Bolehkah mengucapkan selamat Natal kepada sahabat, tetangga, dan kolega yang merayakannya? Setiap jelang Natal, perdebatan tentang ini selalu menyeruak ke permukaan. Tanpa henti, terus terulang dan terulang. Kalangan yang menolak biasanya mengaitkan hal itu dengan masalah akidah yang harus dipelihara ketat. Kalangan yang membolehkan biasanya melihatnya sebagai masalah etika-sosial.
Melalui tulisan ini, saya akan mengkaji hal tersebut dengan perspektif studi Islam yang akademik.
Dalam studi Islam, dikenal dua hal yang selalu melandasi lahirnya sebuah pemikiran, paham, mazhab, dan tafsir, dalam konteks apa pun. Normativitas (dalil-dalil naqliyah, ayat-ayat dan hadits-hadits) dan historisitas (aqliyah, nalar, latar seseorang, kelompok). Dalam istilah lama Prof. Amin Abdullah, dua hal itu disebut “bak mata uang yang satu sisi dengan sisi lainnya berbeda tapi tak bisa dipisahkan.” Dalam istilah berbeda, para cendekiawan muslim semacam Rasyid Ridha, Yusuf Qardhawi, Fazlur Rahman, Abdullah Saed, Abdullah Ahmed an-Naim, Muhammad Abid al-Jabiri, hingga Quraish Shihab juga mengenal pemahaman yang sama. Bahwa sebuah dalil tidaklah mungkin berdiri di atas kakinya sendiri tanpa melibatkan peran nalar (logika) manusia sebagai penafsirnya. Manusia tidaklah mungkin berangkat dari ruang kosong. Selalu ada latar pengetahuan, sosial, ekonomi, politik, dan ideologi yang lokalistik yang melandasi lahirnya sebuah tafsir terhadap dalil-dalil.
Dalam teori hermeneutika (ilmu tafsir, sederhananya begitu), juga dikenal pemahaman yang sama: fusion of horizons (peleburan cakrawala teks dengan penafsirnya).
Jika statemen ini dinilai terlalu modernis, apalagi liberalis, marilah coba teliti sejarah pasca meninggalnya Nabi Muhammad Saw. Sebagai misal, seorang sahabat nabi, Abdullah bin Umar, berbeda paham dengan Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, Thalhah, Jabir, dan Khuzaifah tentang boleh/tidaknya seorang muslim menikahi perempuan ahlul kitab.
Demikian pula terjadinya perbedaan pandangan pasca meninggalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib tentang siapa yang berhak menjadi khalifah, yang melibatkan kelompok Hasan bin Ali yang didukung para sahabat Madinah, yang berujung pada sejarah kelam dalam dunia Islam berupa terbunuhnya Husein bin Ali di Karballa, yang terjadi bukan atas perintah Yazid, tetapi karena “kekacauan suasana lapangan”, yang begitu membuat Yazid amat bersedih dan menyesalinya.
Demikian pula di era selanjutnya, kita menyaksikan beragamnya perbedaan di kalangan ahli Fiqih dan Tasawuf. Di dunia Fiqh, kita kenal empat imam mazhab besar paling populer (meski di luarnya juga sangat banyak), yang berbeda-beda pahamnya, tetapi mereka adalah saling berguru dan menghormati. Imam Syafi’ie pernah menuliskan, “Umpama tidak ada Imam Malik, maka tidaklah akan ada Imam Syafi’ie.” Beliau juga pernah menuliskan, sebagaimana dikutip Ali Harb, “Kebenaran dalam pandanganku mengandung kesalahan dalam pandangan orang lain dan kebenaran dalam pandangan orang lain mengandung kesalahan dalam pandanganku.”
Dalam kitab yang ditulis Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh, disebutkan bahwa Ibn Mas’ud pernah diutus oleh Rasulullah ke wilayah Irak. Beliau lalu memutuskan suatu perkara berdasar ijtihadnya karena tidak menemukan tuntunan dari Rasulullah, dan kemudian sekembalinya ke Madinah, dia melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah. Rasulullah mengiyakan, pertanda memperbolehkan Ibn Mas’ud mengambil penafsiran tersebut.
Khazanah tersebut memperlihatkan betapa jutaan perbedaan paham, tafsir, adalah keniscayaan, yang logis terjadi setelah meninggalnya Rasulullah sebagai satu-satunya “pembuat hadits” yang menafsir ayat-ayat al-Qur’an. Tidak lagi tersedianya hadits baru (sepeninggal Rasulullah) sebagai penafsir al-Qur’an merespons dinamika kehidupan umat Islam yang terjadi kemudian meniscayakan lahirnya ulama-ulama sebagai waratsatul anbiya’ beserta ribuan kitab hasil ijtihadnya.
Sampai di sini, dengan contoh-contoh sejarah tersebut, sesungguhnya menjadi sangat terang bagi kita bahwa keragaman tafsir terhadap dalil apa pun dalam al-Qur’an dan hadits sebagai dua sumber utama hukum Islam, merupakan sunnatullah, keniscayaan, yang bersumber pada “begitu terbukanya dua sumber itu untuk digali tanpa henti” (itulah sebabnya disebut rahmatan lil-‘alamin (berlaku sepanjang masa) dan shalih likulli zaman wa makan (sesuai untuk setiap tempat dan masa)) dan begitu variatif-dinamisnya situasi hidup umat Islam di banyak wilayah dan masa.
Normativitas dan historisitas benar-benar mata uang yang berbeda satu sisi dengan sisi lainnya tapi tidak pernah bisa dipisahkan. Mencabut dalil dari lingkaran kehidupan riil umat Islam, termasuk dengan dalih menjaga otentisitas dalil, sama dengan mencerabut kontekstualitas dalil dari kehidupan nyata, atau, menjauhkan umat Islam dari ajaran dalilnya sendiri. Dan jelas ini pekerjaan yang tidak perlu dikerjakan karena hanya akan memicu kemunduran dinamika keilmuan Islam.
Lantaran normativitas dan historisitas adalah padu, sudah selayaknya setiap wilayah memiliki khazanah tafsir sendiri, yang dirasa lebih sesuai dengan kondisi tempat dan masanya. Ya, grab it, tempat dan masanya.
Islam di Indonesia, karenanya, tidaklah layak dipaksa seragam dengan Islam Arab Saudi, Irak, Qatar, atau pun Finlandia. Islam Indonesia adalah Islam Indonesia, yang boleh jadi praktiknya berbeda dengan Islam Arab Saudi dan Finlandia.
Mempertanyakan Islam manakah yang lebih benar, sangat tidak memiliki manfaat apa pun. Tidak ada relevansinya sama sekali. Pertanyaan sejenis itu serupa dengan menjejerkan dua anak kandung untuk ditanya: anak sulung atau bungsukah yang lebih anak kandung?
Sia-sia, bahkan (maaf) kekonyolan belaka.
Islam Indonesia tidaklah kurang nilai keislamannya dibanding Islam Arab Saudi, sekalipun keduanya memiliki karakteristik paham, adat, dan bahkan ideologi aliran yang berbeda, sehingga pahamnya pun berbeda.
Misal, orang muslim Saudi “terbiasa” berjubah, bukan hanya dalam shalat, tapi juga saat berdagang, berjalan-jalan, dan bahkan mengemudi bus. Orang Indonesia mayoritas bercelana atau bersarung saat shalat. Mempertanyakan lebih Islami mana antara sarung/celana dengan jubah hanyalah kesia-siaan belaka, bukan?
Orang Saudi yang patriarkis tidak memberikan ruang bagi kaum perempuan di ranah publik. Perempuan bahkan dilarang menyetir. Budaya Indonesia jelas sangat berbeda dalam hal ini. Jangankan menyetir, di sini perempuan menjadi bupati, bahkan presiden pun, adalah absah. Apakah lantas masih penting mempermasalahkan kepemimpinan perempuan di Indonesia lantaran semata berkiblat pada Islam Saudi? Tentu, itu kesia-siaan belaka.
Al-Qur’an dan haditsnya yang dipakai orang Islam Saudi sama persis dengan al-Qur’an dan haditsnya yang dipakai orang Islam Indonesia. Itu normativitasnya. Tetapi historisitas Saudi sangat jauh berbeda dengan historisitas Indonesia. Maka wajar sajalah bila fusion of horizons orang Indonesia berbeda telak dengan fusion of horizons orang Saudi. Sekali lagi, hasil perkawinan normativitasdan historisitas itu bersifat lokalistik, dan semuanya anak kandung Islam, dan tidak sahih untuk mengemaskan yang satu atas lainnya, mensurgakan yang satu untuk menerakakan yang lainnya.
Salah satu unsur yang terlibat dalam historisitas setiap kita ialah unsur sosial. Mari perhatikan dengan seksama bagian ini, betapa Indonesia bukanlah bangsa yang beragama tunggal. Ada banyak agama dan aliran pula di sini. Semuanya dilindungi oleh Undang-Undang. Jika kita bersetuju pada ayat al-Qur’an untuk patuh pada Allah, Rasul, dan Ulil Amri di antara kalian, maka selayaknya kita patuh pada Undang-Undang kita pula.
Tidaklah mungkin seorang muslim Indonesia hidup di atas kakinya sendiri. Kita semua niscaya hidup berdampingan, bahkan bahu-membahu, dengan kelompok non muslim di sini. Tentu saja, sebagaimana diteorikan para ahli Sosiologi semacam Durkheim, Weber, Bryan Turner, hingga Anthony Giddens, ikatan sosial akan berjalan dengan dengan baik jika di dalamnya terjalin “empati”. Ya, empati, alias saling menghormati. Orang Jawa bilang, saling nguwongke. Mengorangkan orang, memanusiakan manusia.
Item tersebut jelas menunjuk ranah sosial sebagai elan vital kehidupan setiap kita, termasuk kaum muslim Indonesia. Otomatis logis sajalah bila wajah Islam Indonesia adalah wajah yang menguwongke wong, lintas agama dan aliran, tanpa merasa gentar berkurang nilai kemuslimannya.
Tentu saja saya bersetuju bahwa relasi sosial sebaik apa pun dengan non muslim tidak boleh mengikis akidah kita. Itu jelas harga mati. Akidah adalah akidah, sosial adalah sosial. Namun buru-buru harus saya nyatakan di sini bahwa akidah Islam yang bersimbol pada syahadat sesungguhnya merupakan taqrir personal (sumpah, ketetapan hati) untuk berpatuh pada Allah dan Rasul-Nya yang bukan hanya berskala spiritual, transendental, tetapi juga meliputi laku sosial. Ya, totalitas kepatuhan secara ukhrawi dan duniawi, yangaktualisasinya didasarkan pada dalil-dalil naqly dan tentu aqly.
Logika ini sangat mudah dicerna jika kita melihat beberapa contoh dalil berikut:
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (ayat)
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari kekejian dan kemungkaran” (ayat)
“Umpama Aku menghendaki, maka seluruh manusia akan kujadikan satu umat. Tapi (itu tidak dilakukan) sebagai ujian bagimu…” (ayat)
“Janganlah kau berjalan di muka bumi ini dengan sombong. Sesungguhnya kau tidak akan mampu menembus bumi dan menyamai tingginya gunung” (ayat)
“Jika engkau dihormati dengan sebuah penghormatan, maka hormatilah dia dengan penghormatan yang lebih baik…” (ayat)
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah orang-orang yang berbuat kerusakan…” (ayat)
“Serulah mereka kepada jalan Allah dengan nasihat yang baik dan debatlah mereka dengan (cara) lebih baik” (ayat)
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia” (hadits)
“Sebaik-baik orang di antara kalian ialah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain” (hadits)
“Bicaralah yang baik atau diamlah” (hadits)
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasadmu dan juga wajahmu, tetapi Allah melihat pada hatimu” (hadits)
“Haji (umrah) mabrur itu tidak ada balasan baginya kecuali surga. Sahabat bertanya: Apa itu mabrur, Rasul? Rasul menjawab: Menebar keselamatan dan berbagi makanan (rezeki)” (hadits)
Dapat disimpulkan kini bahwa semakin kuat akidah seorang muslim, niscaya semakin baik laku sosialnya. Laku sosial merupakan manifestasi dari kualitas akidah. Semakin khusyuk shalatnya, maka semakin jauhlah ia dari potensi laku merusak dan menyakiti orang lain. Semakin mabrur haji seseorang, maka semakin luaslah tebaran kedamaian dari tangannya. Semakin dalam nilai kemusliman seseorang, niscaya semakin santun perilakunya terhadap siapa pun.
Jelas hanyalah sebuah omong kosong belaka jika ada saudara muslim yang mati-matian mengganggu, melecehkan, menyakiti, dan apalagi memerangi orang lain (yang beda aliran atau agama dengannya) atas nama menegakkan akidah Islamiyah, lantaran hal itu sangat tidak selaras dengan esensi syahadat itu sendiri (sepanjang mereka tidak mengganggu agama kita). Ia pun tak sejalan dengan “islam” sebagai sebuah masdar dalam ilmu Tashrif, yang secara etimologis dan epistemologis bermakna “kedamaian” dan secara aksiologis bermakna pengejawantahan perilaku yang penuh kedamaian.
Bersyahadat, bershalat, berpuasa, berzakat, dan bahkan berhaji jelas adalah kebaikan rukun Islam. Namun jangan alpa, bahwa jauh lebih berharga lagi agar pelaku rukun Islam itu berhasil menampilkan dirinya sebagai bagian dari “pencegah kekejian dan kemunkaran” yang paralel dengan “penebar kedamaian”. Ibda’ binafsika, mulailah dari dirimu sendiri, merupakan ajaran dasar Rasulullah untuk menegakkan kedamaian tersebut.
Patut pula dicamkan di sini sebuah ayat dari surat al-Maidah ayat 65, bahwa kafirun adalah fasiqun. Orang kufur itu adalah orang yang berbuat kerusakan. Kerusakan bukanlah semata membunuh, berjudi, minuman keras, tetapi sekaligus tidak memenuhi hak orang lain, menyakiti orang lain, menghina orang lain, dll. Maka mari kita introspeksi apakah kita yang mengaku telah beriman ini, yang bersyahadat ini, bershalat ini, berpuasa ini, berzakat ini, dan berhaji ini, merupakan bagian dari fasqiun atau tidak. Jika ternyata ada bagian dari laku kita yang berpotensi merusak, sebaiknya kita buru-buru mengevaluasi kadar keimanan dan kemusliman kita. Ya, sebaiknya, mumpung hayat masih dikandung badan.
Dalam kaitan ini, tafsir kafirun yang dituliskan Sayyid Qutb kian mempertegas, bahwa kafir itu bukan semata karena lidzatih (tidak bersyahadat), tetapi sekaligus lifi’lih, karena perbuatannya, yang meliputi segala macam perbuatan yang bertentangan dengan sifat kedamaian. Korupsi adalah satu contoh kekufuran menurut tafsir ini.
Akidah, sekali lagi, adalah ikrar personal, yang aktualisasinya tercermin dalam laku komunalnya. Sama persis dengan saya bilang sayang pada istri sebagai ikrar personal, yang seharusnya tercermin dalam laku sayang saya secara nyata pada keluarga dan sahabatnya, bukan?
Orang yang begitu cemas akan ternodai akidahnya lantaran bergaul, bertetangga, bersahabat, dan menghormati kelompok non-muslim selayaknya merenungkan kembali tentang relasi akidah dan laku sosial tersebut.
Sebagai bahan renungan, coba cermati kutipan berikut ini:
Pada 628 M, utusan dari Biara St. Catherine, yang terletak di kaki gunung Sinai (kini termasuk wilayah Mesir), menghadap Rasulullah untuk memohon perlindungan. Rasulullah menyanggupi dengan memberikan mereka piagam perlindungan tanpa syarat apa pun. Berikut bunyinya, sebagaimana saya kutip secara utuh dari Dr. Muqtader Khan, Direktur Program Studi Islam di University of Delaware:
“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka. Tidak boleh ada paksa atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya, demikian juga pendeta dan biaranya. Tidak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum muslim. Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tidak boleh ada umat muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”
Sebagai tambahan, dalam Ilmu Ushul Fiqh, yang diakui keabsahannya oleh jumhur (mayoritas) ulama, ada satu metode penggalian hukum (istinbath al-hukm), yakni al-‘adah al-muhakkamah (adat, kebiasaan, tradisi lokal yang dijadikan dasar pengambilan sebuah hukum). Orang Indonesia yang hidup bertetangga atau bekerjasama dengan non muslim adalah sebuah fenomena “adat, kebiasaan”, yang jika dikaji dengan metode al-‘adah al-muhakkamah tersebut adalah sebuah situasi yang harus dijadikan dasar penetapan sebuah hukum Islam.
Ada yang begitu cemas bahwa jikasaya mengucapkan “Selamat Natal”, dikhawatirkan akidah saya akan ternodai. Logika yang lazim dipakai rata-rata seperti ini: mengucap selamat Natal merupakan bagian darinya, akidah saya akan ternodai.
Berucap “Selamat Natal” secara lisan, sebagai sebuah etika sosial berkawan atau bertetangga pada non muslim yang berucap “Selamat Idul Fitri” pada kita yang muslim, tidak sebagai taqrir hati, apalagi terlibat kegiatan ritual Misa Natalnya, bukankah tidak ada kaitan sama sekali dengan akidah dalam artian iman, melainkan semata laku etika sosial?
Kawan kita yang non muslim saat berucap “Selamat Idul Fitri” pada kita, bukankah mereka tidak menyematkannya dalam taqrir hati, layaknya kita berucap “Selamat Natal” pada mereka?
Berucap “Selamat Natal” jelas berbeda dengan ikut Misa Natal. Berucap “Selamat Idul Fitri” jelas beda dengan ikut shalat ‘Ied. Kita sangat bisa menjaga akidah tetap tancap di dalam hati, sekalipun lisan kita berkata “Selamat Natal” pada kawan non muslim sebagai etika sosialnya tanpa perlu ikut kegiatan Misa Natalnya, bukan?
Pun memberikan kado Natal pada kawan non muslim tidaklah memiliki korelasi makna dengan taqrir hati tersebut. Kado adalah kado, simbol penghormatan dan kasih sayang pada orang lain. Serupa saya mengucapkan “Happy Marry” pada seorang kawan yang menikah, lalu saya menyertainya dengan sebuah kado sebagai simbol sobatan, bukankah tidak berarti saya yang menikahi mempelainya, bukan?
Saya mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” pada seorang kawan, dan saya memberinya sebuah kado, bukankah itu tidak bermakna bahwa sayalah yang sedang berulang tahun, bukan?
Mengucapkan “Selamat Natal” pada kerabat, sahabat, tetangga, atau kolega yang merayakannya jelas merupakan urusan furu' (cabang), bukan ushul (pokok/dasar) dalam ilmu Ushul Fiqh. Karena furu', ia tidak memiliki landasan naqliyah. Jika ushul yang ada naqilyahnya (normativitas) saja bisa ditafsirkan selaras sebaik-baiknya dengan ragam konteks kekinian dan kedisinian sebagai historisitasnya, dalam semangat dasar islam yang menebar kedamaian, plus ditopang keteladanan kepemimpinan Rasulullah di Madinah, plus piagam yang saya kutipkan di atas, plus serentetan kajian yang telah saya uraikan tersebut, apalagi hal yang furu'. Tidaklah logis untuk dicerna sesuatu yang furu' mengalahkan yang ushul; sesuatu yang elementer mengalahkan yang substansial; akidah Islam yang berjiwakan kedamaian dikalahkan oleh remah-remah paham pertikaian.
Sebuah nasihat dari kaum ulama Ushuliyyun (pakar hukum Islam) layak kita camkan di sini: “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” (menghindarkan sebuah keburukan jauh lebih diutamakan daripada meraih sebuah kebaikan).
Mengucap “Selamat Natal” pada kerabat, sahabat, dan kolega demi mengail kebaikan dan harmoni sosial jauh lebih diutamakan daripada berdakwah di tempat-tempat terbuka dengan niat libtigha’i mardhatillah sekalipun, yang berujung pada menyakiti perasaan saudara-saudara sebangsa yang beda keyakinan. Kalaupun Penjenengan tetap keukuh bahwa mengucap “Selamat Natal” tidak layak dilakukan seorang muslim, mari lakukan itu di tempat-tempat terbatas sesama muslim, jangan sampai didengar saudara-saudara non muslim, demi menghindarkan rasa sakit hati mereka, apalagi sampai memicu disharmoni sosial di negeri ini.
Tweeter atau Facebook yang “ciptaan” non muslim sebagai social media yang terbuka untuk semua orang, termasuk non muslim, selayaknya dijadikan sarana berdakwah yang menebar kebaikan dan kedamaian, bukan tempat muslim menyakiti perasaan non muslim atau sebaliknya. Cari jodoh jelas boleh lewat social media.
Terlalu sayang, ya teramat sayang, jika Indonesia yang beragam ini terluka hanya oleh hal-hal furu', yang diumbar dengan begitu phobia oleh sekelompok orang atau ustadz yang sepertinya memerlukan jelajah fusion of horizons dengan lebih jauh dan jeli lagi.
Buat kawan-kawan yang merayakan Natal, saya ucapkan “Selamat Natal ya…”.
Juga buat kawan-kawan yang masih jomblo, saya doakan kalian segera dientaskan dari kegalauan dan dapat jodoh yang baik. Buat kawan-kawan yang sudah punya kekasih, saya doakan segera dilamar. Buat kawan-kawan yang sudah dilamar, saya doakan segera dinikahi. Buat kawan-kawan yang sudah dinikahi, saya doakan segera dikaruniai anak yang shalih/shalihah. Oh ya, buat kawan-kawan yang masih di-PHP, saya doakan segera diberi kepastian. Dan, tak lupa, buat kawan-kawan yang masih LDR-an, saya doakan segera dipersatukan di dunia nyata, bukan LCD gadget yang maya. “Kalian adalah manusia-manusia pilihan yang sangat luar biasa!”
Wallahu’alam bis shawab. Dengan senang hati, jika ada pandangan lain, silakan membuat tulisan yang bisa saya baca ya. Alfu mabruk lakum.
Jogja, 23 Desember 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H