Lihat ke Halaman Asli

Edi Subroto

Pemerhati Sosial

Masalah Korupsi di Indonesia

Diperbarui: 22 Februari 2022   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang menjadi penghalang negara mengelola keadilan? Salah satu jawaban yang dapat diberikan adalah “praktik korupsi”. Problem ini kerap muncul, lalu mengusik kesadaran kita. Problem yang disuguhkan dan menggugat kewarasan bernegara. 

Tiap-tiap orang jengah dengannya, tetapi meresponnya dengan pesimis. Ia dianggap telah melembaga, bahkan menghabitat. Kasus korupsi telah melibatkan lintas personal yang berkelindan. Sebagian orang menganggap memeranginya adalah percuma. Selalu bereproduksi, mampu beradaptasi, dan meregenerasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “korupsi” diartikan sebagai “penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain”. 

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah “setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Korupsi sendiri merupakan kejahatan epistemik. Ia telah diketahui salah, merugikan banyak orang, namun tetap dilakukan. Karena kejahatan epistemik, korupsi selalu terkait dengan orang-orang terpelajar. Ia menyasar di segala latar identitas. Apa-pun sukunya, apapun agamanya, apapun aliran politiknya. 

Dalam praktik korupsi, batas-batas sekuler dan religius lenyap. Tidak ada alasan mencuri karena agama. Sesuatu yang bukan hak sudah pasti tidak dibenarkan untuk diambil.

Aktor-aktor korupsi seperti penyakit. Karena penyakit, mereka melemahkan sehatnya tubuh negara. Padahal kalau negara sehat, ia dapat berlari. Mungkin dapat mengejar ketertinggalan dari kemajuan negeri lain.

Inisiatif memberantas korupsi sering mendapat perlawanan. Datang dari para koruptor. Langkah-langkah penegakan hukum dihalangi. Untuk mereka, hukum jadi tumpul. Hukum hanya tajam bagi masyarakat bawah.

Para koruptor memiliki instrumen. Kekayaan, posisi jabatan, jaringan, termasuk siapa saja yang bisa diajak kerjasama. Agamawan yang menggadaikan imannya, aktivis yang menggadaikan idealismenya, akademisi yang menggadaikan rasionalitasnya, termasuk para praktisi yang menggadaikan keprofesionalannya. Semua memungkinkan terlibat. Semua memungkinkan dirangkul.

Sekalipun demikian, sepandai-pandai tupai melompat, toh bisa jatuh juga. Tidak jarang para koruptor ditangkap. Baik yang masih menduduki jabatan atau yang telah purna jabatan. Baik yang ada di dalam kekuasaan atau yang di luar kekuasaan. Tetapi soalnya, apakah ketika para koruptor ditangkap, begitu saja membuat mereka jera? Membuat yang lain tidak ingin korupsi? Jawabannya “tentu tidak”.

Masalahnya, ketika praktik korupsi ditarik ke ranah bernegara, kepercayaan publik terhadap institusi-institusi terancam hilang. Sebuah distrust. Menyasar baik pada partai politik hingga lembaga negara. Mendelegitimasi demokrasi. Pada ujungnya mengancam eksistensi demokrasi. Yang paling ekstrim, dampak korupsi akan mendelegitimasi eksistensi negara itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline