Lihat ke Halaman Asli

Kampus, Mahasiswa, dan Opini Peradaban

Diperbarui: 24 Januari 2018   09:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber foto: dokumen pribadi)

Para Guru Besar, pemimpin, pemikir, pendidik, birokrat, politisi, dan enterpreneur saat ini adalah mahasiswa jaman dahulu sebaliknya mahasiswa saat ini adalah para pengganti mereka di masa yang akan datang. Kalangan luas berasumsi bahwa kampus adalah lingkuangan penyemai benih manusia-manusia yang diharapkan memiliki intelektualitas yang tinggi, pewaris estafet peradaban dan agen perubahan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Mahasiswa adalah warga kampus yang sedang berjuang menyerap ilmu dan aktualisasi diri dalam privasi keilmuan dan disiplin masing-masing. 

Ironis, kehidupan masyarakat terdidik dalam sivitas akademika kampus dewasa ini kerap tercoreng oleh ulah segelitir oknum yang tidak mencerminkan betapa mulianya menjadi bagian dari mayarakat berpikir. Kasus tawuran antar-mahasiswa, korupsi di lingkungan kampus, maraknya peredaran narkoba pada kalangan pendidikan tinggi, jual-beli seks, plagiarisme, maladminstrasi akademik membuat kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi menjadi turun drastis. Beberapa orangtua bahkah tidak mau membiayai kuliah anak-anaknya karena takut akan pergaulan dan kehidupan kampus. Kepercayaan khalayak bahwa kampus adalah sarana satu-satunya sebagai tahap akhir dari pendidikan formal tergerus oleh prilaku distortif dan kontra-produktif oleh oknum mahasiwa, dosen dan bahkan pimpinan perguruan tinggi.

Sejak ditetapkan akreditasi sebagai prasyarat sebuah institusi kampus dan program studi, lingkungan akademik kampus berubah menjadi sarang arsip dan rantai siklus adminstrasi yang tidak berkesudahan. Target pencapaian empat tahunan seakan menjadi tolak ukur keberhasilan kampus dalam mendidik dan menggembleng manusia. Sulit memang untuk terlepas dari belenggu adminstrasi yang bertumpuk, selain disebabkan oleh regulasi yang ketat pertanggungjawaban penggunaan anggaran juga erat kaitannya dengan proses pengarsipan dan pelaporan. Pola audit-mutu berbasis akreditasi ini juga bukan tidak rentan terhadap penyelewengan dan penyimpangan. Berapa banyak kampus-kampus yang nilai akreditasinya tinggi namun mutu lulusannya tidak mencerminkan asal kampusnya. Bahkan terdapat juga skandal-skandal yang muncul ke permukaan. 

Kampus dan mahasiswa harus lebih dari sekedar gudang arsip dan lembaga wajib lapor. Mahasiswa harus diberi ruang yang maha luas untuk bertransformasi dan berkembang dengan dialektika keilmuan. Kampus handaknya menjadi ladang subur untuk mengexplorasi potensi diri mahasiswa dan dosen berpikir terhadap peradaban manusia kini dan di waktu yang lain. Ruang berpikir dan berekspresi jangan dibatasi oleh gap formalistic atasan-bawahan, senior-junior, guru besar-asisten ahli dan segala bentuk dikotomi lainnya. Semua manusia hanya berada pada ruang dan waktu yang berbeda bukan pada kemampuan aslinya, dia hanya butuh waktu untuk proses menjadi. 

Jika komponen penyemaian manusia terdidik terinterupsi oleh kepentingan dan ketidakberpihakan aturan maka bisa diprediksi seberapa berat bagi sebuah bangsa untuk bertahan dan mencapai tujuan-tujuannya. Musuh dari sebuah perkembangan manusia bukanlah tahapannya melainkan zona nyaman yang meninanbobokan manusia hingga tertidur pulas dan tidak mau bangun lagi. Sebuah aturan yang dibuat selalu bersifat temporal untuk mengamankan situasi yang kekinian. Namun, proyeksi ke depan, opini peradaban di masa yang akan datang tidak bisa disandarkan pada siklus aturan, regulasi dan administrasi saat ini. Jika hal ini terus berlangsung tanpa antisipasi, ini sebuah kebodohan yang disengaja.  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline