Lihat ke Halaman Asli

Prabowo Perlu Belajar dari Peristiwa Mei 98

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada orang yang mengatakan kalau sejarah itu tidak linier, tetap berulang walaupun dalam konteks yang berbeda.

Hari ini kita menyaksikan di penghujung proses permilihan Presiden republik Indonesia, capres no. 1 menyatakan menarik diri dari proses ini, karena merasa dicurangi dengan tidak adil oleh KPU. Terlepas dari benar tidaknya tuduhan kepada KPU ini, tampak jelas Prabowo sedang "buying time", entah untuk apa lagi, karena arah dari penghitungan suara kemungkinan besar berakhir dengan kemenangan pasangan no.2. Sebenarnya lebih elok dan konstitusional bila Prabowo - Hatta mau membawa masalah ini ke MK, bukannya membuat manuver sendiri yang memancing ketidakpastian.

Satu hal yang menarik adalah sikap Prabowo yang teguh kukuh ini, seolah menggambarkan dirinya yang penuh percaya diri memegang mandat rakyat, dengan modal koalisi merah putihnya. Penolakan Prabowo ini, seolah juga merupakan cara Prabowo untuk "testing the water"., sejauh mana masa depan koalisi Merah Putih, akankah berakhir dengan pengkhianatan massal, ataukan "kesetiaan sampai mati".

Prabowo perlu belajar dari krisis politik yang terjadi di tahun 1998. Ketika itu, sidang umum MPR dengan bulat mendukung Pak Harto kembali menjadi Presiden RI hingga tahun 2003. Ketua MPR Harmoko, sang anak emas dengan semangatnya menyatakan dukungan, hingga mengetok palu mengesahkan kebulatan tekad itu. Namun, apa yang kita saksikan pada bulan Mei 1998? Gelombang demonstasi mahasiswa dan aktifis pro demokrasi menjadi tekanan tersendiri bagi Pemerintahan Pak Harto. Semula mungkin dianggap sebagai riak biasa, namun pada akhirnya membesar. Tuntutan agar Pak Harto mundur mulai menggelora. Tindakan represif yang membawa korban jiwa mahasiswa Trisakti tidak menyurutkan gelombang demonstrasi yang kemudian menduduki gedung DPR/MPR. Dalam krisis demikian, Harmoko bersama pimpinan MPR akhirnya tidak tidak punya lagi piliihan. Tak ada lagi kalimat "menurut petunjuk Bapak Presiden. Akhirnya Harmoko selaku pimpinan MPR, meminta Pak Harto untuk mundur. Pak Harto mencoba bargaining dengan menjanjikan kabinet reformasi, namun gagal. Satu demi satu menteri yang dipercayainya mundur. Kini tinggal pak Harto sendiri. Akhirnya sejarah mencatat, 21 Mei 1998 Pak Harto mundur, ORBA tutup buku. Selamat datang era Reformasi !

Hari ini, saksi-saksi sejarah itu masih menjadi pemain, walaupun mereka tak lagi satu seperti masa itu. Kepentingan lah yang pada akhirnya menjadikan mereka berada di kubu yang berbeda. Namun dalam demokrasi, tentu ini bukan sesuatu yang tabu sepanjang aturan main ditaati dan kehendak rakyat yang menjadi panglimanya. Hari itu, Amien Rais, Megawati, alm. Gus Dur dan Sultan HB XII menjadi para tokoh yang dijadikan harapan rakyat untuk mengawal reformasi, sementara Prabowo, menantu Pak Harto dengan karir militer yang cemerlang, terkaget diluar sana dalam satu kepedihan, dipecat!

Hari ini Prabowo berada nyaris di ujung penantiannya selama 16 tahun, yaitu menjadi orang no.1 di Republik ini. Namun tampaknya hasil perhitungan KPU berkata lain. Ambisi berkuasa Prabowo menunjukkan tanda-tanda berakhir. Kepedihan itu kembali. Prabowo berontak, yah... karena Prabowo mempunyai keyakinan bahwa persiapan matangnya selama ini tak boleh gagal. Bahkan Prabowo rela berkoalisi dengan siapapun asal dia presidennya, setelah merasa dicederai PDIP terkait "misteri" perjanjian Batu Tulis.

Di belakang Prabowo, tampil tokoh-tokoh, yang sayangnya membawa masalahnya sendiri-sendiri. Prabowo tampak canggung, seperti berada dalam posisi incumbent, karena di belakangnya ada para menteri dan partai yang merupakan koalisi Pemerintah. Sulit bagi Prabowo untuk maju mengusung perubahan, sementara setiap kritik kepada Pemerintah sama saja menampar muka sendiri. Sementara Jokowi sebagai wakil dari oposisi menjadi lebih leluasa dan bebas tanpa beban masa lalu. Sedari awal Prabowo sudah salah posisi. Seandainya beliau menempatkan diri sebagai oposisi bersama PDIP maka kemungkinan besar kubu incumbent akan kalah telak, karena mereka miskin tokoh yang bisa dipercaya.

Hari ini, ujian itu kembali datang. Ketika Prabowo melawan, akankah partai-partai pendukungnya berdiri berada di belakangnya, atau menjadi Brutus yang siap menusuk Prabowo dari belakang? Sinyal keretakan koalisi merah putih sudah mulai kentara. Ketidakhadiran Hatta Rajasa hari ini, Golkar dan Demokrat yang tampaknya mencari celah ke kubu sebelah dan PKS yang tak ada suaranya, tampaknya menjadi sinyal yang harus di baca Prabowo untuk tahu bahwa Brutus sudah mengasah pisau. Mereka akan pergi, tinggal menunggu waktu saja. Bukankah melawan di luar jalur hukum yang kalau berakhir dengan kekalahan ke dua akan lebih menyakitkan? Kalau itu terjadi tampaknya tidak mungkin ada yang solider menemani Prabowo jatuh, karena masih ada kesempatan untuk bertanding di lain waktu.

Orang sekuat Pak Harto pun akhirnya dikhianati, apalagi Prabowo yang statusnya masih ""capres". Belajar dari Pak Harto, sebaiknya Prabowo menerima hasil KPU. Kalau menang, memerintahlah dengan baik, tapi kalau kalah, cukuplah "mandeg pandito", menjadi tokoh yang turut mengontrol Pemerintahan Jokowi-JK agar mereka tetap memagang amanah, melalui Partai Gerindra dengan beroposisi di Parlemen. Nama Prabowo akan tetap dicatat sebagai negarawan, seperti kata Jokowi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline