Lihat ke Halaman Asli

Catatan Kuno Edy Supratno tentang Kudus (1)

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bank, Saku

Agustus 2003

MESKI usia republik ini sudah setengah abad lebih, namun agaknya kedewasaan kita belum menyesuaikan dengan usianya. Marilah kita simak cara masyarakat menyambut peringatan hari kemerdekaan itu. Dari tingkat RT hingga tingkat yang paling tinggi tak ada bedanya. Peringatan hari lahir bangsa ini tak lebih dari upacara menaikkan bendera dengan dibumbui acara lomba-lomba dan diisi karnaval. Pendek kata, kegiatan penyambutannya lebih didominasi acara yang bersifat hiburan.

Inilah cerminan diri kita, bangsa dan negara kita. Seolah-olah kita sudah bangga dan benar-benar merdeka. Pemahaman ini tumbuh ketika kita mendefinisikan kata merdeka hanya sepotong. Merdeka hanya diartikan lepas dari jajahan bangsa asing, bangsa Belanda 350 tahun dan Jepang 3,5 tahun. Untuk itu tidak heran, sebagai ungkapan rasa suka kaburnya dua bangsa asing itu, kita langsung merayakannya, dengan panjat pinang, balap karung, pecah balon serta lomba-lomba lainnya.

Kita tak pernah mau menggali lebih dalam apa makna merdeka. Kita tak pernah sadar, bahwa apa yang dilakukan dua bangsa asing (penjajah) itu juga bisa dilakukan pemimpin dan pengelola bangsa ini. Bahkan saat ini mungkin praktiknya sedang berlangsung, yaitu korupsi, ketidakadilan, kedholiman.

Sesungguhnya, apa yang ditolak oleh pendiri bangsa ini terhadap penjajah bukan karena dia berkulit putih, bahasa pengantarnya yang tak bisa dipahami dan karena faktor agama. Akan tetapi karena praktik-praktik ketidakadilan yang diterapkan dua bangsa penjajah itu. Tidak adil karena kita tak diberi hak bicara, tak adil karena kita tak diberi hidup yang layak dan hak-hak yang bersifat asasi lainnya. Itu yang kita tolak. Sayangnya, karena setiap tahun acaranya hanya seperti itu, akibatnya makna merdeka jadi bias.

Buktinya, masyarakat masih merasa masa bodoh dengan nasib bangsa ini. Tak tahu atau tak mau tahu jika saat ini tengah terjadi penyelewengan dan ketidakadilan, baik di lingkungan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tiga komponen yang diberi wewenangan oleh undang-undang untuk mengatur keberlangsungan bangsa ini.

Di lembaga legislatif misalnya, kita tak pernah sadar, sesungguhnya aspirasi masyarakat banyak yang dikhianati oleh wakil-wakil kita. Ketika aspirasi tak sesuai dengan kemauan sebagian besar anggota wakil kita, jawabannya gampang saja. ”Akan kami tampung”. Sebaliknya, ketika kemauan mereka tak sesuai aspirasi kita, berbagai alasan dicari untuk menjustifikasi kemauan tersebut. Contoh konkret ketika anggota Dewan dengan seenaknya menentukan gajinya per bulan. Dalam kesejahteraan, para anggota wakil rakyat yang terhormat itu lebih suka merujuk pada UU No 22 tahun 1999 pasal 19 ayat 1 huruf (g), bukan PP No 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.

Padahal hakekat uang yang dipakai untuk menggaji mereka adalah uang kita, uang rakyat yang dipungut dengan bentuk pajak. Pajak jangan dipandang sempit hanya sebatas pajak bumi bangunan (PBB) atau pajak kendaraan yang dibayar setahun sekali. Tapi marilah ktia sadari bahwa setiap saat masyarakat telah menyumbangkan pajak buat negara. Ketika kita membeli sebungkus rokok, shampo, bumbu masak hingga mobil mewah, semua transaksi ini tak terhindari dari pajak.

Selanjutnya pungutan itu disetorkan ke pemerintah pusat. Oleh pemerintah pusat dikembalikan ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan DAK. Dari situlah salah satu sumber RAPBD. Dan bila kita cermati, sebagian besar dana APBD anggarannya tersedot untuk menggaji pegawainya, termasuk menggaji anggota wakil rakyat. Tapi mengapa kita diam saja, ketika Dewan dengan seenaknya menggaji dirinya sendiri dengan ukuran yang di atas normal. Belum lagi jika anggaran itu digunakan untuk plesir dengan kemasan kunker, kita tak pernah tanya, apa tujuan kunker dan mana hasilnya.

Contoh yang paling gamblang lagi dan sering dijumpai ketika pilkada. Baik pemilihan gubernur atau bupati tak pernah sepi dari aroma money politic. Termasuk Pilkada Kudus yang telah mengantarkan Ir HM Tamzil dan Hj Noor Haniah sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kudus periode 2003-2008. Tapi, sayangnya, lagi-lagi masyarakat kita cuek.

Padahal pemilihan kepala daerah yang didasari oleh money politic sudah pasti akan mengorbankan atau mengesampingkan semua kepentingan. Hanya ada satu kepentingan, yaitu money alias uang. Hal itu sama artinya anggota Dewan telah mengabaikan hati nurani dan kepentingan masyarakat.

Seandainya pun ada unjuk rasa, aksi itu lebih disebabkan karena dimobilisir oleh kelompok-kelompok tertentu. Bukan karena berangkat dari kesadaran sendiri. Apalagi saat ini unjukrasa sudah merupakan lapangan kerja baru. Sehingga tidak heran, ketika ada ratusan orang yang ikut aksi namun tak tahu persoalan yang sesungguhnya.

Tapi semuanya telah terjadi. Itu semua karena kita terlalu lama mengisi hari kemerdekaan itu dengan panjat pinang dan balap karung. Akibatnya kita sering keliru memandang visi perjuangan yang dilakukan para pemimpin. Kita tak bisa membedakan mana pemimpin yang benar-benar memperjuangkan bangsa(ku) atau pemimpin yang hanya memikirkan bank dan saku. (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline