[caption id="" align="aligncenter" width="605" caption="image from http://www.ceritamu.com"][/caption]
Hari gini nggak kenal gadget, apa kata dunia? Mungkin idiom ini sangat pas diterapkan untuk orang-orang yang sangat "tergantung" pada barang satu itu. Saking bergantungnya pada benda yang dinamakan gadget ini, sampai-sampai hidup ini dirasakan tidak lengkap tanpa kehadirannya. Bahkan ada yang beranggapan bahwa gadgetibarat separuh nyawanya. Waduh sebegitu dahsyatnyakah gadget ini mampu membius manusia? Apa sih sebenarnya gadget itu dan apa pula fungsinya bagi kelangsungan hidup manusia, koq sampai diibaratkan separuh nyawa begitu? Dari beberapa literatur yang saya baca, gadget sebenarnya adalah suatu piranti atau seperangkat teknologi baru ciptaan manusia yang memiliki tujuan dan fungsi tertentu. Gadget sengaja dirancang manusia dengan banyak kelebihan dan kemampuan sehingga mampu untuk membantu kelancaran tugas manusia. Lantas apa saja fungsi dan kegunaan gadget itu? Ternyata fungsi dan kegunaan gadget bisa bermacam-macam, semua tergantung dari jenis gadgetnya. Ada gadget yang bisa digunakan sebagai penghubung dengan orang lain (handphone), ada yang bisa digunakan untuk memutar musik atau video (iPods dan MP4), ada yang bisa untuk bermain games (PSP), ada yang bisa digunakan untuk mengambil foto (digital camera), ada yang digunakan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan manusia dengan lebih cepat dan efektif (computer, laptop atau desktop), ada yang bisa untuk browsing di internet, dan ada pula yang bisa terkoneksi ke peralatan yang lain. Jadi dengan kata lain, fungsi gadget sendiri adalah untuk membantu kelancaran tugas manusia sehingga pekerjaan menjadi mudah, cepat, efektif dan efisien. Coba bayangkan saja jika diera yang serba modern dan canggih ini, kita tidak mengenal gadget. Bisa-bisa kita akan dibilang ketinggalan jaman, iya khan? Sebagai suatu produk teknologi modern, dengan gadget segalanya memang menjadi terasa mudah. Ibarat kata dunia bisa ada hanya dalam satu genggaman tangan saja. Hanya dengan sekali "klik" saja kita bisa "melanglang" buana dengan gadget ditangan. Kita bisa tahu apa yang terjadi di benua lain tanpa perlu susah-susah pergi ke sana. Dengan sekali pencet kita juga bisa langsung terhubung dengan orang lain ditempat yang berbeda. Bahkan dengan koneksi internet, kita bisa melihat apa saja yang tengah dilakukan oleh orang lain ditempat yang berbeda pada jam yang sama. Benar-benar luar biasa kerja gadget itu. Persoalannya gadget ini diciptakan tanpa kenal batas, baik batas usia ataupun batas kelamin. Siapa saja bisa memiliki gadget asal mampu membelinya. Siapa saja bisa mengakses gadget asal bisa mengerti caranya. Akibatnya banyak anak kecil yang kemana-mana menenteng Blackberry, banyak anak kecil yang bisa mengakses internet dengan fasih. Salahkah? Tentu tidak! Anak kecil bisa menggunakan Blackberry, anak kecil bisa akses internet, why not? Masalahnya yang sering kita lihat, orang jadi salah kaprah karena "ketidaktahuan" fungsi gadget sebenarnya. Blackberry diciptakan khan tidak hanya sekedar buat share status yang kadang nggak penting-penting amat bukan? Misalnya mau tidur bbm-am, mau makan bbm-an, bahkan kadang "maaf" mau buang hajat juga di share ke bbm. Walah, sampai segitunya ya. Tapi itulah kenyataannya, akibat ketidakmengertian akan fungsi Blackberry jadinya ya begitu. Fitur-fitur yang ada di BB tidak digunakan secara optimal. Benar-benar mubazir bukan. Kalo cuma mau share status, nggak perlu pake BB tho. Pake hape jadul dan ecek-ecek asal ada fasilitas untuk koneksi internet juga bisa, nggak perlu harus BB yang harganya bisa dibilang masih relatif mahal. Kesannya jadi malah latah ya. Ketika orang rame-rame punya BB keluaran terbaru, saya juga harus punya, bila perlu yang lebih mahal harganya. Yang penting bisa dibilang anak gaul dan nggak ketinggalan jaman. Weleh...weleh... Ini baru persoalan ketidaktahuan fungsi gadget itu. Ada lagi persoalan tentang begitu terikatnya seseorang pada gadget. Gadget seakan sudah menjadi candu baginya. Tanpa gadget hidup terasa hampa. Apa iya sih? Ketinggalan hape aja orang bisa stress setengah mati. Nggak bisa bbm-anlah, nggak bisa chattinglah, nggak bisa eksislah, betelah. Pokoknya banyak alasan yang dikemukakan orang ketika tidak sedang berada "dekat" dengan gadget kesayangannya. Tapi ketika sedang "menyanding" gadget, bukan hal-hal yang penting yang dilakukan orang. Coba saja amati di sekitar kita. Di airport, di terminal, bahkan di angkutan umum sekalipun, berapa orang yang benar-benar memfungsikan gadgetnya dengan optimal. Yang ada justru kita lihat manusia-manusia yang "asyik" dengan dunianya sendiri. Cuek dengan keadaan sekitar. Ada ibu-ibu hamil yang tidak kebagian tempat duduk di kereta ya cuek saja. Jurus pura-pura tidak melihat, mungkin sudah biasa. Ya iyalah, khan lagi sibuk bbm-an hehehe. Anak lagi nangis-nangis kelaparan, ibunya malah cuek bbm-an, banyak khan? Ada lagi yang tidak sadar akan bahaya, berkendara sambil mencat-mencet atau bahkan sambil jawab hape sudah jamak kita lihat. Akibatnya timbullah apa yang dinamakan generasi-generasi "autis" disekitar kita. Ketergantungan orang terhadap benda yang dinamakan gadget ini begitu terhampar jelas di depan mata. Gara-gara kecanduan gadget, para ibu jadi lupa ngurus anak, para suami jadi lupa kerja, dan para anak jadi lupa belajar. Inikah manusia-manusia yang katanya mengaku orang modern itu. Ngomong-ngomong tentang manusia modern, saya jadi teringat pada pendapat yang mengatakan "Manusia modern konon dapat dideteksi dari seberapa ia bergantung pada teknologi." Pendapat itu mungkin merujuk pada bagaimana suatu teknologi yang seharusnya berperan hanya sebagai pembantu kerja manusia, tapi kenyataannya justru telah berubah wujud menjadi suatu yang sifatnya penghambaan. Sungguh disayangkan bukan? Kalo kita pikir-pikir kembali, bukankah hal ini pada akhirnya justru akan membuat kita sebenarnya kembali ke fase primitif lagi? Di masa primitif dulu, manusia memang bergantung pada benda-benda. Lantas kalo sekarang ini kita lihat banyak orang yang sangat bergantung pada benda yang bernama gadget itu, apa masih bisa dibilang kemajuan? Inilah yang saya bilang tadi dengan salah kaprah. Salah kaprah dalam pemanfaatan teknologi tepatnya. Penghambaan seseorang akan teknologi tertentu bisa saja dilatarbelakangi oleh adanya arus globalisasi yang mampu mengubah dengan cepat gaya hidup seseorang menjadi lebih nyaman, lebih mapan. Tanpa disadari bahwa sesungguhnya dia telah kehilangan jati dirinya karena berbagai kenyamanan tersebut. Arus globalisasi yang ada sekarang ternyata semakin menggerus identitas kita. Kita yang biasanya saling bertegur sama dengan tetangga secara langsung, gara-gara teknologi pula interaksi secara langsung itu menjadi berkurang, bahkan hilang sama sekali. Demi suatu hal yang disebut manusia modern, kita benar-benar berada di dalam kendali teknologi. Jika kita tidak memiliki otoritas atas produk-produk teknologi dalam hal ini gadget itu, maka produk-produk itulah yang akan mengambil alih otoritas kita. Dan akibatnya kita akan menjadi hambanya. Hmmmm...sungguh-sungguh ironis bukan! Saya akan berbagi cerita nih tentang kejadian ketika gadget saya rusak. Waktu itu karena tidak sengaja dan karena kecerobohan saya pula, hape saya sampai kedudukan pantat bohai saya. Akibatnya layarnya langsung berubah jadi putih semua. Untungnya hape itu masih bisa berfungsi, walaupun hanya untuk menerima dan menelpon saja. Kalo untuk sms-an ya jelas nggak bisa. Lantas sepikah dunia saya? Sejujurnya iya, maksudnya saya yang biasanya bisa baca sms dari teman, jadi nggak bisa baca. Jangankan membacanya, pengirimnya saja nggak kelihatan dari siapa. Yang jelas saya tahu itu adalah sms hanya berdasarkan ringtone yang memang saya pasang berlainan dengan suara panggilan telpon. Selama beberapa hari saya hanya bisa meraba-raba apa saja sms yang dikirimkan teman ke saya. Tapi yang lucu justru adalah ketika saya jadi terbiasa mendengar teriakan dari "Si Ida" tukang sayur langganan saya. "Mama Danny, aku bawakan udang nih!" dengan lengkingan suaranya yang menurut saya bisa bikin anak bayi tetangga terbangun itu "Si Ida" menawarkan dagangannya. Gara-gara saya nggak sms dia beberapa hari, dia mungkin merasa kehilangan salah seorang langganannya kali ya. Dan hanya gara-gara hape yang rusak, justru saya bisa berinteraksi langsung lagi dengan Si Ida itu. Kalo biasanya saya cuma sms sambil bilang "Da, pesananku digantung di pintu aja ya, aku mau keluar dulu!" Gara-gara hape rusak saya jadi terbiasa lagi mendengar keluhan Si Ida tentang harga-harga di pasar yang naik. Dan itu seru sekali menurut saya. Dan ternyata tanpa hape, saya tetap fine-fine saja. Jadi sebenarnya tergantung dari bagaimana cara kita menyikapinya bukan? Jadi agar kita tidak terjebak pada penghambaan itu, alangkah lebih bijak bila kita memfungsikan teknologi, dalam hal ini gadget sesuai dengan "kegunaan" yang sebenarnya. Sebagai manusia yang mempunyai akal yang sehat tentu bisa memilih dan memilah mana yang layak dan tidak untuk dilakukan. Lagipula dengan memanfaatkan teknologi secara tepat dan benar, identitas kita sebagai masyarakat modern tidak akan hilang koq. Percaya deh hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H