Sepenggal berita dari kompas.com :
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, Minggu (22/4/2012), di Karawang, Jawa Barat, program penghematan energi harus dilakukan secara besar-besaran, diikuti pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Rencananya, pemerintah akan membatasi pemakaian BBM bersubsidi untuk mobil pelat hitam dengan kapasitas silinder mesin tertentu, yakni 1.500 cc ke atas. Jadi pengguna mobil berkapasitas mesin 1.500 cc ke bawah masih boleh pakai BBM bersubsidi. "Yang 1.500 cc ke atas harus pakai BBM nonsubsidi," ujarnya.
Akhirnya Pemerintah menerapkan opsi pembatasan untuk mengurangi pemakaian BBM bersubsidi. Memang kelihatannya jadi seperti makan buah simalakama setelah opsi menaikkan harga terjegal di sidang DPR yang berada dibawah tekanan demo besar dan ketakutan jadi tidak populer.
Sebagai konsep, tampaknya opsi pembatasan penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan 1500CC ke atas ini cukup rasional, namun tentu dalam implementasinya belum tentu mudah. Ada beberapa hal yang patut disimak sebagai dampak dari implementasi pembatasan ini :
Pertama, reaksi pasar terhadap kebijakan ini adalah perubahan peta pasar mobil di Indonesia, di mana terjadi pertumbuhan besar di pasar mobil CC kecil. Kenaikan permintaan ini bisa dipicu dari 3 kelompok konsumen baru, yaitu : Orang kaya yang ingin hemat pemakaian BBM dengan cara membeli mobil ke-2 dengan cc kecil untuk pemakaian sehari-hari (invest di depan, tapi hemat dalam jangka panjang), pembeli mobil baru otomatis akan mempertimbangkan CC kecil, dan konsumen dengan uang terbatas yg biasa membeli mobil bekas CC besar, akhirnya memilih CC kecil saja. Secara umum pasar mobil akan tetap ramai, hanya saja untuk mobil kelas tengah (biasa di CC 1500-1800) bergeser ke bawah. Belum lagi respon produsen mobil yang pastinya menyambut pertumbuhan pasar CC kecil dengan beragam model baru. Pada akhirnya nilai penghematan BBM bersubsidi yang diharapkan besar, belum tentu benar2 besar.
Kedua, sejauh mana kesiapan Pemerintah mengatur potensi "black market" premium bersubsidi, terutama kontrol terhadap kendaraan umum atau kendaraan pribadi CC kecil (termasuk motor dengan tangki besar) yang digunakan sebagai media transfer premium untuk ditampung dan dijual kembali dengan harga lebih mahal, tapi terjangkau. Selama selisih harga pertamax dengan premium sangat tinggi, potensi suburnya black market jadi sangat besar. Belum lagi kalau penyimpangan terjadi di SPBU (apakah sudah ada perangkat pengawasan yang memadai ?)
ketiga, ledakan pertumbuhan sepeda motor yang menimbulkan masalah baru, yaitu kemacetan lalu lintas yang berujung pada pemborosan energi yang sia-sia.
keempat, adanya rasa perlakuan ketidakadilan dari pemilik mobil tahun lama dengan CC diatas 1500.
kelima, sejauh mana kemampuan Pertamina menyediakan pertamax dalam jumlah yg melonjak besar dengan waktu 1 bulan (asumsi implementasi Mei) .. kalau sampai distribusi kacau, selain menimbulkan keresahan masyarakat juga akan menguntungkan SPBU asing.
Kalau dipikir-pikir, memang sulit menerapkan suatu kebijakan diskriminasi harga kalau tidak memiliki instrumen kontrol yang sangat kuat untuk memastikan kebijakan berjalan sesuai rencana. Semestinya ada cara-cara yang lebih simple untuk menjaga anggaran Pemerintah. Kalaulah belum berani menaikkan harga (entah pertimbangan politik maupun ekonomis), besarnya subsidi dapat diatasi dengan peningkatan pendapatan, pengembangan energi alternatif atau penghematan secara langsung. Misalnya :