Lihat ke Halaman Asli

Selamatkan Nyawa Ruben dan Markus dari Kekeliruan Penegakkan Hukum!

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan perihal Ruben Onsu, presenter yang terkenal itu. Bukan juga kisah Sengkon dan Karta. Tapi, keduanya memiliki kesamaan. Namanya sama, Ruben. Dan, kisahnya seperti Sengkon dan Karta. Adalah Ruben Pata Sambo yang kini menunggu ‘algojo’ dari balik jeruji di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru, Malang.

Pengadilan memberikan hukuman berupa cabut nyawa bagi anak beranak ini. Ruben Pata Sambo dan anaknya, Markus Pata Sambo telah mengupayakan lewat jalur hukum untuk menganulir hukuman yang akan mematikannya. Apa daya, hingga saat ini tanda-tanda kelanjutan kehidupan belum juga tampak. Upaya hukum yang oleh prosedural diberi nama ‘Peninjauan Kembali’ ditolak oleh lembaga peradilan tertinggi di republik ini, Mahkamah Agung.

Ruben dan Markus menjadi terpidana mati lantaran dituduh sebagai dalang pembunuhan terhadap sebuah keluarga di Tana Toraja. Perkara benar atau tidak benar atas tuduhan itu (hakikatnya) hanya mereka yang tahu. Ketika pihak lain menuduhkan sesuatu kepada Ruben dan markus, maka pihak lain itu harus dapat memberikan bukti secara empirik. Begitu hukum prosedural di negeri ini.

Sebagai tertuduh, secara prosedural, Ruben dan Markus telah memberikan bukti-bukti bahwa tuduhan yang dialamatkan kepadanya tidak benar. Pelaku pun telah mengaku, Ruben dan Markus tidak terlibat.

Persoalan ini bukan lagi sekedar ihwal keadilan, tapi menyangkut hidup dan mati dua manusia akibat hukum. Sungguh tak elok, hukum yang seharusnya menjadi perisai bagi hak asasi mendasar bagi manusia, yakni hak untuk hidup, kemudian menjadi hal yang mematikan lantaran ketidakcakapan para pelaksananya. Walaupun langit runtuh hukum harus ditegakkan, memang. Menegakkan hukum adalah suatu keharusan. Dan, menegakkan hukum yang menyeluruh merupakan kemuliaan tersendiri. Kemuliaan itu bertambah sempurna manakala semua bagian dari hukum, yakni hukum prosedural dan hukum substantif dijalankan dengan benar.

Memaksa orang dengan cara memukuli agar membuat pengakuan adalah pelanggaran hukum. Itu kesalahan hukum prosedural. Jadi, bagaimana beralasan demi penegakkan hukum jika di dalam prosesnya terdapat pelanggaran hukum?

Selain itu, benarkah menegakkan hukum lebih berharga daripada dua nyawa manusia yang telah membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah? Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sangat tidak mungkin diterjemahkan sebagai mengambil kewenangan Tuhan mencabut nyawa manusia. Setiap orang yang pernah belajar hukum pasti mengenal adagium ini; “lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Ruben dan Markus telah memberikan bukti bahwa mereka tidak bersalah. Pengakuan mereka lantaran dianiaya saat proses penegakkan hukum di kantor polisi. Para pelaku telah pula membuat pengakuan bahwa Ruben dan Markus tidak terlibat.

Satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa hukum bukan sarana untuk balas dendam. Hukum manusia diciptakan oleh manusia agar dapat memberikan jalan keluar dari sengketa dan perlindungan dari segala kejahatan, termasuk balas dendam.

Selamatkan nyawa Ruben dan Markus dari penegakkan hukum yang melanggar hukum!

Kedoya, 15-06-2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline