Langit kota Milan terlihat sendu, tampak sisa salju yang mulai mengeras nan licin di jalanan.
Aku bergegas berusaha memasuki sesegera mungkin Milano Centrale agar tubuh segera hangat di cuaca akhir bulan Desember yang tampak temaram itu.
Saat itu menunjukkan pukul 2 siang. Itu berarti sejam ke depan kereta akan membawaku ke suatu tempat yang memang menjadi salah satu destinasi tujuanku selama di benua biru ini.
Milano Centrale, stasiun kereta api terbesar di kota Milan. Dengan penghangat ruangan yang dimilikinya, sepertinya langsung bisa mencairkan kebekuan pada ujung-ujung jari tangan yang terasa membeku sebelumnya.
Udara luar ruang hari itu cukup untuk membuat tubuh menggigil karena selalu berada di bawah 8 derajat celsius.
Stasiun kereta yang tampak sangat megah dan sangat berbeda dengan bangunan-bangunan fisik di sekitarnya.
Tiga pintu masuk utama yang sangat besar dengan pilar-pilar besar berarsitektur romawi kuno seolah tempat ajang parade busana terbuka bagi siapa saja yang melintas.
Bangunan yang tampak terbuka dan terasa lapang. Langit- langit ruangannya sangat tinggi dengan ornamen ruang tampak klasik namun tetap dengan sentuhan teknologi modern.
Semuanya seolah melengkapi Milan sebagai kota seni dan pusat mode dunia yang selalu dikunjungi oleh banyak orang dari seluruh dunia.
Semua orang terlihat sibuk berlalu lalang. Rata-rata berperawakan tinggi semampai berbalut pakaian musim dingin modis yang tampak elok dipandang mata.