Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Sang Penerjemah (22)

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13524585551123447516

Sang Penterjemah (21) bisa dibaca di sini

Kereta api sampai di Ayutthaya jam 4 lebih sedikit. Mendung mengurung kota dan banjir di jalanan menyembunyikan permukaan tanah, dan menggantikannya dengan genangan-genangan di mana-mana. Aku mencoba mengghubungi Ped lagi. HPnya masih tidak aktif.

“Barangkali kau mau mencari suamimu ke tempat kerja. It’s okay, sore ini tak usah kerja menerjemah dulu,” kata Rakandi, mendapati kegelisahan di wajahku.

“Tidak perlu. Kalau ia tidak menelepon aku, itu berarti ia sedang benar-benar sibuk,” kataku. “Jadi sore ini kau tak perlu aku?”

“Secara professional, tidak,” kata Rakandi.

“Secara profesional?”

“Ya. Museum sudah tutup, dan kau mungkin perlu pulang setelah dua hari berada di Bangkok ,” ujar Rakandi. Aku berdiri mematung di dekat pintu mobilku di parkiran stasiun kereta api Ayutthaya. Entah kenapa aku jadi bimbang. Mustinya memang aku pulang dan menunggu Ped pulang dari tempat kerja. Tapi tiba-tiba saja aku merasa tak terlalu bergairah untuk melakukan kegiatan di rumah. Dua hari jalan dengan Rakandi, terus terus saja, terasa amat menyenangkan. Entah kenapa begitu.

“Kamu sendiri mau kemana sore ini?” tanyaku.

No idea. Mungkin jalan-jalan sedikit, pijat atau cari makan,” jawab Rakandi.

“Oke, deh. Have a nice evening. Aku pulang dulu. Besok ketemu di kantorku, ya, jam 9 pagi,” aku membuka pintu mobil dan memanaskan mesin. Rakandi menunggu sampai mesin mobil cukup panas dan aku melajukan mobil ke luar stasiun. Ia melambaikan tangan.

Lagi-lagi hatiku bimbang. Hari ini rasanya terlalu cepat berlalu. Mestinya aku tadi mengajak Rakandi jalan sore itu dan menemaninya cari makan. Ingin rasanya aku mengais HP dari tas dan mengirim sms pada Rakandi. Tapi aku urungan. Jangan-jangan pemuda Jawa ini nanti jadi ke-GR-an.

Rumahku sepi sore itu. Kunci rumah kutemukan di pot yang tergantung di palang kayu. Dua edisi koran terserak di beranda. Berarti Ped sama sekali tak pulang selama dua hari ini. Aku tercenung sambil menggenggam HP tak jauh dari kulkas. Kukirimkan sms pada Ped, memberitahu aku sudah di rumah. Lama tak ada jawaban.

Aku mengguyur badan dengan air segar. Meski mendung, hawa Ayutthaya tetap panas dan gerah. Kukenakan short putih favorit Fed dan tank top biru regal hadiah dari Ped bulan lalu. Geirimis turun lagi, berbareng dengan datangnya gelap.

HPku menderingkan nada sms. Itu pasti dari Ped. Kuraih HP dan kubaca layar HP. Itu sms dari Rakandi. Aku tersenyum, entah kenapa aku jadi senang atas kehadiran sms itu.

“Mbak Apsara, lagi di rumah? Aku baru cetak foto-fotomu di kereta api. Semuanya keren. Mau lihat?” itu bunyi sms Rakandi.

[caption id="attachment_208366" align="aligncenter" width="300" caption="Mirip Apsara, artis Thailand Yaya Urassaya (foto: www.thaitv1.com)"][/caption]

Aku menimang HP, dan mulai mengetik. “Mau banget? Besok aku lihat ya?” aku menulis.

“Besok ya……ya, sudah…..”

“Kamu lagi ngapain. Jadi pijat?”

“Lagi bikin catatan di hotel. Nggak jadi pijat, nggak mood

Sekali lagi aku membaca sms Rakandi yang berbunyi, ‘besok ya….ya sudah….”.

Kalau dibaca berulang-ulang, aku bisa menangkap perasaan bahwa dia ingin menunjukkan foto-foto itu sekarang, atau mungkin, ia ingin ketemu aku sore ini. Ah, kok sama dengan perasaanku? Ingin sekali ketemu dia sore ini.

"Oh ya, gini saja. Aku pingin lihat foto-foto itu. Mau ke rumahku? Aku juga mau kasih kamu buku sejarah Ayutthaya terbitan penerbit lokal,” demikian kutulis sms untuk Rakandi.

Agak lama ia tak membalas sms itu sampai kemudian kudapati smsnya. “Okay, alamatmu?”

***

Rakandi muncul di depan pintu, dengan dandanan necis. Rambut tersisir rapi, dagu bercukur, dengan tetap beraroma daun serei.

“Hei, rapi sekali!” selorohku.

“Berusaha keras tampil rapi, supaya nggak kikuk menghabiskan sore dengan putri Ayutthaya yang seksi, ia menatapku dengan pandangan agak nakal.

“Bisa saja! Kau bawa foto-fotoku?” Aku duduk di bangku kayu panjang di beranda rumah.

“Yup. Ia dia! Bukunya?”

Rakandi langsung tenggelam dalam buku yang baru saja kuberikan, sementara aku asyik dengan foto-foto jepretan Rakandi di kereta api siang tadi.

“Buku menarik. Nanti kubaca di hotel. By the way, jujur ya, mbak. Waktu sampa di hotel tadi, aku gelisah,” kata Rakandi.

“Kenapa?” tanyaku.

“Nggak tahu. Pingin ketemu kamu, barangkali!”

“Hm. Begitu?”

“Ya, begitu. Tahu tidak, rasanya aku sudah kenal kamu lama sekali, padahal kita baru kenal tiga hari. Kenapa ya?”

“Mungkin karena selama tiga hari itu kita bersama terus,” kataku.

“Kamu gimana?” tanya Rakandi.

“Gimana gimana, maksudnya?”

“Sama nggak dengan perasaanku, pingin ketemu aku?” Rakandi menatap mataku, saat kami duduk berdampingan di bangku kayu di depan rumahku.

“Aku nggak mau jawab. Tapi yang jelas, aku kangen Ped. Dia belum menghubungi aku”

“Oh, begitu! Kok nggak mau menjawab? Aku tahu kamu juga punya perasaan itu. Bisa kurasakan getar-getar itu pada buku ini,” ujar Rakandi.

“Ah, sok puitis!”

“Bukannya sok puitis. Tapi aku tahu kau pingin ketemu aku, sama pinginnya dengan aku pingin ketemu kamu….”

“Rakandi, dengar ya…..!”

“Sebentar! Aku belum selesai. Perasaanku mengatakan ada getar-getar kekuatan magis sejarah yang tak terjelaskan, yang bermuasal dari kisah Rakandi dan Apsara di masa silam. Aku merasakan apa yang Rakandi silam rasakan, dan kau mungkin memiliki perasaan seperti apa yang dirasakan Apsara saat itu,” kata Rakandi.

“Rakandi, lihat ini!” tiba-tiba aku mengacungkan jari manis kiri, menunjukkan cincin kawin.

“Aku menikah. Aku punya suami!”

“Aku tahu. Apsara adalah istri Pibulwongsawat saat ia menjalin hubungan terlarang dengan Rakandi di masa silam”

“Maksudmu, apa?” aku mendadak ketus

“Maksudku….”

“Maksudmu, aku sama dengan Apsara di masa silam itu, yang jatuh cinta pada pemuda Jawa itu?”

Rakandi tidak menyahut. Ia diam mematung menatapku.

Khor tot khap, maaf. Sorry. Aku lancang. Oke deh, kita hentikan pembicaraan ini. Aku pulang saja,”

“Ya, baiknya kamu pulang sebelum ngelantur!” kataku.

Rakandi mengemasi tas dari meja. Ia menatapku sesaat sebelum benar-benar melangkah turun dari teras rumah. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu, namuntertahan oleh derum mobil yang berhenti persis di depan pintu gerbang. Aku dan Rakandi menoleh bersamaan kea rah derum mobil itu. Ped turun dari mobil yang dikemudikan Akiko, perempuan Jepang itu! Agak terkejut ia mendapati aku sudah berada di rumah senja itu, dengan Rakandi!

(BERSAMBUNG KE SINI)

catatan :

khor thot khap = maaf




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline