[caption id="" align="aligncenter" width="240" caption="gambar dari google.com"][/caption] Hari masih pagi ketika Bima memarkirkan sepeda motornya di parkiran kampus. Masih sepi, hanya ada beberapa motor dan juga beberapa mahasiswa yang kebetulan kuliah di pagi ini. Hari ini kebetulan Bima juga ada kuliah pagi. Dilihatnya jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan angka 6 lewat 30, ah..masih pagi ternyata, batinnya. Sambil berjalan menuju ke ruang kuliahnya, dihirupnya udara pagi ini dalam-dalam. Hmmm...segar sekali udara rasanya pagi ini, belum banyak polusi dari knalpot motor para mahasiswa. Sesekali mata Bima mengedar ke seluruh pelataran kampus, mencari-cari siapa tahu ada teman yang satu mata kuliah dengannya pagi ini. Dengan begitu akan ada teman yang bisa diajak ngobrol sambil menunggu mata kuliah dimulai. Clingak-clinguk, kesana-kemari tetap tidak nemu teman yang dia cari. Ah..ini memang masih terlalu pagi, batinnya. Biasanya teman-teman kuliah baru berdatangan menjelang mata kuliah dimulai, bahkan ada sebagian yang nylonong begitu saja ketika dosen sudah masuk ruangan. Tiba-tiba saja Bima dikejutkan dengan tepukan lembut seseorang dipundaknya. "Ehh...lagi ngapain clingak-clinguk gitu, pak?' tanya gadis itu ceria yang secara tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya. "Oh kamu Sin, ngagetin aja! Kayak hantu tau, tiba-tiba nongol." balas Bima dengan ekspresi sedikit terkejut. "Emang aku hantu, hantu paling cantik malahan hahaha..." tawa Sinta riang. "Iya deh...percaya...percaya" kata Bima tak kalah riangnya. Ya iyalah siapa sih yang nggak kenal Sinta sih? Sudah cantik, tajir pula. Udah gitu Sinta juga baik hati, suka nolong teman-temannya yang kesusahan. Termasuk Bima juga yang nggak kehitung lagi sejak mengenal Sinta, berapa kali sudah Sinta telah menolongnya mengatasi kesulitan keuangan yang dialaminya. Sinta...Sinta, kamu memang baik deh, batin Bima kagum. "Ehh...ke kantin yuk! Lapar nih, tadi belum sempat sarapan." katanya sambil memegang perutnya. "Kamu aja deh, aku tunggu disini." Bima mencoba menolak ajakan Sinta. Bukan apa-apa sih, walaupun dia sebenarnya tadi pagi belum sarapan juga, tapi dia nggak enak aja setiap hari ditraktir Sinta. "Ayolah...kamu tuh kayak sama siapa saja!" bujuk Sinta seraya menggamit lengan Bima. Bima pun akhirnya terpaksa mengikuti ajakan Sinta. "Tapi makan kue aja ya, nggak bisa lama-lama nih kita, 20 menit lagi sudah masuk." Bima mengingatkan. "Iya..iya...paling-paling juga cuman sebiji kue atau roti sama teh manis aja koq, nggak lama khan?" sahut Sinta lembut. Mereka pun berjalan sambil bergandengan tangan menuju kantin kampus. Sampai di kantin sudah ada beberapa teman mahasiswa yang juga lagi pada sarapan disana, termasuk si Alan teman satu angkatan dengan Bima dan Sinta. "Pagi...Mas Bro!" sapa Alan sambil menyodorkan tangannya ke Bima membentuk gerakan 'toss'. Belakangan ini Alan memang suka memanggil Bima dengan sebutan Mas Bro. Mungkin Alan terpengaruh sama sinetron "Islam KTP" yang kebetulan sedang tayang di salah satu stasiun televisi swasta. Entahlah, hanya Alan yang tahu mengapa ia memanggil Bima dengan sebutan begitu. Bima sendiri tak terlalu mempersoalkannya. Kebetulan bangku di depan Alan kosong, Bima pun langsung mengambil tempat di depan Alan. Sementara itu Sinta langsung menuju ke penjaga kantin, memesan menu yang akan mereka santap. "Eh...nggak biasanya kamu Lan, pagi-pagi sudah nongol di kampus?" tanya Bima kemudian. "Yaaa..Mas Bro, aku khan juga mau cepat kelar kuliahku. Makanya aku sekarang mulai rajin kuliah lagi, biar nggak jauh-jauh amat ketinggalan sama kamu dan putri cantikmu itu." jelas Alan sambil dagunya dimajuin menunjuk ke arah Sinta yang lagi memesan makanan. "Lagian kasihan juga aku sama bapak ibuku. Mereka sudah capek-capek banting tulang supaya dapat terus rajin ngirim uang buat kuliahku, tapi aku malah santai-santai saja. Anak macam apa aku ini?" terang Alan panjang lebar. Alan memang berasal dari daerah, sama seperti Bima sekarang. Karena tidak ada keluarga yang bisa ditumpangi untuk tinggal, makanya Alan terpaksa harus kos. Sementara bapak ibunya hanya pegawai rendahan. Maka bisa dibayangkan bagaimana orang tua Alan harus banting tulang untuk menghidupi Alan kuliah di kota ini. Hampir serupa dengan Alan, hanya saja Bima tidak perlu kos seperti Alan. Kebetulan Bima adalah pelajar teladan di daerahnya, makanya ia bisa menempati fasilitas gratis di asrama daerah yang memang diperuntukkan bagi putra daerah yang berprestasi. Itu artinya Bima bisa lebih menghemat kiriman uang dari orang tuanya yang hanya buruh kasar di daerah kelahirannya. "Nah, bagus tuh! Untungnya kamu cepat sadar." kata Bima sambil menikmati hidangan yang tadi dipesan oleh Sinta. Mereka bertiga pun akhirnya asyik ngobrol dan baru berhenti ketika mata kuliah pagi itu akan dimulai. ***
(BERSAMBUNG)
Penulis : Valentino + Dian + Afandi Sido + Edi Kusumawati (Nomer Peserta : 117) Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H