Lihat ke Halaman Asli

Diskontinuitas Foucoult (Pengetahuan, Episteme, Diskursus, Kuasa, dan Peradaban)

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock



Seorang homoseksual disebut abnormal/gila karena berbeda dari dominasi peradabannya yang heteroseksual. Kalau ia hidup di dalam peradaban yang menganut pola homoseksual, ia disebut normal, dan orang yang menganut heteroseksual disebut abnormal/gila. Peradaban tampil sebagai penentu normal/abnormal, sementara peradaban didasarkan pada kekuasaan, dan kekuasaan ditopang oleh pengetahuan.

Siapa sebenarnya yang melahirkan sebutan “gila atau kegilaan” (madness) kepada orang atau kelompok lain? Kuasa/kekuasaan (power). Apa yang menjadikan sebagian orang memiliki kekuasaan atas sebagian lainnya? Pengetahuan (knowledge). Jadi, dengan pengetahuan, seseorang atau sekelompok orang menjadi mampu memiliki kekuasaan. Dan kekuasaan itulah yang pada gilirannya tampil sebagai penentu peradaban (civilization).

Soal apakah sebuah kekuasaan atau peradaban itu mencerminkan rasa kebenaran, itu bukanlah hal utama di tangan mereka. Yang utama adalah mereka berkuasa berkat pengetahuannya dan karenanya mereka “berhak” menentukan mau seperti apakah wajah peradaban itu.

Michel Foucault, filsuf Prancis yang beraliran postmodernisme, di mata saya, sangat menarik untuk dibicarakan berkaitan dengan relasi kuasa, pengetahuan, dan peradabannya. Meski Foucault tidak pernah menyatakan kuasa sebagai milik satu orang atau kelompok tertentu, karena kekuasaan dalam ragam cakupannya selalu menyebar kemana-mana sebagai gerakan strategi dan relasi tiap orang atau kelompok, tetapi yang jelas siapa pun yang memiliki kuasa, sekecil apa pun, akan menjadi penentu wajah peradaban itu. Sekecil apa pun.

Misal, menjelang pemilu, semua partai bak menyembah pada rakyat dengan janji-janji manisnya demi memperoleh dukungan rakyat sebanyak-banyaknya. Di sini, yang memiliki kuasa bukanlah partai, tapi rakyat. Namun setelah pemilu, dan muncul pemenangnya, maka yang menjadi pemegang kuasa kemudian adalah partai pemenang, bukan rakyat lagi.

Begitulah ilustrasi kuasa menyebar kemana-mana sebagai langkah strategi dan relasi itu.

Lantaran kuasa menjadi penentu wajah peradaban yang meliliti kehidupan setiap kita, dari zaman dan tempatnya masing-masing, yang dipengaruhi secara mendasar oleh gerak pengetahuan itu, maka setiap periode peradaban niscaya memiliki kekhasannya sendiri. Kekhasan masing-masing entitas peradaban ini sepenuhnya dikendalikan oleh wajah penguasa yang disokong wajah pengetahuannya.

Inilah yang oleh Foucault diistilahkan sebagai episteme. Karenanya, untuk memahami setiap episteme dalam setiap babak peradaban, diperlukan pendekatan sejarah bukan dalam cara yang biasa, tetapi secara arkeologis. Metode arkeologi ini menuntut peneliti untuk mencermati “artefak-artefak” peradaban layaknya kerja seorang arkeolog meneliti setiap detail peninggalan purbakala. Sebab, menurut Foucault, episteme bukanlah apa yang muncul di permukaan peradaban, tetapi apa yang tersembunyi di baliknya, yang gelap, rapat, dan dalam. Episteme adalah “sistem tersembunyi” dari dominasi pengetahuan pada masa tertentu itu.

Contoh begini. Kalau kita ingin meneliti tentang wajah peradaban yang dibangun oleh kekuasaan Orde Baru, kita tidak cukup hanya dengan mencermati permukaan-permukaannya, tetapi harus meneliti secara arkeologis. Misal, apa latar belakang falsafah hidup Soeharto, dimensi mistiknya, spiritualnya, pandangannya tentang dunia, latar pengetahuannya, dll. Itulah episteme-nya. Soal kita menyertakan perhatian pada sikap-sikap politiknya, itu adalah ranah permukaan, tetapi memahami “segala apa di balik” yang melandasi sikap-sikap politiknya, yang itu tidak muncul di permukaan, itulah episteme.

Foucault karenanya menyatakan bahwa bukanlah orang yang mempengaruhi kekuasaan (ingat, Foucault itu penganut filsafat “kematian subyek”), tetapi kekuasaanlah yang mempengaruhi orang (kekuasaan yang dibangun oleh episteme itu). Penelitian arkeologis tentang “apa-apa di balik” Soeharto itulah (episteme) yang menghasilkan pengaruh besar pada orang-orang yang dikuasainya, bukan orang-orang yang dikuasai itu yang mempengaruhi “apa-apa di balik” (episteme) Soeharto.

Lanjut lagi, Mang…

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline