Awalnya saya berpikir bahwa nge-blog hanya sarana curhat dengan narasi panjang tanpa implikasi bagi si penulis. Namun setelah membandingkan platform media sosial dengan blogging saya melihat ada perbedaan yang sangat tajam di antara keduanya.
Dari sisi konten jelas tulisan-tulisan pada blog mengandung narasi yang lebih panjang dengan tingkat informasi dan data dukung yang lebih kaya sehingga si penulis blog mampu memberikan elaborasi panjang dan padat. Bandingkan dengan platform media sosial yang memang didesain untuk instant posting dan update status, sangat subjektif dan rentan dengan misinterpretasi karena keterbatasan elaborasi ide dan gagasan dalam bentuk tulisan yang lebih exstensif.
Tidak jarang, banyak pengguna media sosial terlibat dalam pertengkaran baik virtual dan nyata hanya karena status dan posting. Meski UU ITE telah membatasi pengguna media sosial dalam berekspresi namun hate speech, hoax, pornografi/aksi, verbal crime kerap kali muncul dalam linimasa kita.
Hal ini bukan disebabkan oleh ketidaktakutan terhadap hukum namun terlebih karena sifat dasar manusia adalah bicara (talking head). Wahana gawai dan koneksi internet mobile makin membuat sifat dasar ini semakin memiliki ruang konkret dimanapun dan kapanpun.
Berbeda dengan media sosial, blogging adalah aktifitas menulis santai berbasis pengalaman dan pencerapan yang meminimalisir penulis untuk menghujat, menghina, melecehkan dan perilaku verbal negatif lainnya. Mengapa demikian? karena hampir sebagian kosa kata kasar (swear words), sumpah-serapah dan lexical yang tumbuh bermakna umpatan dalam masyarakat dalam bentuk frase pendek dan kalimat tidak lengkap.
Bahkan, jika si penulis blog memang berniat untuk menghujat, menghina, mengumpat dan sejenisnya maka dia harus mampu menulis sebuah artikel untuk melakukannya atau menyembunyikan maksudnya dalam bentuk narasi satire. Dengan kata lain, peluang untuk melukai perasaan orang lain secara verbal hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki literasi tingkat tinggi.
Dalam konteks aktifitas media sosial kita sehari-hari, datangnya informasi (information influx) jauh lebih cepat dari kemampuan membaca kita. Tak jarang, banyak informasi yang hanya sempat terbaca pada bagian judul dan paragraf pertama. Satu orang bisa saja terlibat dalam lebih dari 10 group media sosial bahakan lebih, kemudahan berbagi artikel, share-link dan berita seperti jamur liar di musim penghujan.
Baru saja mulai membaca satu artikel dalam grup satu sudah ada notifikasi dari grup lain dan begitu seterusnya. Akun media sosial juga memiliki banyak varian dan fitur namun setiap pengguna hanya memiliki satu otak, satu pasang mata untuk mencerna tiap informasi.
Belum lagi jika kemampuam membaca kurang karena faktor usia dan intelegensia maka praktis dalam satu hari seseorang hanya dapat membaca dua atau tiga artikel berita atau bahkan tidak sama sekali. Hal ini tentu tidak sejalan dengan prinsip modernisme yang memungkinkan hidup dalam genggaman (living at one hand).
Untuk menjadi sebuah pengetahuan dan kecerdasan yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang, sebuah informasi harus masuk melalui indera pedengaran lalu tersimpan melalui proses berpikir, menganalisa, mengevaluasi dan meangaplikasikan.
Kita tidak harus membaca semua share berita dan artikel, tidak ada kewajiban untuk itu namun kita perlu mendaur artikel dan share berita tersebut menjadi sumber pengetahuan dan ilmu. Bagaimana caranya? tentu tidak dengan copy-paste link melainkan menarasikan ulang, mengulas dan membahasakan ulang berdasarkan telaah, penilaian dan interpretasi kita masing-masing. Aktifitas semacam ini membuat seseorang hidup di jamannya dengan prinsip ekonomis karena tiap berita dan artikel yang diterimanya melalui saluran data berbayar menjadi referensi dan landasan berpikir lewat tulisan.