Lihat ke Halaman Asli

Ketika Perempuan Renta itu Menangis dan Bersyafaat untuk Aku

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Entah siapa perempuan renta itu, sampai kini aku tak tahu. Memang aku sering sekali berhubungan dengan banyak orang di tempat kerja. Aku amat menyukai hubungan sosial dengan manusia-manusia hebat di level bawah. Manusia-manusia yang harus survive dengan kondisi terminim. Aku banyak berhubungan dengan mereka karena ada banyak pelajaran dan luberan semangat yang bisa aku kais dari kisah hidup mereka.

Ya, beberapa saat lalu memang secara tiba-tiba aku tersadar di ruangan yang cukup asing bagiku termasuk orang-orangnya juga. Beberapa saat yang lalu secara tiba-tiba aku berada di ruangan 6 x 6 meter dipenuhi orang-orang yang berbaju putih-putih dengan badge Husada di lengannya. Beberapa diantaranya dengan cekatan menusukkan jarum jahit dan jarum suntik di wajahku tanpa banyak bercerita atau sempat menjelaskan apa yang aku alami sebelumnya. Beberapa nyeri dan sakit pun aku rasakan manakala jarum spet atau jarum suntik menembus kulit pelipis mata dan bibirku. Untuk sementara aku hanya bisa diam sambil berfikir serta berusaha tidak panik. Kuyakinkan diriku, mungkin aku sedang bermimpi, meski alam logikaku mengatakan ini bukan mimpi karena aku merasakan sakit yang nyata. Entah mengapa badanku pun lemas seakan hanya bisa pasrah berada di ranjang besi dengan perlak coklat. Lama sekali aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi, sementara itu kesimpulan terlogis yang aku dapat mungkin aku baru saja terjatuh dari ranjang hingga harus mendapatkan jahitan di beberapa tempat. Sesekali aku pun menyeringai sambil mengaduh lirih karena beberapa tudukan sempat aku rasakan karena memang obat bius mungkin tak harus bereaksi spontan.

Setelah jahitan terakhir dan beberapa perban disematkan di wajahku dua orang menghampiriku sambil bertanya, “bagaimana keadaannya sekarang mas?”. aku pun menjawab lirih, “sedikit lebih baik mas”. Lelaki paruh baya itupun kemudian menyerakan beberapa barang sambil berujar,”Ini barang-barangnya mas, kamera, Hp dan dompetnya. STNK dan KTPnya masih saya simpan dan sepeda motornya masih ada di pos polisi”. Logikaku pun segera bereaksi, ach.... ternyata aku baru saja mengalami kecelakaan”. Beberapa saat aku terdiam, ku cek segera Hp-ku dan beberapa panggilan dan pesan terpampang di layar Hp murahan yang selama ini menemaniku kemana saja. Beberapa panggilan dari teman segera aku periksa dan rupanya dari teman sekantor. Kemudian dalam pesan singkat beberapa pesan juga datang dari beberapa nomor yang sama dengan nomor panggilan yang tak terjawab menanyakan dimana posisiku dan kenapa lama sekali perjalanannya. Sejurus kemudian kembali Hp-ku berbunyi dan lagi-lagi suara teman sekantor di seberang sana dengan pertanyaan yang sama dengan yang kubaca di sms. Segera kujawab pertanyaannya bahwa aku kini berada di UGD karena kecelakaan, namun karena suaraku yang tak jelas karena memang bibirku susah di gerakkan akhirnya kuperjelas jawabanku dengan sms.

Segera kubuka dompetku, ach sepertinya memang tak ada yang kurang selain KTP dan STNK karena memang tak ada uang cash berlimpah yang biasa aku simpan disana. Kemudian aku pun memeriksa tas kecil yang berisi kamera, hatiku berdegup cukup kencang. Mungkin karena aku takut ada apa-apa dengan barang kesayanganku yang satu ini. Ya, bagiku kamera DSLR ini memang barang yang spesial karena cukup lama aku memimpikannya hingga akhirnya mampu membelinya dengan hasil keringatku sendiri. Kuperiksa dengan teliti setiap detailnya, tak ada yang lecet memang apalagi pecah. Ach.... syukurlah batinku, namun bagaimana dengan fungsinya?. Hampir aku ketakutan karena bagaimana mungkin tidak terjadi apa-apa dengan barangku ini ketika serta merta mengikutiku terjatuh, namun lagi-lagi rasa penasaran akibat beberapa lembar jalan cerita terhapus dari memori otak aku memberanikan untuk menggeser swit dari posisi off ke on.  Oh....... syukurlah kameraku bisa menyala, segera akupun memencet tombol view yang biasa digunakan untuk memeriksa hasil jepretan karena memang kebiasaanku selalu mengambil gambar kegiatan kerja yang aku lalui selain beberapa objek fotografi non dokumentasi kerja. Dan ternyata memang aku baru saja sedang melaksanakan pekerjaan beberapa jam sebelum kecelakaan terjadi. Sejurus kemudian beberapa teman kerjaku mulai berdatangan. Mereka melihat kondisiku yang memang belum cukup bersih dari noda darah. Beberapa perawat mulai menanyakan segala sesuatu yang mungkin akan berhubungan dengan tindakan berikutnya serta administrasi pengobatan pada rekan kerjaku. Sejurus kemudian letupan suara kecil terdengar di ujung sana dari seorang perawat yang sedang berbicara dengan temanku. “Ooooo itu mas Windy”, dengan mimik histeria. Entah siapa perempuan perawat tadi, aku tak merasa mengenalnya memang namun sejurus kemudian ia menghubungi seseorang yang sepertinya adalah suaminya yang mungkin teman ngopiku di warung sambil memberitakan kondisiku. Sesaat kemudian tiba-tiba pintu terbuka dan tempat tidur dorong dengan cepat meluncur disisiku. Ternyata seorang perempuan paruh baya sedang berbaring dan langkah-langkah taktis para perawatpun kembali terjadi seperti awal pertama aku tersadar.

Setelah menyelesaikan beberapa pertolongan pada seorang perempuan paruh baya yang akhirnya tak terselamatkan karena proses purna persalinan dan seorang nenek renta yang mengalami perdarahan, kemudian di jendela kulihat kembali wajah-wajah yang sebelumnya aku kenal berebut  melayangkan pandangan ke arahku. “banyak sekali yang kesini”, fikirku. Tiba-tiba sepertinya aku menjadi sosok yang familiar di ruang itu, beberapa orang yang tak aku kenal tiba-tiba menjadi akrab entah karena aku kenal baik dengan suaminya atau berteman dengan orang-orang terdekatnya. memang benar nasehat ibu, “berbaik-baiklah dengan siapapun disekitarmu. Karena mereka nanti yang menjadi penolongmu di saat susah”. Beberapa saat kemudian seorang perawat mengarahkanku ke sal perawatan karena UGD memang bukanlah tempat rawat inap. Aku menempati sebuah ruangan bersama dengan seorang ibu. Aku hanya terdiam di ruangan tersebut sambil mengingat-ingat bagaimana kecelakaan ini terjadi, karena memang aku tak mengingat apapun kejadian sebelumnya (mungkin ini yang namanya amnesia ringan).

Beberapa saat kemudian terdengar suara yang sangat khas, suara sendal jepit dengan cara pakai yang khas. Srek-srek-srek, pastilah itu suara orang udik dengan sendal jepit di lantai keramik nan licin (mengasilkan suara demikian karena diseret dan biasanya penggunanya takut terpeleset karena keramik yang licin). Sesaat kemudian seorang perempuan renta dengan langkah tergesa-gesa hadir di depanku sambil membawa keranjang kue dagangannya bertanya kepada yang berada di ruangan. “mas yang barusan kecelakaan apa di sini”, katanya. Setelah jawaban “iya” didapatkan kemudian ia memandangku, matanya nanar dan bibirnya pun seperti sulit berujar. Dia bercerita bahwa dia menyaksikanku dalam tragedi itu, dia hanya bisa diam kala itu ketika melihat seluruh bagian kepalaku penuh dengan darah dan tak bergerak sama sekali. Kemudian menjerit-jerit serta memohon agar orang-orang disekitar segera membopong tubuhku dan berharap segera membawaku ke puskesmas terdekat untuk diselamatkan. Beberapa saat memang aku dibiarkan terbujur di teras warung karena mungkin aku dianggap tak terselamatkan dan diapun tetap bersimpuh tak jauh dariku sambil menangis sendu. Perempuan renta itu bercerita bahwa cuman doa agar aku segera siuman dan selamat yang selalu ia ucap dalam hatinya sambil menangis. Aku pun beberapa saat terdiam mendengarkan perempuan renta itu bercerita sambil bertanya-tanya. Siapakah dia, darimana asalnya dan mengapa dia bersyafaat untuk orang yang tak dikenalnya, bukankah aku bukan anaknya, saudaranya bahkan tetangganya?. Perlahan ingatanku pun mulai pulih berkat ceritanya dan aku pun mulai menyadari bahwa mungkin doanyalah yang telah menyelamatkan aku. Beberapa saat kemudian perempuan renta itu mohon diri, tubuhnya yang mulai bongok perlahan menghilang di ujung koridor puskesmas meninggalkan pertanyaan yang masih susah terjawab. Pertanyaan tentang perempuan tua yang bersyafaat dan menangisi seorang lelaki yang terkapar penuh darah. Dalam hati pun perlahan saya menjadi takjub dan bersyukur, saya benar-benar merasa mendapatkan hikmah dan rahmad yang luar biasa. Bagaimana seorang perempuan renta tersebut telah mengajarkan kasih kepada saya. Dia memang tak datang memberikan bantuan uang biaya pengobatan, tak juga mengangkat tubuh saya yang lemah. Namun perempuan renta itu telah memenuhi mangkuk rohani saya dengan tangis dan doanya. Sayapun beberapa saat terdiam dan berdoa dalam hati, kiranya Tuhan membalasnya lebih dari yang dia berikan. Kiranya Tuhan mengganti butiran airmatanya yang jatuh ke bumi dengan permata surga kelak, dan kiranya Syafaatnya menjadi terang baginya.

Perempuan renta, doa dan air matamu mengalahkan segala ketakutan dan sakit di tubuhku. Semoga keselamatan dan rizky tak pernah menjauh darimu, Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline