Lihat ke Halaman Asli

Terima Kasih, Pak Wakil Kepala Sekolah

Diperbarui: 5 November 2016   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua berita di media online hari ini menyedot perhatian saya. Keduanya terkait peserta demo dan terkait perempuan. Berita pertama tentang perempuan hamil yang harus ditangani medis karena kelelahan saat ikut demo.

 Sebagai orang yang pernah mendampingi istri yang sedang hamil, saya bisa sedikit merasakan. Betapa dia butuh istirahat. Butuh sering berbaring. Betapa beratnya kalau harus berdesak-desakan dengan ribuan orang. Dalam suasana yang sulit diprediksikan lagi.

 Para pembaca berita memberikan komentarnya. Ada yang negatif, ada pula yang positif. Yang positif kurang lebih nadanya begini: “Dia sedang berjuang di jalan Allah.”

 Berita kedua, ada ibu muda yang ikut demo sampai malam. Dia membawa bayi berusia di bawah tiga tahun dan anak perempuannya yang berusia enam tahun. Suaminya juga ikut demo.

 “Kami sedang berjihad,” kurang lebih begitu alasannya ketika ditanya tentang demo itu.

 Saya terus kepikiran tentang hal itu. Jihad dan berjuang di jalan Allah. Apakah memang harus seperti itu. Saya terus-terusan bertanya dalam hati.

 Okelah kalau mereka sudah yakin tentang perjuangannya. Walau demikian saya jadi ingat sebuah kisah ketika ada ibu-ibu protes kepada Rasulullah. Protes karena tidak bisa ikut perang agar mendapatkan pahala seperti pahala lelaki berperang. Kalau tidak salah Rasulullah menjawab bahwa tugas ibu-ibu mengurus rumah tangga pahalanya tak kurang dari pahala kaum lelaki yang angkat senjata.

 Melalui media lokal, hari ini saya membaca dan melihat anak-anak sekolah yang diajak demo. Resmi dari sekolahnya. Mereka masih seusia anak-anak saya. Ada juga yang di bawahnya. Usia mereka jauh lebih muda dibandingkan saat saya ikut demo era reformasi dulu. Tuntutan mereka sama dengan yang di Jakarta, yaitu hukum harus ditegakkan bagi penista agama.

 Membaca terita tentang orang yang membela agama ini membuat saya teringat sikap hidup saya dulu. Sejak SD, kami sering menemukan tulisan tentang keterancaman agama kami dari penyebaran agama lain. Misalnya yang terjadi di Maluku. Siapa yang membuat tulisan itu kami tidak tahu. Yang jelas tulisan itu ada di sekitar sekolah. Dan tulisan itu telah berhasil membuat saya bersemangat dan bergelora untuk membela agama.  

 Bahkan, saat masih usia SD itu saya sudah mengincar satu orang jika memang terjadi perang agama. Apakah orang itu jahat? Tidak sama sekali. Bahkan dia baik. Dia sering memberi kami jambu. Mengapa dia saya incar? Semata-mata karena suku dan agamanya beda dengan kami.

 Dulu pun di sekolah saya merasa bendera merah putih harus diturunkan. Dia harus diganti dengan bendera Arab yang saya anggap itu yang benar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline