Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Simak Makna Kematian Melalui Museum Etnografi Unair

Diperbarui: 25 Maret 2016   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Infografi di Museum Etnografi Unair (foto : Wahyu Chrisnanto)"][/caption]Meski menjadi bagian hidup yang paling tidak sering dibicarakan, kematian adalah perkara teramat penting dalam hidup manusia. Di berbagai budaya, kematian mendapat status yang indah; ada ritual-ritual tertentu yang harus ditempuh, ada keterlibatan banyak pihak dan tentu saja ada konsekuensi-konsekuensi finansial yang tak terelakkan yang terkait erat dengan status sosial. Kematian hadir dengan beragam makna.

Meseum Etnografi Universitas Airlangga tampil untuk untuk membantu menjelaskan pentingnya kematian dalam siklus hidup manusia. Museum yang dikelola oleh Departemen Antropologi, Universitas Airlangga ini, terletak di Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan, pas di depan gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Museum buka untuk umum mulai jam 9 sampai jam 3 sore, dari Senin sampai Jumat.

[caption caption="Suasana Museum Etnografi Unair (foto : Henry Purba)"]

[/caption]Awalnya, ketika didirikan pada tahun 25 September 2005, museum ini bertugas mewadahi koleksi benda purbakala dan etnografi milik Departemen Antropologi Unair. Setelah dipoles sana-sini, Museum Etnografi  diluncurkan ulang dan diresmikan kembali oleh Dr. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan pada tanggal 21 Maret 2016. Kini, pengunjung bisa menikmati 10 macam koleksi mulai dari gerabah, batuan, hingga fosil, di antaranya fosil asli hasil hibah dari sejumlah lembaga.

[caption caption="Salah satu koleksi Museum Etnografi Unair (foto : Henry Purba)"]

[/caption]Anda mungkin mengerutkan kening mendengar kata museum, karena bayangan Anda tertuju pada koleksi-koleksi benda lama yang berdebu, muram dan membosankan. Museum Etnografi Unair akan mengubah pandangan itu. Layout museum didesain menarik, lebih homy, dijaga kebersihannya, dan adem, dan yang lebih penting lagi adalah keunikan koleksinya.

[caption caption="Mumi koleksi Museum Etnografi Unair (foto : Henry Purba)"]

[/caption]Berbeda dengan konsep museum biasa, Museum Etnografi Unair berkisah tentang kematian dalam potret budaya dan raga. Kematian diceritakan melalui konsep tradisi penguburan (disposal), upacara penguburan, mitos kematian, nasib raga pasca-mati (identifikasi dari aspek antropologi ragawi), dan kematian yang bertutur tentang persebaran manusia dari zaman homo erectus sampai manusia modern.

Di Museum Etnografi Unair, pengunjung bisa menikmati tampilan infografis mengenai kematian plus replika mumi, replika makam Trunyan (Bali), replika makam kambira (makam anak), replika mumi Ma’nene (Toraja), miniatur-miniatur tentang kematian, tengkorak asli manusia, rangka asli manusia dan replika rangka manusia. Semuanya ditujukan untuk pembelajaran mengenai kematian dan anatomi tubuh manusia.

[caption caption="Kerangka manusia sebagai sumber ilmu pengetahuan (foto : Henry Purba)"]

[/caption]Tak banyak museum bertema kematian di dunia. Museum Etnogragi Unair dengan tema kematian menarik diamati. Kenapa mesti tema kematian?

“Kematian adalah bagian dari rangkaian lifecycle yang paling tidak pernah dibicarakan karena terkait dengan ketakutan, perpisahan, kesedihan, kegelapan, hantu dan sebagainya, dan oleh karenanya jadi ditakuti bahkan tabu untuk dibicarakan,“ kata Dr. phil. Toetik Koesbardiati. 

“Sebaliknya, kematian adalah pertanda status sosial. Ini, misalnya, terlihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk penyelenggaraan upacara kematian seperti  Ngaben dan Rambu Solo. Di sisi lain, kematian menimbulkan pertanyaan ada apa setelah kematian, bagaimana kehidupan sesudah kematian. Ada banyak hal menarik berkenaan dengan kematian”

[caption caption="Infografi tentang nasib rangka pascakematian (foto : Wahyu Chrisnanto)"]

[/caption]Toetik melanjutkan, “Konsep tentang kehidupan setelah mati  (dunia arwah) berbeda dari satu budaya dengan budaya lain; tetapi jika ditarik suatu kesimpulan umum, tampak  ada kesamaan, yakni ada kehidupan lain setelah kematian, dalam hal mana si mati perlu bantuan dari orang hidup. Misalnya, budaya Toraja percaya bahwa setelah mati, si mati harus pergi menuju alam roh, menempuh suatu perjalanan yang membutuhkan kekuatan, kendaraan dan bekal. Maka disembelihlah kerbau dan babi sebagai  kendaraan untuk menuju ke alam roh; semakin banyak hewan yang disembelih, semakin cepat si mati sampai ke alam roh,"

"Bagi keluarga yang ditinggalkan, jumlah hewan sembelihan menunjukkan status sosial.  Orang akan berlomba untuk menunjukkan prestise. Pada titik ini, kematian seseorang menjadi persoalan prestise bagi  yang masih hidup. Di beberapa budaya, bahkan keluarga rela mengorbankan dana kesehatan dan dana pendidikan bagi  yang hidup untuk memuliakan si mati, karena ada kepercayaan bahwa keluarga akan mendapat aib bila tidak mampu memuliakan si mati melalui rangkaian upacara tradisi. Ini menunjukkanbahwa kematian bukan persoalan kesedihan semata, namun juga persoalan ekonomi, sosial budaya”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline