[caption id="attachment_165890" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Heboh pemberitaan seputar tragedi Xenia maut di Tugu Tani, Jakarta (22/01/2012) yang menelan korban 9 nyawa melayang dan 4 orang luka-luka, membuat saya ingin pula berbagi cerita. Menurut pemeriksaan awal kepolisian, pengemudi Xenia B-2479-XI, Afriyani Susanti (29), mengemudi kendaraan di bawah pengaruh narkoba. Demikian pula tiga rekannya, yakni Adistina Putri (26), Arisandi (34), dan Deny Mulyana (30) (Sumber Suara Merdeka ).
[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Afriyani dengan wajah "] [/caption]
Hasil pemeriksaan laboratorium, urine keempat orang itu positif mengandung amfetamin. Zat tersebut umumnya terkandung dalam zat psikotropika macam ekstasi dan sabu-sabu. Karena telah mengkonsumsi narkoba itulah kemungkinan besar Afriyani, sang sopir telah kehilangan konsentrasi saat mengendarai mobil tersebut. Itu baru dugaan sementara. Benar tidaknya saat ini polisi juga masih terus mengusut ihwal menyebab terjadinya musibah kecelakaan maut itu. Tapi yang pasti dari pengakuan awal jika si sopir positif menggunakan narkoba (sumber Tempo) dan juga sebelumnya pesta miras (sumber Suara Merdeka), bisa jadi hal itu ada benarnya. Walaupun menurut pengakuan mereka "hanya" mengkonsumsi 2 buah pil ekstasi dan itupun dibagi untuk mereka berempat (sumber Tempo), yang artinya masing-masing penumpang "hanya" mengkonsumsi setengah pil, tetap saja tidak akan menghilangkan pasal penghilangan nyawa akibat penggunaan zat psikotropika tersebut.
Ngomong-ngomong tentang zat psikotropika, macam ekstasi dan sabu-sabu ini, walaupun bukan pemakai tetapi saya pernah berkenalan dan bergaul lumayan intens dengan pemakai ekstasi. Seorang anak wanita yang masih bisa dibilang ABG, umurnya masih belasan kala itu, masih duduk dibangku SMP, tapi lumayan rutin mengkonsumsi narkoba macam ekstasi. Akibat salah pergaulan, itu bisa saja pemicu awal dari sebut saja namanya Agnes mengkonsumsi narkotika jenis ekstasi ini. Apalagi untuk kalangan tak mampu seperti Agnes itu, ekstasi atau inex (dulu dia menyebutnya pil koplo), macam leksotan dan magadon, begitu mudah dan murah untuk didapat. Harganya juga cuman ribuan. Tapi meskipun boleh dibilang "pil murahan" tetap saja efeknya akan menimbulkan ketergantungan apabila dikonsumsi secara terus-menerus. Apalagi jika dosisnya juga ditambah, sudah pasti akan sakaw atau ketagihan yang amat sangat.
Pernah waktu itu saya lihat Agnes ini sedang sakaw. Karena tidak ada pil koplo yang harus dia konsumsi untuk menghilangkan ke-sakaw-annya itu, dengan tanpa perasaan takut atau ngeri dia sayat sendiri pergelangan tangannya dengan sebuah pisau cutter. Ketika saya tanya "tidak sakitkah?", dia hanya tersenyum sembari menyedot-nyedot darah yang keluar dari pergelangan tangannya. Bak seorang vampire dia hisap darah dari tangannya sendiri. Begitu puas dia pun terkulai layu di dekat sebuah sumur, sementara darah tetap mengalir dari luka sayatannya meskipun tak sebanyak sebelumnya. Melihat pemandangan yang baru pertama kali itu, saya terus terang syok. Buru-buru saya cari plester untuk menutup lukanya. Dengan santainya, seolah tak terjadi apa-apa dia cuman bilang "gak papa mba, gak papa" waktu saya tempel plester di lukanya. Apakah memang seperti itu efek mengkonsumsi ekstasi, tidak merasakan sakit meskipun jelas-jelas terluka? Saya kurang tahu pasti. Yang jelas di penglihatan saya waktu itu, Agnes sama sekali tidak merasakan kesakitan waktu pergelangan tangannya di-cutter sendiri. Ekspresinya pun datar, seolah tidak terjadi apa-apa. Santai dan enjoy saja. Justru pada saat dia sakaw, terlihat jelas dia gelisah. Duduk disamping saya tidak jenak sama sekali. Seperti orang yang tengah berpikir keras. Matanya pun tampak "liar". Tidak seperti saat menjadi Agnes yang santun.
Agnes yang menurut saya waktu itu cukup santun untuk ukuran anak SMP yang baru pertama mengenal saya. Dia tidak canggung dan tidak malu-malu, meskipun belum lama kenal. Bahkan boleh saya bilang Agnes itu tipe anak yang pede, tidak minder. Bahkan dengan orang-orang yang lebih "dewasa" dibanding dirinya. Pernah di suatu kesempatan, ketika dia sedang "sehat" tidak sakaw, dengan gamblang dia cerita bahwa ketika tidak ada ekstasi untuk dikonsumsi, menggunakan obat sakit kepala juga bisa katanya. Caranya dan tentu saja ini bukan untuk ditiru, campur obat sakit kepala seperti Decolgen yang banyak dijual di warung-warung dengan soft drink seperti Sprite, lalu minum begitu saja. Efeknya katanya sama juga mengkonsumsi pil koplo. Walah-walah begitu kreatifnya ya orang pemakai narkoba itu, jika sedang "butuh" tapi tidak ada barang. Apa saja bisa dilakukan, termasuk mencampur soft drink dan obat sakit kepala. Padahal pastilah efeknya juga sangat berbahaya bagi tubuh.
Begitu mendengar penuturan Agnes itu, saya pun teringat di sekolah SMA saya dulu ada seorang teman yang pemakai ekstasi juga. Ketika sakaw di sekolah, dengan santai dia menuju kantin minta sebotol Sprite dan sebutir obat sakit kepala. Obat itu langsung di masukkan ke botol kemudian dikocoknya baru diminum. Setelah itu seperti tak terjadi apa-apa, teman saya itu balik ke kelas yang terletak di lantai 2. Tiba-tiba dari lantai atas dia banting tong sampah ke lantai bawah, dengan tanpa rasa bersalah. Bahkan sambil tertawa-tawa dan tak peduli sedang bikin kehebohan di sekolah.
Terus ada lagi seorang teman kuliah saya, yang gara-gara sedang penelitian untuk skripsinya tentang pemakaian ekstasi, maka saking pengin tahu bagaimana "nikmat" dan sensasinya yang dirasakan saat fly, dia pun mencobanya untuk beberapa kali. Saya kurang tahu pasti apakah dia benar-benar merasakan kenikmatan mengkonsumsi ekstasi. Yang jelas sepanjang pengetahuan saya waktu itu teman saya itu menjadi orang yang benar-benar "betah melek" alias bisa begadang hampir 2 hari lamanya. Pokoknya stamina menjadi berlebih dari biasanya, menurut saya. Tapi ya itu tadi meskipun kuat menahan kantuknya, kalo diajak ngomong sering nggak nyambung. Saya tanya apa, dia jawab kemana.
Nah kembali ke kasus Xenia maut diatas. Setelah saya perhatikan video amatir dan juga berbagai tayangan berita seputar kejadian itu, tampak jelas sekali si pelaku penabrakan Afriyani, seperti tidak merasa bersalah. Dia tetap saja enjoy, santai seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia juga tidak peduli di sekitarnya ada bergeletak beberapa nyawa yang berlumuran darah akibat perbuatannya. Bahkan dia justru asyik memainkan jari-jarinya diatas keypad hapenya. Dan berdasarkan apa yang pernah saya lihat pada kasus Agnes, teman SMA saya, dan juga teman kuliah saya, maka bisa jadi memang Afriyani ini sedang berada pada pengaruh narkotika, entah itu ekstasi ataupun sabu-sabu. Oleh karena pengaruh ekstasi itu, maka dia bisa enjoy. Sangat beda jauh dengan kita yang bukan pengguna jika sedang mengalami kejadian seperti itu. Bisa jadi kita panik, syok atau malah menangis histeris melihat di sekeliling kita banyak bergeletak nyawa berlumuran darah.
Selain itu Afriyani juga tampak tidak berbuat salah, mungkin ini juga diluar kesadarannya. Meskipun ketika ditanya dia masih nyambung dan sempat berkilah kalo remnya blong, yang artinya dia sadar akan kejadian itu, tapi seberapa persen normal kesadarannya hanya Afriyani saja yang tahu. Apalagi ketika saya melihat pendapat pakar psikologi di salah satu televisi swasta kemarin, bahwa efek pengguna ekstasi yaitu mampu berhalusinasi. Misalnya ketika dia sedang menyetir, jarak pandang yang seharusnya cuma 5 meter dalam penglihatannya bisa saja menjadi 10 meter. Mungkin itu juga yang mengakibatkan Afriyani yakin tidak akan menabrak para pengguna jalan yang bisa jadi dalam pandangannya jarak antara mobilnya dengan pengguna jalan masih jauh, padahal nyatanya sangatlah dekat dan hampir pasti tidak bisa menghindar.