Menjelang subuh, ... tok tek tok tek tok tek krekkk ... , bunyi kaki--kaki kuda yang beradu dijalan tanah yang telah mengeras. Kemudian tiba-tiba tali pelana kuda secara mendadak ditarik pak kusir, disaat persis delman sudah berada diujung bibir pelabuhan.
"Silakan turun, Tuan!, kita sudah sampai ditujuan," seru kusir delman mengejutkanku. Ia telah membawaku dengan sangat hati-hati sejak dari Harmonie. Hanya sesekali terdengar pekikan kuda yang terkejut disebabkan oleh lingkaran tali dilehernye yang ditarik tiba-tiba oleh pak kusir delman yang membuatku terbangun disepanjang perjalanan. Sementara kondisiku masih berada diantara sadar dan tidak.
Kemudian dengan cekatan pak kusir yang telah menjadi langgananku selama di Batavia tersebut menurunkan barang-barang keperluan berlayarku.
Kabut tebal masih menyelimuti pandangan mata. Kesibukan orang-orang sudah terlihat dipelabuhan baik dititik kedatangan maupun keberangkatan. Terkadang sulit dibedakan mana yang akan pergi maupun yang baru saja datang dari berlayar. Tampak masih samar disekeliling pelabuhan. Penerangan dari api-api obor orang yang berlalu lalang merupakan satu-satunya alat yang membantu ketajaman penglihatanku, karena kabut tipis itu tampak seperti selaput yang berlapis-lapis. Angin masih bertiup lemah, tetapi sesekali kadang membuat tubuhku menggigil. Dan tetap saja tiupan angin dimusim salju dinegeriku lebih terasa menusuk-nusuk kulit tubuh. Sesekali gigi-gigi gerahamku beradu dengan bunyi gemeretak secara berulang meski kedua tanganku telah berusaha kudekap dengan rapat. Disudut pelabuhan sana terlihat orang-orang sedang membongkar isi muatan dari lambung kapal yang baru saja datang mendarat.
" Semuanya dibawa ke kapal layar, Tuan Stewart?" ucap seorang awak kapal dan langsung segera membawa koperku untuk dibawa diruang utama kapten kapal.
" Terima kasih" kusampaikan kepada anak muda yang membantuku dan tampak cekatan tersebut. Aku hanya menyisakan untuk kubawa sendiri sebuah buku catatan penting Oliver Van Dijk selama di Sambas Darussalam. Sebuah benda yang akhir-akhir ini selalu kubuka siang dan malam.
Samar terlihat buruh-buruh pribumi. Badannya kurus dan legam akibat terpanggang oleh terik matahari. Tidak tampak kelelahan sama sekali, kegembiraan dan semangat terlukis diwajah mereka. Kulihat diantara mereka sering berjalan dengan posisi badan yang sangat membungkuk karena beban yang dipanggul pada pundaknya terlalu berat. Rata-rata bertelanjang dada, jikapun berbaju pasti akan terlihat rombeng. Celananya berbahan rami butut selutut.
"Pagi Meneer!" beberapa dari mereka masih sempat menyapaku ramah meski terengah-engah dengan beban dipundaknya yang berat menggantung. Sapaan yang sebenarnya tidak pas kepadaku. Sebutan meneer seharusnya untuk tuan-tuan Belanda. Tetapi sudahlah aku juga tidak mempermasalahkan karena mereka melihat kami berasal dari benua yang sama dengani fisik yang sulit dibedakan.
" Pagi Tuan-Tuan" kubalas sapaan mereka tersebut dalam bahasa Melayu yang kuketahui. Mereka balik melemparkan senyum puas kepadaku.
Bau anyir laut yang dibawa angin menyeruak masuk ke seantero geladak kapal yang diberi nama Commando ini. Dari namanya, kapal ini sudah ditujukan untuk menyerang musuh.