Kru Suay Mak (13)
Kru Suay Mak (12) bisa dibaca di sini
Mirza segera menyusul Nut yang sudah lari duluan, yang bergerak dengan payah karena span yang terlalu ketat dan sepatu hak tinggi. Nut berbelok ke sebuah gang kecil, serta merta melepas sepatu dan menghantamkan hak tinggi sepatu ke tembok agar lepas dari tumit sepatu. Mirza membantu melakukan hal serupa untuk sepatu satunya.
“Good bye sepatu favorit 5.000 baht,” ujar Nut.
Dua orang yang mengejar mereka mulai tampak di ujung gang, berteriak-teriak parau minta agar Nut dan Mirza berhenti. Di belakang dua orang ini, Chon menguntit.
“Lari terus, jangan berhenti!” kata Nut di tengah sengal-sengalnya.
“Tapi mereka makin dekat,” timpal Mirza.
“Pokoknya lari, masuk ke pasar Warorot,” Nut segera memimpin berbelok ke arah pasar. Gerakannya masih lamban dengan rok ketat. Tiba-tiba Ia berhenti sebentar.
“Kenapa berhenti?” Mirza heran.
“Rok ini perlu disobek,” Nut meraih jahitan samping rok di atas lutut dan menyobeknya keras, di bagian kanan dan kiri, menyisakan belahan kaki atas terbuka lebar.
“Okay, aku bisa bergerak bebas sekarang. Lari lagi!”
Kali ini Nut benar-benar bisa melesat dengan cepat. Mirza mengikuti dari belakang, sesekali menoleh ke belakang. Tiga pengejar mereka seperti makin beringas, tapi tampak mengalami kesulitan menebak arah lari Nut dan Mirza di tengah kerumuman orang-orang yang mulai memadat pasar di antara kilau lampu-lampu lapak yang belum dimatikan di pagi itu.
Tangkas Nut menyibak kerumunan sembari minta maaf harus menyenggol bahkan membuyarkan bawaan sayuran di tangan orang-orang belanja. Mirza masih sempat orang-orang di pasar menatap pemandangan aneh itu, seorang perempuan cantik dengan rok tersobek diikuti pemuda tanggung dalam kejaran tiga laki-laki.
Mirza berusaha mengikuti arah lari Nut yang seperti sengaja memilih kelok-kelok gang-gang deretan lapak-lapak yang penuh sesak secara tak terduga agar para pengejar terkecoh. Dan ini berhasil. Ketika Mirza menoleh ke belakang, para pengejar seperti hilang tertelan kerumunan dan pandangan terhalang tumpukan barang dagangan di pasar.
[caption id="attachment_260819" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu bagian Pasar Warorot (foto : Eddy Roesdiono)"][/caption]
“Okay, Nut…..Nut….mereka tak tampak lagi!” Mirza kehabisan nafas. Nut berhenti, menyeka keringat!
“Yup. Tapi kita musti tetap waspada. Bisa saja mereka memintas dan tiba-tiba ada di hadapan kita. Ayo terus!” kata Nut.
Dan kini mereka telah sampai di bagian pintu keluar pasar Warorot, langsung menghentikan song teeuw, angkot Chiang Mai. Nut bicara pada sopir dan bilang ia carter song teeuw ke suatu tempat dan tak perlu berhenti angkut penumpang lain.
“Kita kemana?” taya Mirza tatkala menghenyakkan pantat di bangku bagian belakang song teeuw.
“Yang jelas tidak ke apartemen tempatku menginap,”
“Lalu, kemana?” tanya Mirza sambil mengawasi sekeliling, takut para pengejar mereka mendapati mereka naik song teeuw.
“Ke bengkel motor Jum, temanku. Motorku aku perbaiki di situ,” kata Nut. “Ayo, Pi. Tolong cepat!” Nut meneriaki sopir Song Teeuw. Song teeuw mula dipacu seperti maunya Nut.
“Huih! Sementara kita bebas! Tapi aku yakin mereka pasti akan obrak-abrik kamar apartemenku,” kata Nut.
Seperempat jam kemudian, song teeuw sampai di tempat yang diminta Nut. Ia mengangsurkan 300 baht kepada sopir dan langsung mengajak Mira menggedor sebuah bengkel yang bersebelahan dengan rumah tinggal.
Lama pintu yang digedor tak dibuka.
“Jum! Buka pintu!”
Baru lima menit kemudian pintu dibuka. Seorang perempuan seumuran Nut membuka pintu, mengucek mata.
“Jum! Ini aku Nut. Motorku sudah selesai diperbaiki, ‘kan? Aku ambil sekarang. Sori, ini penting!” kata Nut.
“Oh, kamu, Nut. Pagi benar! Dan, ya ampun, itu rok model apa? Sobek di kanan kiri?”
“Sudahlah, kapan-kapan aku cerita. Aku mau scoopy-ku!”
“Sebentar. Aku ambil kunci bengkel!”
Jum baru kembali lima menit kemudian, dan membuka pintu bengkel. Nut segera menghampiri motor itu.
“1.000 baht ongkosnya,” kata Jum.
Nut mengais uang di tas selempang dan memberi Jum lembaran 1.000 baht.
“Memang mau kemana pagi-pagi begini? Pemuda ini siapa?” tanya Jum.
“Kapan-kapan deh cerita lengkapnya! Lao je gan na…”
Jum melongo.
“Yuk!” Nut mengisyaratkan Mirza untuk naik ke boncengan.
“Sini aku yang setir,” pinta Mirza, “kau kasih aba-aba kemana kita pergi”
“Good idea! Okay, jalan ini lurus terus ke utara!”
Nut duduk di boncengan Mirza, memeluk perut Mirza di pagi dingin itu. Ketika mereka melintas jalan, tak urung para pengendara motor menatap kaki Nut yang benar-benar terbuka dari ujung jari sampai mendekati pinggang.
“Katakan kemana kita pergi naik scoopy ini?”
“Pang Mapha, kota kelahiranku, di provinsi Mae Hong Son”
“Jauh?”
“Lumayan, 200 an kilo!”
“Ow, shit!”
“Kenapa? Nggak suka ya? Tenang saja, kau nyetir, dan aku menyumbang kehangatan dengan memelukmu dari belakang. Kalau capek, gentian nyetir!”
“Nggak, asyik aja! Aku suka perjalanan kayak gini,”
“Apalagi sama pacar baru, ya….” teriak lirih Nut di telinga Mirza.
“Yupppp…..tapi kayaknya kau perlu pakaian bawah yang lebih pantas dan kita perlu jaket. Dingin banget!” kata Mirza, mulai pasang kewaspadaan mengemudi di jalan menanjak yang meliuk-liuk.
“Tunggu sekitar setengah jam perjalanan ke depan, takutnya mereka mengejar kita,” kata Nut.
“Setuju. Ini lurus terus ‘kan?”
“Chai….ini namanya jalan nomor 1095, langsung menuju Pang Mapha!”
Dengan pelukan hangat bu guru cantik yang kini sudah jadi kekasih, Mirza sama sekali kuatir perjalanan di negeri ini. Jalanan antar kota tak terlalu ramai dan permukaan jalan mulus. Satu-satunya yang diperlukan adalah kewaspadaan tingkat tinggi karena medan naik turun bukit yang berkelok-kelok.
Nut minta Mirza menepi di sebuah pasar di kawasan Mae Rim, dan mencari toko pakaian yang sudah buka. Ia membeli beberapa helai pakaian dan dua jaket. Nut langsung ganti rok sobek dengan celana jins murahan yang jelas-jelas tertulis ‘made in China’.
“Aku lapar,” kata Nut.
“Sama. Makan di situ yuk?” Mirza menunjuk sebuah kedai, memesan dua nasi goreng dan kopi hangat.
Nut menyisir rambut dengan jari-jarinya ketika mulai duduk di kursi plastik. Jam menunjukkan hampir pukul 8 pagi. Kabut tipis masih menyergap kawasan itu. Dalam tatapan Mirza, guru cantik ini makin Suay saja walau dengan wajah sedikit membiru karena terpaan angin dingin. Bias sinar matahari pagi mulai menghangatkan wajah itu, dan memberinya kembali rona putih cerah asli raut Nut, dengan bibir indah.
“Nut,” kata Mirza.
“Yes?”
“Khun pen suay mak,” Mirza memuji Nut cantik sekali.
“Khawp khun na kaa…..dan kau baik sekali!” Nut mendekap tangan Mirza.
“You know, aku cemburu hebat waktu malam itu kau pulang dengan Olivier,” kata Mirza.
“Aku tahu,” kata Nut.
“Tahu?”
“Ya. Dan aku suka lihat kamu cemburu,” Nut menjilat sisa kopi di ujung bibirnya sendiri.
“Oh ya?”
“Ya. Tahu nggak, mukamu lucu kalau lagi cemburu!”
“Sialan! Okay, tell me, kamu ngapain sama Olivier malam itu?” tanya Mirza. Nut tersenyum, mendekatkan wajahnya pada Mirza.
“Mau tahu benar?”
“Kalau tak keberatan cerita…”
HP Mirza berdering. Mirza memencet tombol bicara.
“Mirza! Kamu di mana? Ini Dang, dari Tuptim Inn,” suara dari seberang langsung menyerang.
“Dang? Ada apa?”
“Gawat! Barusan ada dua orang bertampang preman tanya kau. Aku bilang kau tidak pulang sejak semalam. Mereka tidak percaya. Mereka lalu membuka paksa kamar kamu, mengacak-acak kamarmu dan membawa paspor kamu. Aku nggak bisa apa-apa. Mereka juga menghajar Lek, pacarku, yang coba membelaku. Mereka bilang kau membawa lari istri orang!”
(BERSAMBUNG KE SINI)
Lao je gan na = sampai ketemu
Khun pen suay mak = kamu cantik sekali
Chai = ya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H