Pola mendidik yang kita peroleh dari keluarga--khususnya orang tua kita, ternyata sangat mempengaruhi perkembangan dan bentuk perilaku kita. Orang tua yang cenderung memberikan apa saja yang kita mau & membiarkan tingkah kita yang sebenarnya kurang ajar dan berbahaya, akan menjadikan kita anak yang liar, kurang ajar dan mampu berbuat jahat tanpa rasa bersalah karena terbiasa menganggap itu boleh-boleh saja.
Negara, yang diwakili oleh pemerintah, adalah pengayom warganya. Dengan kata lain, secara sosiologis pemerintah memiliki fungsi orang tua bagi rakyatnya. Bukankah peran mengayomi, melindungi dan memelihara yang notabene kewajiban eksklusif orang tua, itu semua juga dipegang sebagai kewajiban pemerintah? Pemerintah yang tidak tegas, "cengeng" dan tidak berwibawa hanya akan menciptakan masyarakat yang liar, kurang ajar dan jahat. Sikap pemerintah terhadap berbagai isu sosial bukan hanya sekedar respon politis, namun mengandung unsur edukatif yang kental.
Dalam dunia organisasi, ada ungkapan yang berujar, "anggota secara sadar atau tidak akan meniru perilaku pimpinannya." Semacam: like father, like son. Atau dalam konteks pembicaraan kita: Like government, like her people. Bila sejenak kita menoleh pada sejarah pemerintah negeri kita ini, kita bisa melihat dengan cukup jelas kebenaran dari ungkapan atau pepatah itu.
Bung Karno adalah seorang pemimpin bangsa yang nasionalis, itu sebabnya perilaku masyarakat pada masanya adalah masyarakat yang kental dengan semangat nasionalisme. Pak Harto adalah seorang pemimpin negara yang cukup diktatoris, itu sebabnya perilaku masyarakat pada masanya cenderung status quo dan sulit bersikap kritis. Masa pak Beye? Ia pemimpin yang "berhati-hati dan santun"--sebenarnya: tidak tegas, berbelit dan kompromistis alias cari aman sendiri. Dampak perilaku kepemimpannya pun mulai tercermin pada semakin mudahnya kelompok-kelompok masyarakat bertindak anarkis, mengabaikan kewenangan otoritatif pemerintah dan hukum. Masyarakat Indonesia sudah mulai bergerak menuju masyarakat beradab barbar. Meski tetap harus kita akui, masih ada segelintir tokoh yang masih setia menyuarakan perdamaian nasional dan penghargaan nilai bangsa, terutama nilai-nilai pluralitas dan kekayaan negeri yang masih cukup limpah dan indah.
Tidak terlalu sulit bagi kita rasanya untuk melihat bahwa perilaku kepemimpinan bangsa saat ini cenderung bersemangat "pembiaran." Pemerintah seperti orang tua yang memang masih berusaha mendidik dan mengayomi, tapi dengan sikap yang cengeng dan tidak berwibawa. Itu tampak dari melulu wacana keprihatinan dan himbauan yang diserukan pemerintah, tapi berhenti hanya sebagai gema belaka, nyaris nihil tindakan yang adil dan tegas sehingga tidak berwibawa. Pemerintah saat ini ibarat orang tua yang ketika melihat kelakuan buruk anaknya, menegur dan memarahi, tapi hanya sampai di situ. Tidak ada penanganan edukatif yang tuntas--seperti penegakan sanksi sesuai kesepakatan atau peraturan yang ada. Orang tua yang hanya berhenti pada menegur, tanpa menegaskan bahwa setiap perilaku yang melanggar akan dikenai konsekuensinya, yaitu hukuman. Teguran tanpa disiplin yang jelas sama buruknya dengan pembiaran. Pemerintah sekarang seperti orang tua yang melakukan pembiaran terhadap polah tingkah anak-anaknya, seperti tanpa daya dan wibawa.
Masalah yang lebih besarnya adalah, bahwa pergeseran memburuk dari perilaku masyarakat kita yang mudah sekali anarkis dan bermental tawuran dalam mengekspresikan ketidak setujuan, itu akan sulit sekali dipulihkan kembali ke perilaku ramah dan santun yang sebenarnya merupakan semangat asli warga nusantara tercinta ini.
Hal lain yang masih berkaitan erat dengan masalah perilaku bangsa adalah masalah korupsi. Masalah korupsi saat ini memang sudah semakin meningkat penindakannya. Tapi banyaknya kasus yang berhasil dilimpahkan sampai ke meja hijau tidak bisa serta-merta menjadi parameter sahih bagi keberhasilan upaya pemberantasan korupsi. Sebagai sebuah awal itu memang baik, tapi tidak cukup. Upaya penindakan yang memang mulai menunjukkan hasilnya di tangan KPK patut kita hargai dan dukung. Tapi pemerintah tidak bisa "lepas tangan" begitu saja. Masih merupakan tugas dan kewajiban pemerintah secara langsung untuk mendukung KPK, Kejaksaan dan Polri dalam penindakan yang jelas dan tegas. Paling tidak ukuran keberhasilan dari penindakan atas masalah korupsi ini adalah mulai munculnya Efek Jera bagi pelaku maupun calon pelaku potensial yang berbaris antri dalam tubuh lembaga-lembaga tinggi negeri ini.
Bila pemerintah memang serius memimpin dan mengayomi negeri ini, maka salah satu tindakan yang sangat kuat pengaruhnya adalah: ketegasan dalam tindakan. Kemampuan pemerintah menciptakan Efek Jera bagi para pelaku dan calon pelaku pelanggaran hukum dan norma di negeri ini adalah keberhasilan terbesar yang perlu dan bisa diupayakan. Sebagian kelompok masyarakat yang mulai gandrung dengan polah anarkis, berikut para sponsor dan provokatornya, akan berpikir ulang bila ingin bertingkah. Masyarakat lain pun akan bisa mulai merasa pengayoman itu masih tegak memayungi mereka. Dengan kata lain, ketegasan dalam bertindak akan menegakkan amanah pemerintah di kehidupan dan perilaku warganya.
Jangan-jangan, apakah pak Beye menjadi terlalu larut dalam semangat "Lanjutkan!" sehingga semua tingkah yang terang-terangan melanggar hukum dan norma bisa terus "lanjut" ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H