Lihat ke Halaman Asli

Mantan Suamiku

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Edi Miswar Mustafa

“Mom, come on.”

“’Bentar lagi, Hayati.”

Tampak ia demikian anggun dengan selendang warna gelapnya. Bahkan terbilang cantik dibandingkan kalau tidak menutup kepala sebagaimana galibnya.” Maaf, karena Mamma masih ingin sendiri di sini menikmati lukisan. Bolehkah?”

“Hayati tunggu di ruang kerja Idrus, ya,” katanya kemudian. Idrus adalah seorang penulis muda kesohor sekaligus penggiat kebudayaan yang  memfasilitasi pameran lukisan ini.

Duh, putriku. Aku menebah dada sejenak. Kau tentu saja tidak merasakan apa-apa. Karena kau memang bukan lagi orang timur meskipun kulitmu masih tidak berubah, masih tetap sawo matang.

Kulihat ia menghilang ke balik beton putih. Puluhan orang masih melihat-lihat lukisan. Jam belum beranjak larut. Sayangnya, tidak banyak yang datang. Coba kalau di Amerika. Padahal, yang membuka pameran lukisan ini bukan sembarang orang. Guru besar salah satu fakultas di provinsi ini.

Tetapi, Bang Yus tidak terlihat terkejut melihatku. Sebelumnya, ketika ia berpidato di teras rumah ini tadi, aku kira ia akan heran ketika menit demi menit selanjutnya kami akan bersua kembali setelah tahun-tahun berlalu dengan berkeping-keping. Lantas dari matanya akan timbul tanda tanya besar. Atau mungkin, ya, rasa-rasanya aku akan melihatnya murka semurka-murkanya seperti dua puluh enam tahun yang lalu. Ternyata tidak. Ternyata, tangannya segera terulur secara teratur sebagaimana kebiasaannya dahulu setiap kali berjumpa dengan orang-orang. Sepertinya tidak ada yang disembunyikannya. Air mukanya tetap sejernih tadi. Dan bibir itu tetap mengembang.

“Meli! Dengan siapa kau datang?” tanyanya bagai takjub yang sangat.

“Bersama  Hayati,” kataku sebiasanya untuk menyeimbangkan prilakunya.

Ia, segera menyalami Hayati. Dan saat itu, mungkin aku yang menjadi heran. Benarkah, hatinya telah jadi batu. Kemudian ia memperkenalkan kami kepada semua undangan. Aku adalah mantan isterinya. Hayati adalah anak sulungnya yang ikut denganku dan selama ini tinggal di Amerika.

Dua puluh enam tahun yang lalu rambutnya tidak setipis seperti sekarang. Walaupun gagang kacamatanya masih tetap yang model itu. Betapa bencinya aku kepada kacamata itu.  Seluruh hari dan malamnya hanya semata untuk studinya. Sementara aku, seorang ibu muda. Dan di negeri orang harus mengubur hasrat yang menyengat ke ubun-ubun.

Betapa aku merasa menyesal menerima pinangannya dulu. Aku pikir aku akan bahagia. Hari tua terjamin dalam kehidupan yang layak karena ia seorang dosen. Tentunya dalam masyarakat, statusku boleh dikatakan berada pada kelas menengah-atas.

‘Nyataannya semua itu semu belaka. Sama sekali tidak seperti yang aku bayangkan semula. Beasiswanya dalam menempuh jenjang S2 hanya cukup untuk makan kami sekedarnya. Tempat tinggal kami di daerah pinggiran California yang banyak ditinggali orang kulit hitam yang lebih menakutkan dari pekuburan di pesisir kampungku yang banyak dikebumikan korban-korban DOM. Bayangan impian pada musim dingin … salju, konyollah aku. Konon, sebelum berangkat, yang selalu aku bayangkan adalah bahwa aku akan menggengam salju dengan tanganku. Salju seperti es krim, menyenangkan sekali. Dan tak lupa, ya, aku ingin menjilatnya. Itu terpikir olehku. Tapi, nyaris saja Hayati meninggal karena musim dingin yang kami lalui tanpa perbekalan yang memadai.

Sementara Bang Yus, acuh, sibuk, atau apalah istilahnya; dengan kesendiriannya. Kalau pun ia bicara denganku pastilah tentang betapa tertinggalnya negeri kita dengan negeri-negeri barat dalam segala hal. Terutama sekali dalam bidang pendidikan. Ia harus belajar segiat-giatnya. Ia akan mempersembahkan ilmu yang didapatnya untuk memperbaiki manajemen pendidikan, paling tidak di universitas tempatnya bernaung selama ini.

“Bang Yus, kami juga butuh perhatianmu.” Suatu kali aku menggugat.

Angin musim gugur mendesah di luar sana. Ingatku pada Iwan yang telah kukecewakan membuatku kian rundung menduka luka. Laksana layu yang terjadi pada kuntum-kuntum bunga.

“Kau kelihatan menjadi lain semenjak bergaul dengan keluarga Roger,” cetusnya lirih. Matanya masih tertumpu pada buku-buku di depannya. Diseruputnya kopi yang kuhidangkan tadi.

Mengapa jadi begini Iwan, batinku. Sungguh kau benar. Aku, katanya, dalam suratnya yang terakhir, takkan mungkin kuat hidup bersama laki-laki semacam di depanku sekarang ini. “Yang kau butuhkan adalah laki-laki yang demokratis. Laki-laki yang bukan saja mencintaimu dengan merelakan kau berbuat sesuatu hal yang kau inginkan meskipun suamimu tidak mendapatkan alasan bahwa yang kau kerjakan itu bermanfaat bagimu.’

Ya, tapi aku tidak percaya padanya. Kemudian aku lebih memilih hidup yang kupikir bermakna.

Pertemuanku dengan keluarga Roger membuatku sedikit terasa terhibur. Mereka menolongku dalam hal-hal yang kelihatan remeh-temeh memang. Tapi bagiku sangat berguna. Mereka mengajakku nonton walaupun hanya sebulan sekali pada malam minggu. Mereka punya toko souvenir dari negeri-negeri timur. Aku lihat beberapa di antaranya malahan tak mungkin terbantahkan dari daerah Sulawesi.

Tak pernah lagi kuutarakan keluh-kesah pada akhirnya di hadapan suamiku. Dan semakin sering aku berpikir mengenai Iwan yang malang itu. Iwan yang berbudi luhur. Iwan yang naik gunung bersama Hasan Tiro karena ia pun sebenarnya kecewa dengan kebijakan politik Indonesia. Iwan pernah bilang, “Seandainya pusat sadar bahwa keadilan ekonomi, budaya, hanya dapat dicapai melalui keadilan politik. Mungkin Indonesia yang kaya ini tidak seperti sekarang. Pemerintah kita masih kekanak-kanakkan dengan mempertahankan pemilihan umum sistem per kepala, bukan per provinsi seperti di Amerika. Sehingga yang terjadi adalah presiden Indonesia itu sampai kiamat pasti dari suku Jawa.”

Aku semakin dekat dengan keluarga Roger. Pada Inge, istri Roger, juga kuungkapkan betapa haus aku akan kehangatan biologis. Terutama ketika aku memintas taman-taman di tengah kota yang dipergunakan satu dua pasangan untuk berciuman.

Dan kemudian petaka itu terjadi. Roger merampas sunyiku. Di sudut toko souvenirnya, tahu-tahu dipintunya telah tergantung kata close. Lalu ia menghampiriku.

“Meli… Meli, aku ingin menolongmu,” ia berkata setengah berbisik.

“Jangan…,” desisku. Tapi ia terus mendekat. Memegang tanganku. Mencium keningku. Lantas yang kuingat kami sama-sama terbujur dengan tubuh berkeringat.

“Inge yang mengatakannya kalau kau rindu akan perlakuan kasih sayang. Ia ingin aku menolongmu. Tapi, terus-terang dari pertama aku melihatmu. Aku selalu ingin menidurimu. Tidak apa…,”katanya lagi.

”Inge membolehkannya. Bagi kami cinta, perkawinan, asal saling suka tak apa harus seperti ini.” Katanya lagi, mendesakku.

“Maaf, ‘Bu,” tiba-tiba seorang anak muda, seorang undangan, menyenggolku. Teman wanita menahan tawanya. Aku mengerti. Aku tersenyum. Mereka pastilah sedang bercanda dengan sesama. Mungkin mereka merasa aneh melihatku yang terkesima di depan lukisan.  Tepat di depanku sebuah lukisan seorang gadis berseragam sekolah bersideku memerhatikan sepatu bututnya. Di depannya bayang sebuah kaki wanita bergaun pesta yang meriah. Kalau aku  tak salah memaknakan tentang lukisan ini; mengenai impian si anak sekolah. Bayang wanita yang gemerlap di depannya tentulah pertanda keglamoran artis-artis.

Ketika kemudian aku ingin mencari mereka dengan mataku, ternyata mereka telah berada di sudut yang lain. Apakah mereka menafsirkan seperti yang aku tafsirkan. Dan mereka akan menganggapku pernah memiliki impian yang demikian ketika aku muda dulu. Entahlah. Mereka, menurutku pasangan yang serasi.

“Meli,” tiba-tiba aku mendengar suaranya. Aku melihatnya mendekat rapat.

“Ada apa?” tanyaku.

“Untuk apa harus kembali kemari? Bukankah kalian sudah mendapatkan apa kau inginkan?”

“Aku ingin melihatmu. Sebenarnya Hayati yang mengurus semua ini dibantu Idrus, temannya.”

“Untuk apa?”

“Aku ingin mengatakan kembali padamu bahwa aku tidak pernah salah. Kaulah yang salah sehingga Roger kemudian memisahkan kita. Kau lebih suka buku-buku. Padahal, aku sangat membutuhkan kehangatanmu.”

Ia terdiam. Lalu wajahnya mulai mengarah padaku dari lukisan di depannya.

“Hayati tahu tentang ini?”

“Ya. Dan…” Sampai di sini aku merasa geli. Tapi aku tetap menambahkan, “Katanya kau laki-laki brengsek. Jika dia jadi aku dulu. Dia akan memotong kelaminmu.”

Ia kelihatan terkejut. Tiba-tiba aku ingin tersenyum.

“Sekarang tidak lagi. Tenanglah. Dia tentu lebih suka kelamin yang muda daripada kelaminmu yang sekarang.”

“Kata-katamu seperti kata pelacur.”

Aku hanya tertawa. Aku mengucapkan terima kasih padanya karena dialah sebenarnya yang pernah menjadikan aku seorang pelacur.  Jika tidak demikian, aku dan Hayati telah mati.

Dua hari kemudian aku pulang kampung. Kusempatkan menziarahi kubur Iwan yang tetap melajang sampai tuanya. Kepada Hayati kuceritakan tentangnya. Laki-laki yang pernah mencintai ibunya. Dahulu sekali. Ketika kami masih sama-sama kuliah.

Esoknya aku kembali ke Inggris. Aku tidak tahan tinggal di Aceh.

Darussalam, medio Juli 2008

*Guru  Bahasa Indonesia SMA Unggul Pidie Jaya. Bergiat di Komunitas Kanöt Bu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline