SANG PENTERJEMAH (7) bisa dibaca di sini
Kerajaan Ayutthaya, Siam, 1368 Masehi.
“Orang-orang Bama!” teriak Apsara.
Teriakan Apsara disambut teriakan-teriakan tak ramah dari orang-orang itu. Dua punggawa langsung menghadang mereka. Hadangan itu langsung disambut sabetan pedang dari salah satu orang Bama itu. Tampaknya akan ada pertarungan tak imbang antara empat punggawa dan sekitar 10 orang Bama yang beringas itu.
“Celaka! Nyai, diam di tempat. Jangan bergerak!” kataku, berusaha menenangkan gajah yang tiba-tiba bergerak liar. Apsara terguncang-guncang di punggung gajah. Ia bisa jatuh kalau tak segera turun atau bila gajah tak segera tenang. Tapi bila ia turun, ia bisa diserang orang Bama dan bila tidak turun akan lebih gawat lagi; ia bisa jadi sasaran empuk anak panah.
“Sebaiknya Nyai turun. Saya akan melindungi Nyai!” kataku. Apsara tak mau lekas turun.
“Kamu mau melindungi aku?” ucap Apsara dari atas punggung gajah, tak percaya.
“Lekas turun dari gajah, Nyai, saya mohon!” kataku, cemas melihat dua punggawa sudah terkapar di tanah dan dua punggawa lain tak akan mampu bertahan dalam serangan membabi buta orang-orang ganas ini.
Apsara segera melompat dari punggung gajah. Bersamaan dengan itu terdnegar erangan dan darah muncrat dari tubuh salah satu punggawa karena sabetan pedang. Satu punggawa yang tersisa segera pula tersungkur di tanah bersimbah darah.
Sepuluh orang Bama itu makin beringas melihatku dan Apsara. Dalam pikiranku sudah tergambar adegan ini; mereka menghabisi aku dan membawa Apsara pergi. Aku harus melindungi perempuan ini!
Aku meraba pinggangku. Hanya terselip sebilah pisau pemotong tali yang panjangnya hanya sejengkal jari. Apa yang bisa kulakukan dengan pisau itu melawan sepuluh orang berpedang tajam mengkilat.
Orang-orang itu tak perlu menunggu lama. Lima orang maju bersamaan menerjang aku dan sisanya menyerang Apsara. Cepat kuraih pinggang Apsara dan kupindahkan secepat kilat ke arah yang aman dari serangan. Aku bergerak cepat pula dengan pisau pendek itu, mendahului serangan pedang orang-orang Bama. Dua orang Bama berkelojotan di tanah dengan perut terburai. Dua orang lain yang mendekati Apsara segera kulibas pula dengan sekali loncatan yang bersamaan dengan gerakan tangan kiriku meraih pinggang Apsara untuk memindahkannya ke ruang aman. Demikianlah aku mencoba bertahan sambil menyerang balik melumpuhkan satu persatu musuh dengan kibasan pisau kecil.
Karena mulai kuwalahan, kuraih salah satu pedang musuh yang sudah tergolek dan kupatahkan semua serangan musuh tersisa dengan pedang mereka sendiri. Delapan orang Bama sudah kurobohkan. Kini tinggal dua orang Bama lagi, yang menatapku kesetanan, penuh amarah karena telah menyungkurkan delapan rekannya.
Aku tengah berusaha menyingkirkan Apsara dari terjangan pedang ketika aku sedikit lengah. Pedang musuh melesat tak jauh dari kepalaku. Apsara berteriak panik melihat sebuah benda terlepas dari kepalaku. Sabetan itu telah berhasil membabat tapi pengikat rambutku.
Musuh tampak senang dengan pemandangan itu. Aku tahu mereka mengira kepalaku telah lepas dari tempatnya. Pada saat itu, aku melompat ke arah dua orang ini dan kusabetkan pedang. Darah muncrat di wajahku. Pedangku lebih dahulu membabat dua orang Bama terakhir itu.
Apsara berdiri mematung menatapku. Aku melihat berkeliling.
“Nyai tidak apa-apa?” tanyaku.
“Aku tidak apa-apa……..kamu….menghabisi 10 orang Bama ini sendiri……?” Apsara bicara terbata.
“Saya dilindungi dewa-dewa, Nyai. Dan lagipula, ilmu pedang mereka payah…..” kataku; sebuah kalimat yang sebentar kemudian kusesali telah kuucapkan.
Apasara tak bicara lagi. Sejumlah punggawa dari pusat kerajaan datang ke tempat kejadian, memeriksa korban dari pihak Ayutthaya dan pihak Bama. Kepala punggawa berbicara pada Apsara. Apsara—seperti yang kuperkirakan—menjelaskan dalam bahasa Siam bahwa aku telah membabat habis orang-orang Bama itu.
Sementara sejumlah punggawa mengurus mayat bergelimpangan, empat punggawa ditugasi mengawal Apsara dan aku kembali ke padepokan.
Kali ini Apsara tak duduk di punggung gajah. Ia berjalan di sebelahku dengan sisa-sisa cipratan darah di wajah dan dadanya. Kulihat ia tak habis heran dengan apa yang baru saja dilihatnya di pinggiran hutan itu.
“Sepuluh orang Bama kau kalahkan begitu saja. Kau bergerak lincah dengan pisau dan pedang yang kau mainkan dengan mahir. Kamu membaca gerakan musuh, dan mendahului mereka menyerang dan membabat. Kau berjungkir balik seperti terbang ke sana kemari melindungi aku dari babatan pedang. Siapa kau sebenarnya, Rakandi?” tanya Apsara.
Aku tak segera menjawab. Ia menatapku nyaris tanpa kedip yang kini mungkin bertampak acak-acakan dengan rambutku yang terurai sampai ke bawah bahu.
“Tak bisakah kau jawab pertanyaanku?” kata Apsara.
“Ampun, Nyai. Tadi itu mungkin hanya naluri. Kita tadi terdesak. Pada saat terdesak, bahkan seorang tukang bersih-bersih dan pelukis kacangan seperti saya bisa melakukan apa saja. Saya bersyukur Nyai terhindar dari babatan pedang,” kataku.
“Kamu pasti menyembunyikan jati dirimu yang sebenarnya, orang Jawa. Aku yakin Tuanku Pibulwongsawat dan Yang Mulia Raja Ramathibodhi kali ini tak akan percaya kau hanyalah seorang tukang bersih-bersih”
“Semua penilaian akan saya serahkan pada kedua yang mulia itu, Nyai. Apalah saya ini,” aku menangkupkan kedua tangan menyembah. “Saya hanya beruntung siang ini!”
***
Pibulwongsawat dan Raja Ramathibodhi kembali lebih awal dari patroli ke utara. Aku diminta untuk menghadap raja bersama Pibulwongsawat dan Apsara. Seperti biasa, Apsara menjadi juru bahasa.
“10 keping emas untukmu, orang Jawa!” tutur raja Ramathibodhi ketika aku menerima sekantung logam dari nampan yang disodorkan punggawa. “Serangan orang-orang Bama itu bukan hal yang enteng. Selama ratusan tahun negeri Siam diincar oleh keberingasan kerajaan Bama. Hari itu kau telah memberikan pelajaran kepada orang-orang Bama bahwa orang Siam Ayutthaya tak bisa disentuh begitu saja. Terimalah ucapan terimakasih dari saya”
“Ampun paduka raja Yang Mulai. Semuanya hanya kebetulan dan keberuntungan. Dewa Brahma dan Wishnu selalu melindungi saya,” kataku.
“Janganlah kau merendah seperti itu dan yang lebih penting lagi…janganlah kau mencoba menutupi jati dirimu. Dengan pisau pendek kau bisa memberangus habis 10 orang Bama berpedang. Katakanlah kau ini seorang pendekar Jawa bukan?” nada suara Raja Ramathibodhi meninggi.
“Mohon ampunkan hamba, paduka. Hamba terdesak saat itu, dan saya lihat Nyai Apsara dalam bahaya. Saya nekad dan saya beruntung,” kataku.
“Oo, begitu. Sekarang mendongaklah dan tatap mata saya!” titah Raja Ramathibodhi. Perlahan aku mengangkat kepala. Ini kali pertama aku diperkenankan menatap raut Raja Ramathibodhi dalam waktu yang cukup lama. Pada saat itu, sekilas terdengar desing cepat ke arahku. Aku tak sempat berkedip. Aku memekik. Sebilah pisau pamungkas menggores lengan kananku. Kulitku tercabik dan berdarah hebat. Apsara menatapku dengan kuatir.
Pibulwongsawat melemparkan secarik kain pembungkus. Menaham nyeri aku menyeka darah dan membungkus luka menganga di lengan kanan. Aku tahu ini ujian dari raja. Seorang pendekar Ayutthaya sengaja diperintahkan untuk menyerangku untuk melihat apakah aku sigap menghadapi serangan pisau terbang. Aku tahu baik raja dan Pibulwongsawat faham aku tak lihai menghadapi serangan cepat dalam keadaan aman seperti itu.
Raja Ramathibodhi terdiam beberapa saat, dan kemudian berbicara lagi.
“Baiklah, orang Jawa. Untuk ke sekian kalinya aku percaya pada keberuntunganmu. Dan untuk sementara aku simpulkan kau orang biasa, bukan seorang pendekar Jawa yang diutus memata-matai Ayutthaya. Sekarang pulanglah dan urus lukamu. Dan terus ingatlah kata-kataku. Sekali ketahuan kau adalah mata-mata Jawa, aku sendiri yang akan memenggal kepalamu! Ini pesanku yang terakhir"
***
Selama beberapa hari setelah kejadian serangan orang Bama itu, aku dipandang orang-orang di sekelilingku bak seorang pahlawan. Mereka bicara padaku penuh kagum dan masih terheran-heran bagaimana ‘pisau dapur’—seeperti kata mereka—bisa mengalahkan 10 pedang perang orang Bama. Sungguh aku tak enak dengan situasi ini, terutama bila berhadapan dengan Apsara terus menampakkan raut tak percaya bahwa aku hanyalah rakyat jelata.
Dan siang itu Apsara menerima lukisan dirinya lengkap dengan bingkai terpasang rapi dari aku.
“Lukisan yang indah. Aku akan persembahkan pada tuanku Pibulwongsawat nanti malam,” ujar Apsara menatap lekat lukisan dirinya; sebuah gambar diri yang benar-benar menampakkan kecantikan asli perempuan penerjemah, istri ketiga kepala keamanan kerajaan Ayutthaya.
“Luka lenganmu bagaimana?” tanya Apsara.
“Tidak masalah. Ramuan tumbukan dedaunan yang dibuat emban sungguh mujarab. Luka ini pasti sembuh tak beberapa lama lagi. Dan terimakasih pula atas hadiah pengikat rambut dari Nyai,” aku menunduk sopan.
“Akupun belum mengucapkan terimakasih atas pertolonganmu, Rakandi. Dua kali kau menyelamatkan hidup saya,” kata Apsara.
“Tidak perlu berterimakasih, Nyai. Suatu saat Nyai juga nanti akan menyelamatkam hidup saya,” kataku.
“Maksudmu?”
“Manusia saling tolong menolong, Nyai, dan datangnya kesempatan itu seperti sudah diatur oleh dewa-dewa. Kita tidak akan pernah tahu kapan kita punya kesempatan untuk menjadi berarti bagi orang lain. Saya beruntung sudah dua kali diberi karunia bisa menjadi orang yang menyelamatkan hidup Nyai”
Apsara tak menimpali jawabanku. Ia hanya menatapku lekat beberapa saat, kemudian berbalik dengan lukisan berbingkai ke ruangan dalam. Lambaian rambut panjangnya, dengan bahu bersih yang bergerak dengan alunan tubuh, serta harum bunga kenanga yang ia tinggalkan menuntunku untuk berpikir betapa beruntungnya Pibulwongsawat malam ini menerima hadiah ulang tahun lukisan bersama kecantikan dan keindahan nyata itu di peraduan.
(BERSAMBUNG KE SINI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H