Lihat ke Halaman Asli

Edi Soer

TUKANG KAOS

Gito Laras, Kelompok Kerawitan Para Petani

Diperbarui: 10 November 2020   16:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Gito Laras, itulah nama yg akhirnya disepakati . Gito singkatam dari "gilir toya' alias giliran air. Kelompok Kerawitan ini memang berawal dari kegiatan para petani menjaga giliran air irigasi sawahnya di musim kemarau.

Desa saya memang hampir semua penduduknya berurusan dengan sawah, mereka petani. Ada macam-macam petani. Ada petani yang punya sawah dan menggarap sendiri sawahnya, ada petani yang tidak punya sawah tapi nggarap sawah punya orang lain, ada juga petani yang punya sawah tapi digarap orang lain. Nah saya tipe petani terakhir ini.

Gara-gara pandemic corona ini saya jadi 'terjebak' di desa. Bisnis clothing kecil-kecilan di jogja mendadak berhenti, orderan sepi. Awalnya saya nggak berniat tinggal lama di desa, biasanya pulang kampung sebulan sekali untuk bersih-bersih rumah yang kosong. Kali ini terpaksa tinggal cukup lama.

Tiap malam saya lihat banyak orang yang nongkrong di pinggir jalan depan rumah, kadang sampai subuh. Setelah beberapa kali nyamperin dan ikutan ngobrol baru saya tahu mereka sedang gilir air. Di musim kemarau aliran air untuk irigasi kecil sekali. Untuk dapat mengairi sawahnya mereka dijatah dengan digilir 4 hari sekali. 

Nah mereka yg nongkrong sampai pagi di pinggir jalan itu sedang menjaga jatah airnya, memastikan sawahnya teraliri. Kenapa harus dijaga? Ya harus hehe.. kalo nggak bisa dibedah yg tidak sedang mendapat jatah giliran alias dicolong, namanya air irigasi di musim kemarau menjadi barang berharga.

Akhirnya mereka saya minta untuk nunggu airnya di teras rumah saja, selain lebih nyaman juga bisa sambil ngopi.

Jadilah rumah saya tiap malam menjadi posko untuk jaga air, mereka dari kelompok gilir yang berbeda-beda. Beberapa diantara para petani ada yg bisa menabuh gamelan, bisa ya bukan mahir.

Di rumah memang ada seperangkat gamelan yg sudah belasan tahun nganggur. Dari pada waktu jaga giliran air cuma untuk ngobrol ngalor ngidul,  saya usul mereka main gamelan. Mereka antusias. Esok harinya mereka kerja bakti nyuci gamelan yg memang sudah kotor dan menatanya.

Gamelan yang ada di rumah bukan gamelan priyayi dari perunggu yang mengkilap, tapi gamelan kuno dari besi. Gamelan peninggalan Simbah yang dibeli tahum 1960an, emm bukan dibeli, tepatnya barter dengan 2 ekor kerbau dan segerobak padi. Jaman dulu di desa kami membajak sawah menggunakan kerbau bukan sapi.

Setelah segala persiapan cukup kami menghubungi mBah Guru, pelatih kerawitan di desa kami yg memang seorang pensiunan guru. Sebagai pelatih mBah Guru cukup tertib. Di hari pertama latihan beliau menerangkan aturan-aturan dalam latihan. Sebelum dan sesudah latihan harus berdoa, gamelan harus 'diajeni", tidak boleh dilangkahi, tabuh gamelan harus diletakkan diatas tidak boleh di lantai .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline