Lihat ke Halaman Asli

Jan Bestari

Merayakan setiap langkah perjalanan

Cinta Mati (5 Sunset)

Diperbarui: 29 Januari 2022   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi diolah pribadi dari pictsart app

Pernah diceritakan oleh ayahku. Pada suatu waktu saat aku masih kecil sekira umur   6 tahun. Pulau ini telah dijadikan tempat sebagai ajang perang telur. Itu dilakukan orang-orang kampung sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta karena banyaknya sekali penyu-penyu yang mendarat untuk bertelur di pulau ini.  Perang itu banyak dihadiri oleh muda mudi karena dasarnya semua ingin merasakan suasana pesta perang telur ditempat yang eksotis tersebut. Sebelum dimulai perang telur, didahului dengan upacara adat yang pasti dipimpin oleh Datuk Emran. Ribuan telur penyu sengaja disiapkan oleh panitia kampung untuk dijadikan senjata saling lempar. Siapa saja bisa mengambil peran tanpa batasan. Saat perang berlangsung tidak ada teman, yang ada adalah setiap orang bisa menyerang dan diserang. Suasana sangat heboh dan seperti kacau balau, tetapi semua dilakukan dengan penuh kegembiraan.

Sekadar saling kejar mengejar adalah hal biasa. Itu dilakukan oleh setiap orang untuk meyakinkan agar telur mendarat dengan sempurna di seluruh bagian tubuh. Tentu tanpa kecuali termasuk wajah dan rambut.

Ada saja yang usil. Mereka telah persiapkan sejak dari rumah masing-masing dengan sengaja membawa telur-telur ayam dan itik busuk untuk dilemparkan kepada target orang yang diinginkannya. Tentunya bau super busuk yang bisa membuat kepala pusing, sekaligus dapat segera membuat isi perut keluar seketika. Siapapun akan lari terbirit-birit demi menghindari lemparan telur-telur busuk tadi. Sebaliknya mengejar dan dikejar sekuat tenaga adalah hal biasa sehingga memberikan kesan yang mendalam bagi siapa saja yang pernah mengikuti tradisi tersebut.

Tidak jarang seseorang berlari sebisa dan sekencangnya, hanya untuk dapat berlindung sesaat disemak-simak hutan pinus atau segera menyelam dipantai. Itu dilakukan terutama menyelamatkan diri dari kejaran orang-orang yang sangat bersemangat melumurinya dengan telur-telur busuk yang berada dibalik kantong-kantong baju dan celananya. Untuk yang pandai berenang melarikan diri kepantai kemudian menyelam selama mungkin adalah hal yang biasa. Dapat dibayangkan cairan telur busuk tersebut jika sempat bersarang dirambut atau anggota badan kita mana saja, sehingga tidak jarang terlihat orang langsung muntah-muntah meski hanya sekadar melihatnya saja, yang pasti akan  tercium dijarak yang masih puluhan meter.

 Tetapi tidak ada rasa dendam. Perang telur berakhir saat tiada lagi telur yang jumlahnya ribuan habis dilemparkan kesiapa saja yang hadir. Perang biasanya berakhir menjelang siang. Rasa yang timbul justru kegembiraan dan akhirnya tertawa bersama. Bahagia akhirnya timbul setelah waktu perang dikatakan usai. Setelahnya adalah waktu setiap orang menikmati keindahan pantai. Baik yang hanya sekedar berjalan-jalan di pantai atau mandi sekalian membersihkan tubuh dari lumuran bau telur yang masih lengket di tubuh.

******

          “Ayo...kepantai sekarang!,” seru Fithar kepada kami semua.

            “Itu yang kami tunggu sejak tadi,” Kemala membalas sambil mengedipkan mata manjanya kepada kami berdua. Dewi hanya tersenyum seolah tidak sabar lagi untuk merasakan hangatnya air laut sore itu.

 Tidak diperlukan waktu yang lama dari kami semua untuk berlarian mendekati arah datangnya gemuruh ombak yang menghempas pantai. Jarak kepantai hanya kurang  200 meter saja, sehingga aura biru laut seperti nampak menembus diantara celah-celah pohon cemara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline