Di antara sekian banyak perbedaan dalam konteks bernegara NKRI dengan multikultur sebagai salah satu ciri, perbedaan agama-lah yang kahir-akhir ini mencuat. Tidak jelas sebab-musabab mengapa item agama yang seharusnya menjadi kekayaan kita dalam bingkai Indonesia malah sering menjadi sebab konflik dan perpecahan sesama anak bangsa. Eskalasi konflik yang kerap dilatarbelakangi isu-isu sentimen agama terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari level grass root hingga level elit. Diskursus ini kemudia diparah oleh moda komunikasi nirkabel yang membuat pertautan perbedaan menjadi semakin menjadi-jadi bahkan hingga terputusnya tali persaudaraan, persahabatan bahkan kekeluargaan. Tidak terbayang jika polarisasi interkaksi digital adalah representasi mikro dari sikap dan pola dalam bingkai yang makro yakni cara kita berbangsa dan bernegara.
Sebagai anak bangsa saya pernah merasakan kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya mulai dari Suharto, Gus Dur, Habibie, Megawati hingga SBY namun aroma stigma perbedaan agama di era rezim presiden Joko Widodo lebih terasa di permukaan. Berbagai suguhan dari media mainstream
memperlihatkan betapa kesadaran keagamaan mulai menempati ruang utama dalam sendi kehidupan kita. Diksi dan Frasa "Penistaan Agama", "Persekusi" Ormas Radikal" "Intoleransi" "Pembubaran Pengajian" "SARA" dll seakan membenarkan hipotesis bahwa negara kita dihadapkan pada ujian terberat yaitu "mengelola agama". Setiap perbedaan memiliki kapasitas pembeda, namun perbedaan agama menempati puncak tertinggi dari self-esteem manusia. Jika negara tidak hadir untuk merevitalisasi nilai-nilai dan budaya yang menjadi semangat pemersatu bangsa secara berkelanjutan maka bisa jadi umur bangsa ini pecah dan punah namun jika negera berhasil maka negeri ini akan bertahan menjadi warisan bagi anak cucuk di kemudian hari.
Hari Amak Bakti (HAB) yang diperingati sebagai hari lahir Kementerian Agama RI setiap tanggal 3 Januari merupakan momentum bagi semua komponen agama di Indonesia untuk merayakan perbedaan. Pada tahun 2018 ini Kementerian Agama genap berusia 72 tahun, sebuah pencapaian yang tidak singkat dalam mengelola perbedaan yang hyper-sensitif. Dalam sambutannya Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin berkata "index kerukunan antar umat beragama pada trend positif" dibuktikan oleh semakin kuatnya kesadaran kerukunan di berbagai wilayah melalui organisasi dan majelis keagamaan, mitigasi dan antisipasi konflik agama yang efisien serta berkurangnya angka kekerasan atas nama agama. Realita dari implementasi kinerja Kementerian Agama tentu tidak bisa disandarkan pada angka-angka statistik semata. Maraknya isu-isu SARA dalam pesta demokrasi, kapitalisasi agama terhadap kepentingan, radikalisme dan potensi konflik di daerah dilatarbelakangi agama masih menjadi pekerjaan besar bagi satuan kerja yang mengurusi agama ini.
Republik ini didirikan oleh berbagai macam elemen, daulat terhadap bentukan negara ini telah disepakati oleh para founding father bangsa ini yang telah melaui berbagai macam tahapan yang panjang. Proses tersebut berujung pada konsensus besar yaitu ideologi bangsa Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Keempat pilar ini adalah harga mati yang tidak bisa di tawar apalgi di-anulir oleh sekelompok orang atau oknum yang menginginkan bangsa ini terpecah-belah dan hilang dari peradaban. Berbagai upaya konkrit yang dlakukan oleh pemerintah diantaranya Pendirian Satuan kerja Presiden yaitu UKP-PIP yang dinahkodai Yudi Latief. Selain merupakan upaya untuk merevitalisasi Pancasila, ini adalah tanda bahwa pemahaman dan interpretasi terhadap ideologi bangsa sudah mulai distortif.
Apresiasi terhadap Kementerian Agama yang hingga saat ini masih terus memperkuat supremasi tri-kerukunan umat beragama yang menjadi syarat utama pembangunan. Tidak ada pemimpin yang dapat tenang berpikit ketika rakyatnya masih bertengkar karena persoalan agamanya masing-masing, tidak ada satupun aparatur yang bisa berpikir jernih ketika hinggar-bingar perkelahian atas nama agama masih terus bergejolak.
Bangsa ini sangat baik hingga saat ini tidak ada satupun dari umat beragama tidak "puas" untuk mencintai agamanya, beribadah dan berkontemplasi dengan iman yang diyakininya. Bayangkan jika kita tinggal di negara-negara yang sedang berperang, berkonflik yang tak berkesudahan dan saling-benci saudara setanah air saya yakin tak satupun pujian, ayat dan doa bisa dengan tenang kita uncarkan. Konstitusi kita masih tegak, ideologi kita masih kuat, regulasi dan sistem aparaur kita masih berfungsi dengan sangat baik. Oleh karena itu selamat merayakan perbedaan!
#HAB72_Kementerian Agama
#Dirgahayu_Kementerian Agama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H