Lihat ke Halaman Asli

Emisi Gas Rumah Kaca Meningkat, Bagaimana Kebijakan Pemerintah?

Diperbarui: 8 Juni 2024   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Salah satu persoalan terbesar terkait lingkungan di Indonesia adalah permasalahan Efek Gas Rumah Kaca yang semakin meningkat di Indonesia pada tahun 2023. Gas Rumah Kaca ini memiliki banyak penyebab, salah satunya yaitu deforestasi hutan karena penebangan liar untuk memenuhi bahan baku. Selain penebangan liar, adapun faktor alam seperti kebakaran hutan di musim kemarau yang sangat panas. Namun, kebakaran hutan juga dapat karena pembakaran lahan yang tak terkendali oleh manusia dan konflik pemerintah-perusahaan-masyarakat dalam penguasaan lahan hutan.

Deforestasi hutan secara tidak langsung dapat meningkatkan suhu rata rata bumi secara global, naiknya suhu bumi di beberapa dekade terakhir dapat mengancam kelangsungan hidup di bumi pada makhluk hidup. hal tersebut dibuktikan adanya riset Organisasi Meteorologi Dunia / World Meteorological Organization (WMO) dalam COP25 menyebut 2019 sebagai salah satu tahun terpanas sepanjang dekade karena kenaikan suhu sebesar 1,1 derajat celcius. Para ahli mengatakan, hal tersebut disebabkan oleh produksi karbon dioksida, metana, nitrogen dioksida, dan gas rumah kaca lainnya. 

Adapun penyebab lain Gas Rumah Kaca yaitu industrialisasi. Dampak industri paling nyata yaitu terjadi perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca di beberapa pesisir di Indonesia. Indonesia sebagai negara penyumbang 3 konsentrasi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia memiliki posisi geografis yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan kenaikan suhu. Hal ini dapat menyebabkan pelanggaran hak semua makhluk hidup di Indonesia dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan," lalu dipertegas juga dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 ayat (3): "setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat" 

Dengan demikian secara hukum bahwa hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia yang wajib dilindungi oleh negara. Lingkungan perlu kepastian hak hukum untuk landasan hak lingkungan, sehingga setiap hak lingkungan diberikan hak hukum, dengan begitu setiap orang memiliki kewajiban untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat mencemarkan atau merusak lingkungan. 

Komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ditunjukkan pemerintah Indonesia dengan meratifikasi Protokol Kyoto pada 3 Desember 2004 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate Change. Lalu pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Keabsahan pajak karbon menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ditinjau dari landasan filosofis yaitu instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle)

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% secara mandiri tahun 2030. Pengenaan pajak karbon menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yaitu pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak karbon didorong untuk merubah perilaku. Subjek pajak karbon adalah wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Objek pajak karbon adalah bahan bakar fosil dan emisi yang dikeluarkan. Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) Sehingga perusahaan tidak akan mengakali dengan pembelian SPE (Surat pengurangan emisi) guna memperluas hak emisinya.

Referensi 

https://journals.usm.ac.id/index.php/julr/article/view/5918/2932




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline