Lihat ke Halaman Asli

Orang Indonesia Itu Ternyata Ngeyelan Ya?

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

image from http://farm6.static.flickr.com

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="image from http://farm6.static.flickr.com"][/caption]

Mungkin anda tidak sependapat dengan pandangan saya bahwa orang Indonesia itu ngeyelan atau bahasa Jawanya ndableg. Sah-sah saja sih karena ini hanya pendapat pribadi saya. Tapi pendapat saya ini tidak sekedar pendapat asal-asalan, tapi berdasarkan pandangan atau pengamatan saya dalam kehidupan sehari-hari.

Belum lama ini disalah satu perempatan dekat tempat tinggal saya ada seorang pengendara motor yang nekad melanggar rambu lalu lintas. Sudah tahu lampu merah dan dibawahnya ada tulisan "belok kiri ikuti isyarat lampu", itu orang nekad belok kiri. Ya sudah tiba-tiba aja "brug" dan si pengendara itu sudah terkapar karena tertabrak pengendara motor lain yang datang dari sisi sebelah kiri. Kebetulan memang giliran jalan adalah pengguna kendaraan di sebelah kiri. Semua itu dilakukan si pengendara motor yang tertabrak itu hanya gara-gara di pos jaga itu sedang tidak ada polisi yang biasa berjaga disana. Beruntung ia hanya luka-luka tidak terlalu parah akibat kecelakaan itu. Coba kalo sampai meninggal, siapa yang pantas disalahkan?

Masih tentang kecelakaan, coba saja simak berita seputar kecelakaan bus Trans Jakarta misalnya. Sudah berapa orang yang jadi korban bus Trans Jakarta. Tidak hanya badan remuk, nyawa pun sudah beberapa kali melayang di jalur bus itu. Kalo kita cermati, kecelakaan itu kadang-kadang justru disebabkan oleh ulah si korban itu sendiri. Sudah tahu itu jalur harus steril dari pemakai jalan yang lain, entah itu pejalan kaki ataupun kendaraan pribadi. Tapi nyatanya masih saja kita jumpai orang seenaknya menyeberang di jalur bus. Atau bahkan sering saya lihat pengendara motor dan mobil seenaknya menyerobot lajur busway hanya semata-mata merasa jalur itu sedang kosong alias tidak ada bus yang sedang melintas. Akibatnya ya itu tadi, begitu tiba-tiba busnya lewat, "para penyerobot" itu langsung panik dan ujung-ujungnya kecelakaan tak dapat dihindari. Kalo sudah begini siapa yang pantas disalahkan? Pengemudinya atau sopir busnya? Bisa jadi karena kurang hati-hati dalam mengemudikan kendaraannya. Para penyerobot lajur busway? Jelas! Sudah tahu ada larangan untuk melintasi lajur busway, koq malah nekad. Sudah tahu itu berbahaya, koq malah dilanggar. Apa tidak cari mati namanya. Apa tidak ngeyel itu namanya?

Kasus lain misalnya di palang pintu perlintasan kereta api. Banyak sekali pelanggaran yang sering terjadi di sana. Saya ingat betul waktu saya masih tinggal di Jogja, hampir setiap hari saya pasti melintasi palang pintu perlintasan kereta api di Stasiun Lempuyangan bila hendak pergi ke sekolah. Karena letak posisi rumah saya yang disebelah selatan stasiun, sementara sekolah saya sejak SMP hingga kuliah berada di utara stasiun. Dan hampir setiap hari pula terjadi pelanggaran disana. Sudah tahu pintu palang diturunkan, yang artinya akan ada kereta yang akan lewat, tapi masih saja ada yang menerobos palang itu. Biasanya ini terjadi ketika palang pintu masih turun setengahnya. Tapi kadang-kadang juga ada yang nekad meskipun sudah tahu palang itu benar-benar sudah turun semuanya. Dan yang biasanya melakukan hal ini adalah para pejalan kaki. Dengan santainya pintu palang yang sudah nutup itu diangkat sedikit kemudian menerobos lewat begitu saja. Saya sering gemes melihat pemandangan yang seperti ini. Apa mereka tidak sadar ya, tindakan seperti itu sangat beresiko. Masak bodi kereta mau dilawan dengan bodi manusia. Konyol itu namanya.

Sebenarnya masih banyak kasus-kasus lainnya yang bisa mendukung pendapat saya bahwa orang Indonesia itu ngeyelan. tidak usah jauh-jauh, di sekeling kita saja banyak contohnya. Anda mungkin pernah baca tulisan "Dilarang Kencing Disini!!!" (saking semangatnya dikasih tanda seru yang banyak), tapi justru di tempat itu bau pesingnya minta ampun. Ada lagi papan pengumuman "Dilarang Membuang Sampah Disini!!!", tapi nyatanya justru ditempat itulah sering kita jumpai gundukan sampah. Apa tidak ngeyel itu namanya?

Terus kalo kita masuk suatu komplek perumahan, sering kita jumpai tulisan "Pemulung Dilarang Masuk" seperti yang ada di komplek saya ini.

[caption id="attachment_164403" align="aligncenter" width="459" caption="tanda ini ada di gang masuk komplek saya tinggal"]

1329888033807242796

[/caption]

Toh nyatanya masih banyak kejadian para pemulung yang masuk ke area komplek. Sebenarnya tanda larangan itu tidak tepat juga sih menurut saya karena kata "pemulung" itu artinya orang yang punya pekerjaan memulung. Mosok hanya gara-gara profesinya memulung koq dilarang masuk ke komplek, tidak manusiawi juga khan? Tapi masalahnya belakangan ini banyak dijumpai di komplek saya ini "oknum" yang mengatasnamakan pemulung, tapi ternyata justru malah mencuri. Awalnya datang memang hanya mengorek-orek tempat sampah, mungkin mencari kardus-kardus bekas atau botol-botol plastik. Tapi besoknya mulai mengamat-amati. Begitu ada kesempatan pas rumah kosong ditinggal penghuninya cuti misalnya, baru deh aksi pencurian dilakukan. Beberapa kasus sempat ditangani oleh sekuriti komplek dan ternyata pas ketangkap itu hanyalah "oknum". Saya pun pernah melapor ke sekuriti manakala di depan rumah ada gerobak pemulung, tapi tidak ada orangnya. Begitu diperiksa sekitar rumah, tidak diketemukan pemilik gerobak itu. Akhirnya gerobak itupun diangkut oleh mobil sekuriti. Dan begitulah akhirnya tak berapa lama rumah saya dibobol maling saat kami tertidur pulas. Yang begini ini yang akhirnya membuat geram para penghuni komplek. Tapi kenyataannya, tanda larangan itu juga tak berarti apa-apa. Masih saja banyak pemulung hilir mudik di dalam komplek. Mosok harus pakai tanda larangan yang bunyinya seperti dibawah ini, apa malah nggak serem tuh?

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="image from http://1.bp.blogspot.com"]

image from http://1.bp.blogspot.com

[/caption]

Saya sependapat dengan komentar Mbak Dian di salah satu postingan yang menyatakan bahwa sepertinya kata "Jangan atau Dilarang" itu justru cenderung mengundang orang untuk melakukannya. "Dilarang Parkir Disini!", toh justru ada aja orang yang seenaknya memarkir ditempat itu. "Dilarang Merokok!", tetap aja orang santai merokok di tempat itu bahkan kadang-kadang diruang ber-ac sekalipun. "Dilarang Berjualan Disini!", masih saja ada orang yang berjualan ditempat-tempat seperti itu. "Dilarang Menginjak Rumput", eh seenaknya saja orang melintas dan menginjak-injak rumput. Yang begini ini apa tidak ngeyel namanya? Tindakan yang begini justru sepertinya membudaya. Kalo ada yang alasan "tidak lihat pengumuman", nah ini yang sepertinya mengada-ada. Papan-papan larangan itu justru biasanya dibuat dalam ukuran besar agar oraang bisa melihatnya. Terus kalo ada yang alasan lagi "tidak bisa membaca", ini tambah mengada-ada lagi. Jaman sekarang tidak bisa baca tulis? Waduh lha wong setiap hari kerjaannya BBM-an koq, setiap hari menyanding gadget koq gak bisa baca tulis? Mustahil! Ya mungkin saja itu memang orang-orang yang buta huruf macam embah-embah jaman dulu, bisa saja tho? Nah justru orang-orang jaman dulu yang katanya buta huruf itu mesti banyak mikir untuk melakukan hal-hal konyol seperti diatas. Mereka masih mikir apakah tindakannya itu pantas tidak, sopan tidak, layak tidak? Tapi kalo orang jaman sekarang yang katanya melek huruf, itulah yang wajib dipertanyakan. Justru orang-orang yang katanya modern dan berpendidikan inilah yang biasanya suka melanggar berbagai aturan itu. Kenapa bisa begitu, ya karena sudah membudaya. Tindakan konyol semacam itu sudah seperti budaya, satu orang melakukan yang lain ikut-ikutan. Bener tidak? Ya namanya juga orang ngeyel, mbok dilarang seperti apa ya tetap ngeyel, tetap bandel!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline