Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Membangun "De el el" Bangsa Indonesia

Diperbarui: 28 Oktober 2016   11:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau mau menyimak Indonesia dengan teropong jujur, silakan baca  buku Indonesia Etc., karya Elizabeth Pisani yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Begitulah Indonesia.  Elizabeth Pisani, jurnalis/analis/penulis kelahiran Amerika , memimpin lembaga konsultasi kesehatan bernama Ternyata Ltd. di Inggris. Dengan ‘etc.’, ia seperti melongok jendela rumah kita dari luar. Etc. adalah singkatan dari ‘etcetera’, yang artinya ‘dan lain-lain’, yang tak lain adalah adalah sepotong singkatan pada teks proklamasi kemerdekaan RI : “………hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l ….”

Pisani melihat ‘d.l.l.’ ini sebagai permasalahan belum tuntas bangsa Indonesa sejak menyatakan merdeka pada tahun 1945. Kita mungkin sepakat dengan Pisani, bahwa dalam momen Hari Sumpah Pemuda Indonesia, kita masih berkutat dengan ‘d.l.l.’ itu., terutama bila dikaitkan dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara seperti dalam  Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yakni ‘bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia. Sumpah ini intinya mengandung pemahaman bahwa hanya dengan bersatu dan memegang teguh kesatuan, bangsa ini akan tiba pada titik maju dan sejahtera. Sesederhana itu!

Kini setelah 88 tahun digaungkan, value sumpah itu belum juga mampu mempersatukan Indonesia seutuhnya. Kita masih berbicara dengan ‘bahasa’ plural, yakni ‘bahasa fanatisme agama’, yang cenderung menggunakan nilai moral agama (tertentu) semata untuk menggapai kejahteraan jiwa dan raga; ‘bahasa politik’, yang menganggap kebenaran-kebenaran politik suatu kelompok tertentu sebagai pathway terbaik untuk sampai di tujuan;  ‘bahasa diskriminasi’, yang berpendapat hanya kelompok-kelompok sosio-budaya tertentu yang boleh mereguk nikmat negeri ini; ‘bahasa uang’, yang menatap uang adalah simbol-simbol capaian dan kesejahteraan dan hal yang paling layak diperjuangkan, dan oleh karenanya korupsi direduksi menjadi perkara biasa;  dan ‘bahasa setengah gaib’, pemicu kelupadirian yang menyediakan ruang lebar bagi tumbuhnya pemikiran non-logis penebar konflik sosial dan persona-persona manusia ‘setengah dewa’ mirip Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Semuanya menempatkan toleransi pada titik rawan dan non-produktif bagi keutuhan bangsa.

 Kita belum hendak kita beranjak ke ‘bahasa’ persatuan yang menatap keberagaman sebagai unsur pemersatu, yang menatap kerja keras beretika sebagai simbol kemartabatan, yang menganggap kritik sebagai gizi jiwa yang justru membangun, bukannya mengancam zona nyaman kita.

Kita juga masih dirundung gundah demi melihat sebagian pemuda Indonesia kehilangan orientasi dan cenderung berkembang menjadi penutur ‘bahasa-bahasa’ yang disebutkan di atas, yang pada gilirannya makin menjauhkan kita dari cita-cita mulia ikrar pemuda 1928 dan rencana perjalanan negara merdeka Indonesia seperti diisyaratkan dalam ‘d.l.l.’ pada teks proklamasi.  Jiwa berbangsa kita masih terombang-ambing di antara gelombang keragaman, gagal mampu memetik pelajaran berharga dari nilai-nilai persatuan. Cara berpikir kita masih terbelenggu paradigma berbangsa jangka pendek.

Hari ini, Hari Sumpah Pemuda, senyampang kita (mungkin) tengah tersadar betapa kita telah mencabik-cabik keutuhan nasional dan merusak jalan menuju negara hebat dan bermartabat, ada baiknya menengok sebait lagu kebangsaan Indonesia Raya yang berbunyi ‘….bangunlah jiwanya, bangunlah raganya, untuk Indonesia raya….’. Penggalan bait ini bukan digagas tanpa makna. Ada sustainable massage value di dalamnya, yang bersama dengan ‘d.l.l.’ harusnya membimbing kita mewujudkan visi dan misi bangsa sebagai organisasi raksasa yang berunsurkan masyarakat plural, melalui strategi-strategi pencapaian persatuan dan kesatuan yang harus dipahami oleh dan diinternalisasikan ulang kepada masyarakat Indonesia.

Para cerdik pandai, tokoh agama, penggiat partai politik, pendidik, birokrat, teknokrat, dewan perwakilan rakyat, tokoh masyarakat, aparat negara, elemen pemuda, elemen bisnis dan industri, lembaga swadaya masyarakat dan segenap pemangku kepentingan bangsa boleh duduk bareng untuk merumuskan kembali arah perjalanan bangsa dengan mengacu pada semangat Sumpah Pemuda, Teks Proklamasi dan Pancasila, dan boleh juga ditambah dengan gagasan-gagasan mulia global seperti yang tertuang pada Millenium Development Goals (Indonesia terlibat di dalamnya). Boleh juga dirumuskan nitty-gritty kehidupan positif bermasyarakat macam adat berlalulintas, kebiasaan menghormati keberagaman, kemampuan memahami perbedaan pendapat dengan benak jernih, pembinaan dini moral bangsa, pemahaman bahwa politik adalah alat untuk menggapai persatuan, dan yang penting kesadaran bahwa kehebatan Indonesia justru terletak pada keberagamannya.

Jadikan Indonesia--negara dengan belasan ribu pulau, ratusan etnis dan bahasa, dan sumberdaya luar biasa--sebagai benchmark  dan model trouble-shooting bagi errors yang muncul dari keragaman demografis  dan geografis. Buat dunia luar kagum sekaligus iri. Jangan terlena dengan ‘bahasa-bahasa’ yang berkembang untuk kepentingan pribadi. Pastikan pandangan mata dan tarikan-hembusan nafas segenap warga bangsa Indonesia berada pada irama dan amplitudo yang sama dalam memetik manfaat keberagaman. Ini semua untuk masa depan Indonesia, untuk anak cucu kita.

Selamat membangun jiwa dan raga melalui pemuda, Indonesia!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline