Lihat ke Halaman Asli

Caleg Perlu Menulis Artikel

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu legislatif sudah lama selesai dan kita bisa menarik pelajaran dari kegiatan tersebut. Ribuan caleg sudah mengerahkan dana & upaya dalam waktu yang relatif singkat untuk mendapatkan suara pemilih sebanyak-banyaknya. Cara berkampanye mereka adalah dengan bertemu para calon pemilih & pasang banyak spanduk yang pembuatannya menghabiskan banyak biaya.

Metode pertemuan dengan para calon pemilih cuma terbatas keefektifannya & metode pasang spanduk sangat tidak efektif. Pertemuan caleg dengan para calon pemilih dibatasi dengan keterbatasan waktu, dana & tenaga si caleg. Sementara pemasangan banyak spanduk tidak membuat banyak calon pemilih menjatuhkan pilihannya pada caleg tertentu.

Spanduk-spanduk itu hanya memberi informasi tentang nama caleg, partainya, nomor urut, gender, titel (kalau ada) & wajah. Setelah masa kampanye selesai, spanduk-spanduk yang menghabiskan banyak biaya & memenuhi jalan-jalan lalu dibuang.

Bagaimana calon pemilih yang tidak mengenal caleg bisa mengetahui kompetensi seorang caleg? Pertanyaan ini tidak bisa dijelaskan melalui spanduk atau pertemuan-pertemuan dalam masa kampanye yang singkat.

Walau ada brosur-brosur yang diterbitkan caleg yang berisi visi, misi & moto seorang caleg, tetap tidak menjawab secara tuntas tentang kompetensi seorang caleg.

Bagaimana calon pemilih yang tidak mengenal caleg mengetahui pendapat caleg tentang suatu masalah dalam masyarakat? Apakah pendapatnya dangkal atau sudah melalui penguasaan masalah secara mendalam, itu tidak jelas. Apakah caleg menguasai permasalahan di satu isu atau beberapa isu, itu juga tidak jelas.

Kalau calon pemilih beranggapan untuk suatu masalah perlu diambil kebijakan A, bagaimana cara mengetahui kalau si caleg nantinya tidak mengambil kebijakan B, suatu hal yang tidak diinginkan si pemilih? Kalau saat berkampanye di kelompok pertama, seorang caleg bisa mengatakan akan mengambil kebijakan A, apakah dia tidak akan berkata, akan mengambil kebijakan B saat bertemu kelompok kedua?

Andai seorang caleg berjanji secara lisan akan mengambil kebijakan A, akan mudah baginya untuk mengambil kebijakan bukan A saat menjabat nantinya, karena lidah tak bertulang.

Andai seorang caleg berjanji secara tulisan akan mengambil kebijakan A, saat menjabat ternyata dia mengambil kebijakan bukan A, karena janjinya tertulis, masyarakat atau wartawan bisa melakukan umpan balik, si pejabat ini harus bisa menjelaskan kenapa berubah pikiran. Apakah pejabat ini menghindar dari umpan balik ini atau bisa/tidak bisa memberi penjelasan yang masuk akal, masyarakat & wartawan bisa menilainya.

Penjelasan yang tidak masuk akal atau menghindar menjawab bisa berarti pejabat tersebut kurang konsisten atau kurang integritas & mungkin ada indikasi telah menerima suap.

Sebaliknya pejabat yang memenuhi janji untuk mengambil kebijakan A atau mengambil kebijakan bukan A, tapi bisa memberi penjelasan yang masuk akal, akan tampak di mata masyarakat & wartawan sebagai pejabat yang punya integritas, yang nantinya layak untuk dipilih kembali.

Saat ini, siapa caleg yang rajin menulis di surat kabar atau blog? Bagaimana kita mengetahui, seorang caleg sebenarnya tinggi atau rendah kompetensinya saat dia nanti duduk sebagai wakil rakyat di DPR/DPRD?

Sebaiknya seseorang yang berminat untuk memiliki karir politik banyak menulis artikel di media cetak & blog. Semakin banyak dia menulis artikel yang bermutu & menerbitkannya, semakin tampak kompetensinya untuk menjadi seorang pejabat publik. Semakin dikenal dia oleh masyarakat yang berada di luar lingkaran terdekatnya.

Sebagai perbandingan, saya dulu sering membaca artikel-artikel ekonomi yang ditulis oleh Bapak Kwik Kian Gie, jauh sebelum beliau jadi menteri kabinet. Artikel-artikel beliau penuh dengan analisis atas masalah ekonomi, juga opsi-opsi yang tersedia untuk memecahkan masalah tersebut dan akibat-akibat yang mungkin muncul atas tiap opsi. Andai nama beliau ada di daftar caleg, jelas beliau sangat kompeten & sangat layak untuk dipilih.

Akan sangat baik kalau menuju pemilu 2019, orang yang berminat pada karir politik (pertahana atau bukan), mulai menulis artikel-artikel untuk menunjukkan kompetensinya. Caleg DPRD mungkin bisa menulis tentang kurangnya sekolah SMP & SMU di sebuah kabupaten tertentu. Dengan pemahamannya sebagai putra daerah tersebut, caleg bisa mengusulkan lokasi yang tepat untuk didirikannya SMP & SMU yang dibutuhkan. Mungkin bahkan bisa ditambahkan informasi tentang harga tanah yang diperlukan untuk pembebasan tanah, serta taksiran biaya pembangunan gedung-gedung sekolah. Caleg lain bisa menguraikan dalam artikelnya tentang masalah-masalah di suatu desa petani/nelayan dan pilihan-pilihan kebijakan yang bisa memperbaiki kesejahteraan di desa petani/nelayan tersebut. Seorang caleg DPR misalnya bisa menjelaskan ide pembangunan sebuah dermaga baru di sebuah provinsi, dengan argumen-argumen mengapa perlu sebuah dermaga baru di lokasi tersebut atau menjelaskan betapa mendesak untuk dibangun sebuah pembangkit listrik tenaga angin di sebuah lokasi di provinsi yang masih tertinggal. Sangat banyak topik pembangunan daerah/negara yang bisa diangkat menjadi artikel.

Semakin detil isi tulisan si caleg, semakin tampak caleg menguasai masalah tersebut di mata masyarakat calon pemilih.

Bagaimana kalau setelah dihimbau untuk menulis artikel ternyata banyak caleg tidak menulis? Itu akan menjadi kerugian bagi si caleg, kalau ternyata ada rekan-rekannya sudah menulis artikel, karena caleg yang tidak menulis, akan kehilangan potensi mendapatkan suara dari para pemilih yang cerdas. Kalau saat ini banyak caleg pertahana sudah memiliki basis masa yang rutin dikunjunginya, dengan rajin menulis artikel, bisa membuat caleg memikat masyarakat di luar basis masa tradisionalnya.

Bagaimana kalau ada caleg yang sangat populer (misalnya seorang penyanyi dangdut terkenal), tapi tidak menulis artikel? Ya silahkan saja kalau sebagian masyarakat masih memilih caleg berdasarkan keartisan seseorang.

Saat bangsa ini semakin banyak yang cerdas, semakin paham kita untuk memilih seseorang berdasarkan apa yang mungkin dia akan lakukan setelah menjadi wakil rakyat & kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa dibaca melalui artikel-artikel yang ditulisnya.

Seseorang yang menulis artikel perlu melakukan riset tentang masalah yang akan ditulisnya, tentang sebab-sebab masalah & opsi-opsi pemecahannya. Dengan melakukan riset & penulisan artikel berulang-ulang, seorang caleg mengasah kemampuannya sebagai pejabat publik yang bisa memimpin masyarakatnya menjadi lebih baik.

Sebagian orang akan membantah saran ini & berpendapat bahwa akan ada lebih dari separuh calon pemilih yang tidak pernah membaca artikel-artikel dari para caleg, mungkin karena taraf pendidikan calon pemilih, kesibukan atau sikap masa bodoh. Pendapat ini sah saja. Perbedaan dari seorang caleg yang menulis artikel & tidak menulis artikel adalah caleg yang menulis artikel lebih besar kemungkinannya menambah suara dari segmen masyarakat pemilih yang cerdas. Kalau dibudayakan para caleg menulis artikel di pemilu 2019 & selanjutnya, akan makin banyak para pemilih yang bersikap ‘teliti dahulu sebelum memilih’.

Ini hanya saran untuk memperbaiki kehidupan berbangsa & bernegara. Saat ini masyarakat memilih caleg yang tidak diketahui cara berpikirnya. Kalau caleg banyak menulis artikel, masyarakat bisa memilih caleg berdasar atas kemampuan caleg menguasai berbagai masalah, punya ide-ide terperinci untuk mengatasinya & kebijakan-kebijakan yang akan diambil sesuai dengan keinginan calon pemilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline