Meski libur dan cuti bersama idul fitri 2016 telah berakhir seminggu yang lalu namun Jakarta akan diperkirakan kembali menggeliat minggu depan [18 Juli 2016]. Hal ini disebabkan libur anak sekolah juga telah usai dan hari pertama masuk sekolah. Instruksi Mendikbud kepada orangtua untuk mengantar anak-anak pada hari pertama sekolah nampaknya akan menambah kuantitas pengguna jalan, transportasi umum dan jalur umum lainnya seperti jalan tol. Seperti biasa, pertambahan pendatang dari berbagai wilayah ke Jakarta akan mencapai 20-25% tiap tahunya terutama seusai libur panjang lebaran.
Motivasi datang ke Ibu Kota dengan berbagai macam motif mulai hanya dari sekedar menghabiskan waktu cuti, bekerja, usaha, kuliah, belajar atau hanya sekedar mengadu nasib (man without reason). Pemda DKI-pun telah menyiapkan berbagai langkah strategis untuk mengelola pergerakan urban yang cenderung menimbulkan potensi masalah seperti kepadatan, kumuh, tingkat kriminalisme, kemacetan, ketimpangan sosial dan berbagai persoalan demografis lainnya.
Apapun kondisi yang akan dialami Jakarta minggu depan, inilah Ibu Kota Negara kita, hampir 10 juta orang piring nasinya ada di kota ini dan jutaan lainnya masih menunggu tangan Ibu Kota akan ke mana arah hidupnya akan berlabuh, for better or worse?
Tradisi "mbekel" atau membawa panganan awet dan rempah dapur dari kampung halaman bagi warga rantau telah lama menjadi alternatif ketika memasuki awal masuk kerja, ngantor, nguli dan aktifitias pencarian nafkah lainnya. Bisa dibayangkan ketika saldo tabungan sudah kering, THR sudah terdistribusi, gajian masih jauh belum lagi harus bayar ini dan itu seperti token listrik, pulsa GSM, paket data, air galon, beras dan lilin ketika terjadi pemadaman bergilir :). Masa-masa seperti ini betapa "rengginag kering" bak emas murni di tepihan padang pasir yang maha luas tak tau harus mencari sumber oase.
Hampir, sepertiga warga kota Jakarta dan kota penyanggah lainnya adalah para perantau tradisi mudik dan membawa oleh-oleh pasca lebaran nampaknya bukan hanya kebiasaan bagi warga golongan menangah kebawah namun juga golongan atas (kaya dan mapan). Tradisi "mbekel" ini adalah simbol sosial yang telah mengakar rumput, menjadi penanda kekerabatan dan seperti untaian janji bahwa apapun jadinya si perantau hendaknya tidak lupa akan kampung halamanya sendiri.
Makna yang tersirat tidak hanya pada tampilan fisik yang diberikan namun keikhlasan dan kesederhanaan yang akan selalu mengingatkan bahwa di desa-desa yang jauh dari gaya hidup urban terdapat tempat di mana kita bisa "escape" dari penatnya Ibu Kota minimal setahun sekali saat lebaran. Nilai dari sebungkus "berambang goreng" akan duakali lipat jika berada di Jakarta.
Bisa dibayangkan kalau kita mendengar berita reality show atau news investigasi bahwa hampir segala sesuatu yang kita makan adalah hasil imitasi, berzat aditif atau re-cycle dengan bahan-bahan berbahaya. Di kampung, ibu-ibu mengupas bawang sendiri berpeluh dengan air matanya yang kadang terciprati air bawang dengan penuh harap bahwa berambang goreng ini akan menemani setiap kesuksesan kita di kota yang penuh dengan "intrik" dan "intrik".
Saya adalah warga rantau yang tinggal di Kota Penyanggah Ibu Kota yang berbatasan dengan Kodya Jakarta Barat, Tangerang. Aktifitas saya lebih banyak di Ibu Kota meski "ngulik" nya di Banten. Jalur protokol Sudirman-Thamrin dan Semanggi menjadi rute harian yang harus saya lewati setiap harinya. Saya tidak usah bercerita panjang tentang deskripsi kemacetan di bilangan ini apalagi saat-saat "rush hour" dan "super rush hour" cukup merepresentasikannya dengan satu kata "hectic".
Terkadang, minuman isotonik, energi, jamu sitesis, jajanan cepat saji menjadi pilihan untuk membunuh lapar dan dahaga yang membelenggu perjalanan kita menuju kontrakan atau kost. Saat seperti ini, kue rengginang kering tidak butuh banyak treatment selain wajan dan minyak goreng, dan kita kembali akan merasa seperti di kampung halaman karena sentuhan rasa yang tidak pernah bisa tertukar.
Pesan moral dari tulisan ini adalah, ketika kita semua kembali beraktifitas di Jakarta dan kota-kota lainnya sebagai perantau kita hendaknya selalu ingat orangtua dan famili nun jauh di sana. Mereka tidak ingan kita tergilas oleh persaingan ibu kota, terjerumus dalam bebasnya kehidupan kota besar yang terkdang negatif dan menyengsarakan. Kita boleh mencintai kota ini dengan berbagai warna hidup yang ditawarkan dengan segala hiburan di dalamnya namun filterisasi terhadap diri kita juga penting agar kita tidak masuk pada ranah-ranah pegaulan, gaya hidup dan pola pemikiran yang salah. Anything can happen, it depends on us, this city live it, love it but don't die for it.
Salam perantau. Semoga sukses dalam segala hal bagi anda.