Lihat ke Halaman Asli

Odil Dodok

π”…π”’π”±π”ž 𝔄𝔑π”ͺπ”¦π”«π”¦π”°π”±π”―π”žπ”°π”¦ π”“π”²π”Ÿπ”©π”¦π”¨

Korupsi dalam Perspektif Penegakan Hukum

Diperbarui: 5 Februari 2022 Β  22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: CNN Indonesia

Korupsi sering terjadi dalam birokrasi pemerintahan. Para pejabat birokrasi menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memperkaya diri sendiri, kerabat dan orang lain. Saya melihat bahwa birokrasi menjadi lahan subur korupsi dari perspektif penegakan hukum. Hukum seolah-olah memberi kelonggaran kepada pejabat birokrasi untuk melakukan korupsi. Penegakan hukum ini kita lihat dari sanksi yang diberikan kepada tindak pidana korupsi. Dalam hal penjatuhan sanksi, aparat penegak hukum kita semestinya tidak hanya menggunakan pendekatan menghukum pelaku dengan pidana penjara (follow the suspect) tetapi juga dibarengi dengan pendekatan follow the money dan follow the assets. Jadi, harus ada upaya untuk memiskinkan koruptor. Karena, filosofis penjatuhan sanksi kepada koruptor dimaksudkan agar sanksi yang dijatuhkan itu dapat memberi efek jera bagi koruptor dan dijadikan pereseden sehingga orang lain takut untuk melakuan korupsi. Oleh karena itu, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi harus terintegrasi. Artinya, pendekatan follow the suspect, follow the money dan follow the assets harus diterapkan secara bersamaan, karena merupakan satu paket dalam pemberantasan korupsi.

Lalu, keputusan pengadilan dalam penjatuhan pidana kepada koruptor terkadang diluar bunyi UU. Misalnya, dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutan "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat keuangan negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah)". Namun, pada implementasinya keputusan pengadilan tidak sesuai dengan bunyi UU tersebut, dimana penjatuhan pidana yang divonis oleh pengadilan lebih ringan dibanding yang tertera dalam UU tersebut. Itulah konsekuensi dari kita yang menganut negara hukum sistem common law (penjatuhan pidana tidak harus berdasar bunyi UU) dan civil law (penegakan atau penjatuhan sansksi kepada koruptor/yang melakukan tindak pidana sesuai dengan bunyi UU). Dengan demikian,

Kemudian, birokrasi menjadi lahan subur korupsi karena minus akuntabiliatas. Terkait hal ini, mungkin orienasinya lebih kepada lembaga. KPK, Jaksa dan Kapolri merupakan lembaga yang eksistensinya sangat krusial dalam pemberantasan Korupsi. Ketiga lembaga itu harus independen dalam penegakan hukum. Disamping itu, juga harus berintegritas. Namun, persoalannya adalah integritas dari ketiga lembaga tersebut tersendera oleh pertimbangan politis dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Pertimbangan politis karena menguatnya hubungan kekerabatan antara pejabat KPK, Kapolri dan Jaksa dengan pejabat birokrasi yang tersandung kasus korupsi. Dan berita baru yang paling menghebohkan adalah Jaksa Agung RI meminta agar penyelesaian kasus tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan Negara di bawah Rp 50 juta cukup diselesaikan dengan mengembalikan kerugian Negara tersebut. Proses ini dinilai sangat cepat dan sederhana. Ini merupakan usulan yang keliru, sebab penyelesaian kasus tindak pidana korupsi pada prinsipnya bukan dilihat dari segi cepat dan sederhana prosesnya, melainkan bagaimana proses penyelesaiannya mampu memberikan efek jera bagi pelaku serta menjadi sebuah "ketakutan" bagi orang lain untuk melakukan korupsi. Dengan demikian, proses penyelesaian tindak pidana korupsi di bawah Rp 50 juta sebagaimana yang diusulkan oleh Jaksa Agung tersebut menurut saya justru memberi ruang bagi setiap orang untuk melakukan korupsi sebab tidak memberikan efek jera dan tentu saja mempermainkan hukum serta melukai rasa keadilan. Korupsi memang tidak bisa dihindari, namun setidaknya kita melakukan berbagai upaya untuk bisa mencegahnya dengan memberikan sanksi yang tegas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline