Lihat ke Halaman Asli

Edi Purwanto

Laskar Manggar

Pisang Molen Cita Rasa Presiden, Dari Manggar

Diperbarui: 16 September 2021   00:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Namanya Syaeful, asalnya dari Cilacap Jawa Tengah. Sudah sekitar sepuluh tahun tinggal di Pulau Belitung, tepatnya di Kelapa Kampit, Belitung Timur. Sehari-harinya bekerja sebagai petani. Dulunya merantau sebagai kuli tani, tapi alhamdulillah berkat keuletannya, sekarang sudah punya rumah dan kebun sendiri. Kebunnya ditanami sawit, pisang dan sayuran serta beberapa tanaman lainnya.

Saya jadi ingat pesan Imam Syafii, agar kita merantau, pergi jauh dari kampung halaman. Karena dengan merantau, maka akan tergapai cita-cita, terpenuhi nafkah, mendapat ilmu pengetahuan, dapat belajar adab tata krama, dan berkesempatan untuk bersahabat dengan orang mulia.

Pak Syaeful ini, usianya sekitar 40 tahun, dan istrinya sekitar 36 tahun. Dia sudah dikarunia anak, satu orang. Tampangnya seperti saya lah, tampang ndeso. Karakter pekerja keras tampak pada wajah dan tubuhnya. Tapi alhamdulillah, mereka tampak sehat.

Dia jualan pisang molen unyil, di daerah puncak Manggar. Tepatnya seberang warung sate madura. Dia jualannya tidak lama, hanya sore hari, mulai jam empat sore sampai bada Isya, sekitar jam delapan malam. Jualannya memakai gerobag kecil.

Entah ditaruh dimana gerobagnya ketika siang, karena saat siang hari, di lokasi jualan tidak kelihatan. Tapi yang jelas tidak mungkin di rumahnya, karena rumahnya di Kelapa Kampit sedangkan jualannya di Manggar yang jaraknya mencapai 30 Km-an. Perlu waktu sekitar 30 menit untuk sampai di lokasi jualan, dengan mengendarai sepeda motor.

Biasanya mereka berdua mengendarai motor, selepas dari kebun. Jualan pisang sampai malam, dan balik lagi ke rumah. Karena besoknya harus kembali ke ladangnya, bertani. Dia berjualan berdua, terkadang bersama anaknya. Ketika sholat Maghrib tiba, bergantian sholat. Mereka bersyukur, katanya. Tinggal di Belitung ini, asalkan tidak malas, insya Allah tidak kelaparan.

Ini yang membuat saya kagum, ditengah kesibukan berjualan dan di prime time, tetap tidak lupa sholat dan tetap optimis. Jadi ingat falsafah aksara jawa, hanacaraka, yang ditulis menggantung ke atas dan miring ke kanan. Mencerminkan masyarakat yang menggantungkan urusannya kepada Sang Pencipta dan senantiasa berbuat kebaikan. Senantiasa berusaha, dan tidak lupa berdoa, memohon pada Sang Pencipta.

Yang dijualnya hanya satu, yaitu pisang, tepatnya pisang molen unyil. Menurutnya pisangnya berasal dari kebonnya sendiri. Pisang kepok. Pisangnya dipotong kecil, dibalut memakai tepung, berbentuk molen kecil, lalu digoreng. Jadilah pisang molen unyil.

Rasanya hanya satu, rasa original pisang. Jangan dibayangkan seperti pisang molen di Depok, yang ada aneka rasa. Ada rasa cokelat, keju, kacang ijo, dan campur. Dia hanya jual pisang original, rasa asli pisang, tanpa rasa lainnya. Jadi jauh dari proses esterifikasi, yakni proses pembentukan ester guna menghasilkan aroma buatan. Namun demikian, kelihatannya perlu sentuhan tekhnologi, perlu pemberdayaan UMKM. Semoga kedepannya, dilirik oleh Dinas Koperasi dan UMKM, sehingga lebih berdaya, dapat bersaing dengan pedagang lainnya.

Harga molennya sendiri 500 per buah dan karena untuk diri saya sendiri, biasanya saya beli sedikit, sekitar lima ribu atau sepuluh ribu. Kecuali ketika ada acara, seperti malam jumat. Karena ada tradisi tahlilan di Masjid, bada Maghrib. Terkadang saya beli lebih banyak, untuk suguhan jamaah setelah tahlilan di malam jumat. Dan pisang itu juga populer, terbukti beberapa orang membawanya pisang molen sebagai suguhan, jadi sempat pesta pisang molen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline