Lihat ke Halaman Asli

Jan Bestari

Merayakan setiap langkah perjalanan

Cinta Mati (2. Liburan 3 Anak Kota)

Diperbarui: 29 Januari 2022   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi diolah pribadi dengan pictsart app

16 Dzulqaidah 1410 bertepatan dengan Jumat 11 Mei 1990

Jumat pagi yang cerah.  Matahari merangkak dengan sinarnya yang mulai menyilaukan mata. Hari ini adalah dimulainya waktu Sedekah Laut yaitu ritual adat dengan tujuan memberikan sesaji kepada penguasa dilaut. Sehari sebelumnya,setiap rumah dikampungku ikut menyiapkan bahan upacaranya, untuk kemudian dikumpul di rumah Datuk Emran. Setiap rumah bergotong-royong menyediakan berbagai keperluan upacara adat kampung seperti lilin, rattih yaitu padi yang disangrai sampai menjadi seperti popcorn, rokok linting daun nipah, tembakau, sirih pinang,telur ayam, buah kemiri dan paku.

Datuk Emran begitu ia dipanggil. Seorang yang pembawaannya berwajah serius. Kulitnya coklat kehitaman karena terlalu sering terpanggang oleh sengatan sinar matahari. Suaranya terdengar agak berat, perawakannya kurus tinggi, bermata agak sipit, rambut sebagian besar sudah memutih. Kumisnya menyambung dengan jenggot yang tampak rapi. Seringkali ia terlihat menghisap rokok linting kertas ditepi bibirnya. Beliau adalah sosok dukun yang disegani dan sangat terkenal di kampung kami. Ekspresi wajahnya terlihat selalu menyelidik. Garis-garis wajah di dahinya telah mengerut dengan sangat tegas. Mungkin disebabkan kebiasaannya yang selalu menelisik setiap orang terutama yang baru dilihatnya. Dan beliaulah yang mengambil peran penuh dalam upacara sedekah laut dikampung kami yang diadakan setiap tahun.

Emak suatu ketika pernah bercerita bahwa Datuk Emran dulunya pernah bekerja sebagai tenaga pengamanan, pada sebuah perusahaan kayu dikampung kami. Mungkin atas dasar pengalaman pekerjaannya yang harus melindungi, dari gangguan apapun milik tuan tempatnya mencari nafkah. Menyebabkan pembawaannya sampai saat ini, ia selalu menaruh curiga kepada siapa saja yang datang berkunjung ke kampung kami.

Pagi terus beranjak menjelang siang. Disaat pintu depan rumah diketuk orang dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Terlihat melalui sela-sela celah susunan pintu papan kayu. Tiga tamu telah berdiri menungguku membuka pintu diluar sana. Masing-masing melihat kekiri dan kanan untuk dapat memastikan penghuni ada didalam rumah. Sekilas dari penampilannya kutebak mereka adalah anak-anak kota dari kalangan orang berpunya.

Sesaat setelah kubuka pintu dan mempersilakan masuk. Sesegera itu seorang pemuda sebayaku langsung mengulurkan tangannya kepadaku

 "Perkenalkan namaku, Fithar..ini Kemala...dan ini Amarilis Dewi dari perguruan tinggi Indrapura," pemuda bermata teduh berkulit agak gelap. Potongan rambutnya pendek. Baju kaos oblong yang dipakainya, terlihat sangat pas dibadannya karena perut yang terlihat sixpack tampak serasi dengan kaos oblong oranye yang membalut postur tubuhnya yang atletis. Pemuda berwajah dingin itu diikuti langsung oleh kedua teman gadis yang mengikutinya dari belakang.

Seorang gadis berkulit putih, berwajah ceria dan tidak terlihat kelelahan dari perjalanan panjang sebelumnya. Senyumnya sungguh manis dan lepas. Ia mengulurkan tangannya terlebih dahulu dan bersemangat

"Namaku Kemala Ismaya dan panggil saja Kemala...,"suaranya terdengar manja namun hangat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline