Lihat ke Halaman Asli

SARA: Kemolekan Yang Dijadikan Bahan Bakar Kezaliman

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah SARA yang mulanya dimaksudkan sebagai akronim dari Suku, Ras dan Agama,  sekarang telah mengalami pergeseran makna menjadi istilah dari hal-hal yang amat sensitif untuk 'dicolek' atau 'disinggung' di negeri yang majemuk suku, ras dan agama ini.

Kekayaan keragaman atau kemajemukan suku, ras dan agama pernah menjadi kekayaan dan kebanggan tersendiri bagi Nusantara.  Sewaktu Hindu dan Budha hidup berdampingan dan membentuk negeri keragaman di bumi pertiwi ini, tidak ada sejarah konflik dengan pemicu suku, ras dan agama yang semakin marak dan semakin rentan terjadi, seperti masa belakangan ini.  Menariknya, sampai saat ini, kedua agama yang (masih) diakui di negeri Indonesia modern ini nyaris tidak pernah mewacanakan dengan teriakan nyaring bahwa mereka adalah agama (-agama) pembawa damai.  Dalam hening, mereka berkarya untuk perdamaian.  Tepat seperti ajaran ketuhanan yang mereka anut.  Hindu dan Budha di negeri ini berhasil melakoni dalam laku hidup semangat dari filosofi ini: sepi ing pamrih, rame ing gawe.

Keragaman pada era kerajaan dahulu kala dalam sejarah nusantara ini, menjadi kekayaan tersendiri.  Keragaman suku, ras dan agama seharusnya tetap merupakan suatu "harta" yang menjadikan bangsa ini bangsa yang "kaya."  Tapi realitas menunjukkan sebaliknya.  Suku, ras dan agama dijadikan "mainan politis" yang sangat tidak berperi kemanusiaan yang adil dan beradab.  Atas nama agama dan kepribumian, bangsa ini tanpa sungkan menyerang, bertindak anarkis--bahkan terkadang biadab.  Kemajemukan suku, ras dan agama yang adalah "harta" negeri ini menjadi bahan pemuasan nafsu dan amarah sekelompok orang dengan dalih agama atau peraturan.  Begitu seringnya keragaman SARA diperkosa, sehingga semakin lama SARA menjadi hal yang sensitif dan riskan untuk menjadi motif kebencian dan tindakan anarkis.

SARA yang "molek nan indah" yang dulu pernah menjadi "mahkota kebanggaan" dan "harta" negeri Nusantara ini, sekarang berubah menjadi buruk, menakutkan dan rentan menimbulkan sentimen negatif.  Sebagian orang menudingkan jarinya mempersalahkan rezim Soeharto dengan Orde Barunya, sebagai pelaku pendegredasian SARA ke tahap semengerikan itu.  Orang-orang ini seperti rabun dekat mata hatinya.  Karena mereka yang bersuara paling sinis dan kencang memaki Soeharto dan rezimnya--yang dilakukan pada masa paska jatuhnya rezim Orde Baru tentu saja,  justru merekalah yang paling tidak bernurani untuk menggadaikan perdamaian negeri.  Tanpa peduli dengan akibat ke depannya, mereka tak segan  mengobarkan isu-isu primordialis dan menjadikan SARA sebagai bahan bakar kezaliman yang siap disulut sewaktu-waktu bila 'dibutuhkan.'

Kita sudah terlalu banyak kehilangan kekayaan filosofi dan semangat Nusantara, yang dulu pernah kita miliki dan menjayakan Nusantara ini.  Dalam hal ini, acuan pada sejarah jaya masa lalu sama sekali bukan nostalgia belaka.  Hal-hal yang dulu pernah kita miliki sebagai sebuah bangsa bukanlah hal-hal usang yang sudah ketinggalan mode dan zaman.  Kekayaan Nusantara itu ibarat air susu ibu, yang sampai kapan pun tetap menjadi asupan terbaik bagi anak bangsa.  Adalah bodoh dan gila bila ada orang yang menjadikan air susu ibu sebagai bahan permainan dan olokan, bahan untuk berlaku zalim.  Dan jelas, orang yang tega dan berani melakukan pengkhianatan terhadap Ibu Pertiwi adalah orang yang bukan anak bangsa ini.  Mungkin mereka adalah generasi pribumi, tapi pribumi dalam jiwa mereka adalah pribadi bumi-hangus, bukan pribadi membumi dari negeri ini.

Aku teringat kisah pembunuhan pertama yang dicatat dalam kitab Kejadian (Genesis) di Alkitab.  Kisah tentang Kain yang karena kedengkian dan rasa marah yang dibiarkan membakar jiwanya, menggiring sang adik Habel ke tempat di mana sang adik tak berdaya, dan membunuhnya dengan biadab.  TUHAN marah, dan pertanyaan menuntut pertanggung jawaban disabdakan pada Kain, "Kain, di mana adikmu?"   Kain dengan dusta dan arogan menyahut-Nya, "Apakah aku ini penjaga adikku?"  Dan TUHAN pun memurkai dan menghukum Kain.  Dan seterusnya, Kain menjadi bapa kaum pembunuh.

Tampaknya "keturunan" Kain banyak dilahirkan di negeri ini.  Arogansi atas nama TUHAN dan anarkis atas nama kebencian yang dihalalkan dengan stempel agama dan kepribumian mereka.  SARA di tangan orang-orang "nasional"  yang sesungguhnya sangat anti nasionalis dengan sikap, perkataan dan tindakan mereka ini tampaknya "berhasil."  Mereka berhasil menjadikan SARA yang molek nan indah sebagai rahmat Ilahi bagi negeri ini, menjadi bahan bakar kezaliman yang mudah disulut dan dikobarkan setiap mereka menginginkan atau butuh.  Dan bila ada sensus yang menuding Indonesia sebagai "negara gagal,"  kita tidak bisa begitu saja menyalahkan SBY sebagai penyebab, sebab jangan-jangan diri kita sendirilah dengan perkataan dan perbuatan kita yang menggagalkan negara ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline