[caption id="" align="alignleft" width="348" caption="gambar dari google.com"][/caption] "Mbak Edi, liburan mau kemana?" "Nggak kemana-mana, dirumah aja." "Wah sama dong, anakku yang besar dua hari ini psikotes terus habis itu dua mingguan matrikulasi." "Lho, jadi masuk sekolah baru sekarang pakai matrikulasi segala ya?" "Iya mbak, anakku khan masuk SBI mbak, Sekolah Berstandar Internasional." Begitu kira-kira dialog saya dengan seorang kawan yang anaknya baru mau masuk SMP tahun ini. Trending topic untuk bulan Mei, Juni, dan Juli ini memang sekolah. Dimana-mana orang ngomongin sekolah. Di pasar, di kantor, di arisan, di pos ronda sekalipun orang masih ngomongin tentang sekolah. Macam-macam tema yang dibahas berkaitan dengan sekolah ini. Mulai dari masalah kejujuran dalam ujian, tingkat kelulusan, "perburuan" sekolah sampai dengan masalah biaya sekolah yang makin tinggi. Nah belakangan ini yang lagi trend ya masalah Sekolah Berstandar Internasional, seperti yang kawan saya ceritakan itu. Orang ramai-ramai "berburu" Sekolah Berstandar Internasional. Beruntung saya belum mempunyai anak yang masuk di fase liminal atau peralihan seperti itu. Anak saya baru naik ke kelas 6 SD tahun ini. Makanya saya tidak repot ikutan "berburu" sekolah tahun ini. Walaupun demikian saya sadar, suatu saat masa "berburu" itu juga akan datang pada saya. Saya sendiri sebenarnya masih kurang paham dengan istilah "internasional" ini. Ada bandara internasional, ada rumah sakit standar internasional, dan sekarang sekolah standar internasional. Terus yang dimaksud dengan "internasional" dalam hal ini sebenarnya yang seperti apa? Apakah hanya melulu dalam hal penggunaan bahasa Inggris atau yang bagaimana? Kalau itu sih memang saya rasa perlu supaya nanti ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tidak akan kesulitan. Kalau sejak kecil sudah terbiasa cas cis cus dengan bahasa Inggris khan niscaya ketika kuliah dan mendapat tugas dari dosen untuk mereview artikel berbahasa Inggris tidak akan mengeluh seperti saya dulu hehehe... Tapi coba bayangkan kalau di rumah sakit yang katanya berstandar internasional, apakah semua pasien yang berobat kesana harus kursus bahasa Inggris dulu supaya bisa menyampaikan keluhan ke dokter yang memeriksanya? Wah..ya ini yang repot. Nanti bisa-bisa ada pasien yang datang ke seorang dokter terus mengeluh begini "dokter, mai bodi is not delisius" dan dokternya akan menjawab "oh yes, it is enterwind" hehehe... Lucu bukan? Kembali ke Sekolah Berstandar Internasional tadi, beberapa waktu lalu suami saya kedatangan seorang teman kantor yang membawa laptop ke rumah untuk dinstalkan program Window. Karena laptop yang dibawanya tampak baru (masih ada plastiknya) dengan spesifikasi yang wah pula, suami saya nyeletuk "laptop baru nih, lagi banyak uang kayaknya." Dan temannya itu menjawab "wah ini terpaksa, belinya minjam uang dana sosial mas!" Rupanya itu adalah laptop anaknya yang baru masuk sekolah yang katanya berstandar internasional. Laptop merupakan sarana wajib yang harus dimiliki oleh seluruh siswa di sekolahan tersebut. Dan karena "wajib", makanya teman saya tadi terpaksa membelikan laptop dengan cara minjam uang ke dana sosial (semacam koperasi) di kantor. Bahkan kalau tidak mampu beli sendiri, sekolah akan membelikan dengan cara mengkredit di sekolahan. Wah, koq sekolah malah jadi dagang laptop ya? Panjang lebar teman suami saya cerita tentang berbagai permintaan anaknya setelah masuk ke Sekolah Berstandar Internasional. Mulai dari minta laptop, minta hape untuk berkomunikasi dengan teman dalam mengerjakan tugas kelompok, dan sekarang minta dilangganankan internet biar bisa browsing pelajaran. Anehnya lagi laptop yang diminta harus spesifikasi tinggi, nggak mau yang ecek-ecek. Hapenya juga merek tertentu, nggak mau merek Cina yang murah meriah tapi fiturnya sangat lengkap. Malu dengan teman lainnya katanya. Padahal SPP di sekolah itu sudah lumayan mahal katanya, makanya gara-gara sekolah di standar internasional, teman suami saya itu jadi sering berhutang ke kantor. Nah lo, saya tambah heran aja karena setahu saya anak teman suami saya itu sekolah di negeri. Dan setahu saya, sekolah negeri di tempat saya gratis alias tidak bayar. Lha, ini koq bilang SPP-nya mahal ya? Rupanya sejak ada "embel-embel" Sekolah Berstandar Internasional, maka sekolah mengeluarkan kebijakan baru alias harus bayar SPP demi kelancaran proses belajar mengajar, begitu kata teman suami saya. Tapi karena sudah terlanjur, ya mau apa lagi. Memang benar katanya, anaknya jadi pintar cas cis cus bahasa Inggris, mungkin lebih pintar dari David Becham kali ya hehehe...Padahal di Inggris sana, masih bocah saja juga sudah pandai berbahasa Inggris ya. Waduh, ini yang mulai nggak bener menurut saya. Terus bagaimana dengan murid-murid yang sebenarnya sangat cerdas, tapi secara finansial tidak mampu untuk memenuhi segala "tuntutan" dari sekolah semacam itu? Haruskah mereka memilih sekolah swasta? Sama saja dong, swasta khan bayar juga! Apakah memang harus sebegitunya untuk dapat bersekolah di standar internasional? Apakah itu semua akan menjamin bahwa hasil ujian kelulusan nantinya pasti akan baik? Saya sendiri koq jadi pesimis ya. Bukan apa-apa sih, tapi melihat hasil UN kemarin saja koq yang menduduki nilai tinggi justru dari sekolah-sekolah yang bukan standar internasional ya. Boleh dibilang justru dari sekolah "ndeso/kampung" menurut saya. Saya malah berpikiran jangan-jangan anak-anak yang cerdas, tapi tidak mampu secara finansial akhirnya lari ke sekolah "ndeso/kampung" tadi ya? Yang penting toh bagi mereka masih bisa sekolah di negeri yang tidak bayar. Terus apa dong yang diajarkan selama ini di sekolah yang katanya berstandar internasional itu. Atau karena murid-murid di sekolah itu sibuk berbahasa Inggris dan bermain internet ya? Waduh, yang namanya Matematika, Kimia, dan Fisika tanpa diajarkan menggunakan bahasa Inggris saja menurut saya sudah susah lho! Apalagi dengan diajarkan menggunakan bahasa Inggris, tambah pusing kalau saya. Jangan-jangan kita selama ini salah mengartikan istilah "internasional" itu sendiri ya. Dalam bayangan kita kalau sudah "internasional" itu semua serba wah. Kemana-mana berbahasa Inggris, kemana-mana menenteng laptop, sudah begitu biaya sekolahnya juga mahal. Tapi begitu dipertanyakan tentang prestasi yang dicapai, semua masih jauh dari yang diharapkan. Kita jadi lupa bahwa dibalik semua itu diperlukan usaha, semangat, dan kerja keras untuk menghasilkan sesuatu yang maksimal dan terbaik. Kita sudah bersusah payah mematangkan segi kognitif, tapi segi kemanusian kita lalaikan. Wah, ini yang gawat! Jangan-jangan kita memang belum butuh itu Sekolah Berstandar Internasional, yang notabene berbiaya mahal. Jangan-jangan ini hanya sekedar trend belaka, tanpa memikirkan masih banyak sekali persoalan pendidikan di negara ini yang perlu dibenahi. Masih banyak sekali sekolah-sekolah yang hampir roboh. Masih banyak sekali guru-guru yang berstatus honorer. Semua itu masih perlu penanganan yang maksimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H