Pilpres merupakan rival.
Komunikasi politik AHY tidak lagi dalam bahasa simbol tetapi sudah pada aktivitas atau serangan politik yakni bagaimana menciptakan persepsi dengan cara mempolitisasi suatu isu dengan sasaran menurunkan citra lawan dalam hal ini Jokowi demi menguntungkan PD dan AHY.
Pencitraan yang hendak dibangun bahwa PD sebagai partai di luar pemerintah tengah diobok-obok penguasa. Pengambilalihan (GPK-PD) alias kudeta merupakan strata tertinggi dalam perang politik. Dalam kasus ini diarahkan kepada politik viktimisasi.
Pola usang ini sebenarnya menunjukkan dua sisi yang saling bertolak belakang. Satu sisi ingin menonjolkan bahwa PD tengah dizalimi. Di balik itu, menunjukkan betapa lemahnya kepemimpinan AHY sebagai ketua umum.