Lihat ke Halaman Asli

Taksi, Kemacetan, dan Otak Pemimpin

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bang Tolong antar anak saya ke Pondok Labu lewat Cinere Mas ya!" demikian pinta saya sambil mengucapkan terima kasih kepada supir taksi itu pada suatu pagi di depan komplek perumahan. Rasa was-was tentu saja menghinggapi karena anak saya masih duduk di kelas 2 SMA dan pagi masih gelap menjelang jam 5 itu.

Ketidakmampuan kita membagi waktu dan badan sering membuat kita harus meminta pertolongan orang lain, baik secara suka rela ataupun berdasarkan aturan bisnis. Hari itu saya tidak bisa mengantar anak gadis saya yang akan pergi Camping bersama teman-temannya ke Cibodas. Saya juga harus mengurus anak gadis satu lagi yang harus berangkat jam 6 pagi.

Demikianlah, sekelumit gambaran betapa kita membutuhkan taksi untuk suatu keperluan. Lebih sering kita membutuhkannya untuk pergi ke kantor, ke resepsi, makan siang  ataupun menuju atau kembali dari bandara.

***

Untuk kota besar seperti Jakarta, taksi sudah menjadi pilihan kedua setelah kendaraan pribadi bagi kebanyakan orang atau kelompok menengah. Ia menjadi alternatif terbaik bagi yang mampu. Bukan hanya sekedar menghemat tenaga, terkadang untuk kondisi tertentu menggunakan taksi juga jauh lebih ekonomis. Terlebih lagi untuk kota besar, taksi sebenarnya bisa menjadi alat utama pengendali atau untuk mengurangi kemacetan di kota-kota besar.

Dengan naik taksi kita mengurangi tekanan untuk badan jalan dan ruangan parkir termasuk mengurangi area yang harus menjadi lahan perhentian sementara. Dengan menaiki taksi dan mengatur jadwal bersama jelas mengurangi jumlah pemakaian mobil, baik dalam kota ataupun antar kota dengan jarak sedang seperti Jabodetabek. Singkat kata taksi sebenarnya jika di manage dengan baik akan menolong warga kota dalam banyak hal.

Sayangnya perlakuan pemerintah sendiri tentang bagaimana taksi diperlakukan agar berbagai tujuan baik di atas bisa tercapai, masih tergolong buruk. Seharusnya taksi diberikan berbagai kebebasan termasuk menggunakan jalan dan lajur yang tersedia. Taksi seyogyanya boleh kemana saja pada jam berapa saja, kecuali memasuki jalan yang bertanda "vorbodden".

Alih-alih memberikan kebebasan kepada taksi atau secara tidak langsung membebaskan penumpang untuk bergerak "mobile" kemana saja, petugas sering secara permanen memaksa taksi harus mengikuti aturan yang berlaku untuk mobil pribadi. Sebagai contoh, di Bundaran Hotel Indonesia (HI) yang menjadi salah satu persilangan strategis untuk pergantian arah, taksi harus patuh mengikuti rambu untuk kendaraan pribadi yang tidak boleh masuk dari arah jalan Diponegoro untuk jam tertentu. Taksi harus memutar dulu ke kolong kereta di Jalan Blora jika harus memutar dari jl DIponegoro ke arah jalan Thamrin pada kurun waktu jam 16-19.

Tidak jarang kita lihat taksi juga harus berputar cukup jauh di depan Gedung Indosat, mengikuti kendaraan pribadi jika datang dari arah Selatan. Serta masih banyak contoh lain tentang larangan arah dan jalan yang boleh dimasuki taksi.

Keharusan mengikuti rambu yang mengurangi kebebasan mobilitas taksi ini tentu saja terkadang mempengaruhi pilihan pengendara mobil untuk akhirnya membawa kendaraan sendiri, karena disamping harus membayar sewa taksi, ia masih juga harus memutar dan membuat perjalanan menjadi tetap sulit. Saya sendiri dan mungkin para pembaca mungkin pernah mengalami pilihan seperti itu ketika harus makan siang. Pilihan menggunakan taksi akhirnya dikalahkan oleh pilihan membawa kendaraan sendiri, yang secara tidak langsung menambah beban kepada kapasitas jalan, alias menambah kemacetan.

Di samping rambu, adanya tarif parkir atau ongkos sekedar lewat suatu gedung juga termasuk "ketidakwarasan" sistem transport yang salah penerapan. Tidak jarang rumah sakit, mall, hotel, dan pusat perbelanjaan dari sekedar ruko kecil hingga yang besar, "memaksa" taksi harus tetap membayar. SAya ingat, sejak 15 tahun lalu, untuk masuk RSAB Harapan Kita, taksi harus membayar. Jangan lagi ditanya pula bagaimana mall "memalak" taksi yang nota bene mengantarkan orang berbelanja ke mall tersebut. Selayaknya, jika taksi membawa penumpang ke dalam mall, jika perlu diberikan bonus. That's economics!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline