Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Sang Penterjemah (5)

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sang Penterjemah (4) bisa dibaca di sini

Kerajaan Ayutthaya, Siam, tahun 1368 Masehi

Entahlah aku demikian bersemangat bangun pagi itu. Kuguyur tubuhku dengan air dari gentong di pelataran mandi saat matahati masih belum nampak. Kukenakan pakaianku satu-satunya yang kalau tak salah belum pernah tercuci selama 6 kali matahari tenggelam.

Aku langsung menuju ke kandang gajah dan mulai membersihkan gajah kesayangan Apsara. Si gajah menyuarakan lengkingan kecil saat mulai kuelus belalainya. Ah, rupanya ia menyukai kahadiranku pagi.

Rekanku sesame perawat gajah baru datang menjelang matahari hadir di ufuk timur.

“Sawadi khap!” sapanya. Aku membalas dengan ucapan yang sama. Ia kemudian menyibukkan diri dengan gajah-gajah yang lain.

Kugiring gajah Apsara ke pelataran depan ketika matahari mulai merangkak naik dengan semburat sinar merahnya. Baru saja rampung kupasang pelana ketika Apsara dan emban setia muncul dari pintu gerbang padepokan. Oh, segar dan cantik nian perempuan Siam ini pagi ini. Senyum kecil bertahta di bibirnya saat melihat si gajah sudah siap ditunggangi.

Dua punggawa membantu Apsara naik gajah, dan satu punggawa lagi siap menuntunnya. Emban diminta turut naik di gajah Aspara. Emban duduk takzim di belakang Apsara. Tatkala gajah mulai melangkah, desir angin pagi melambaikan rambut Apsara. Bisa kubayangkan wangi bunga kamboja tertebar dari lehernya.

Aku dan punggawa lain berjalan mengiringi gajah, mulai menyusuri sungai . Di kejauhan terlihat beberapa biduk kecil pencari ikan.

Iringan satu gajah dan sejumlah punggawa berjalan kaki itu berjalan perlahan di sepanjang pinggiran sungai. Apsara rupanya sangat menikmati wisata kecil sepanjang sungai itu. Ia tak banyak bicara kecuali menatap hamparan air sungai keruh yang menghanyutkan berbagai potongan dahan kayu dari hulu sungai.

Kami kemudian sampai di sebuah hutan lebat di sepanjang pinggiran sungai, dengan pepohonan rapat yang membuat pemandangan ke arah sungai sedikit terhambat. Apsara minta berhenti dan memerintahkan emban membongkar bawaan, yang rupanya adalah bekal sarapan untuk semua anggota rombongan.

Ketan dengan parutan kelapa itu terasa nikmat di pagi yang masih menyisakan semilir sejuk. Apsara duduk pada sebuah bangku kayu yang agaknya sudah menjadi tempat duduk tetapnya setiap kali berkunjung ke kawasan ini. Bangku kayu itu terletak sedikit di dataran tinggi yang bisa melihat hamparan sungai di kejauhan. Kami makan lahap. Para punggawa bersendagurau saling ledek. Aku sendiri tak tahu harus apa, kecuali ikut-ikutan Apsara menatap permukaan air sungai di kejauhan.

Apsara membasuh tangan membersihkan sisa-sisa makanan dari mata air kecil di sekitar situ. Ia kemudian berbicara kepada emban. Emban manggut-manggut. Apsara berjalan perlahan menjauh dari para punggawa. Aku menatap emban. Emban seperti tahu aku ingin bertanya Apsara hendak kemana.

Emban berbicara dalam bahasa Siam yang aku tak faham. Emban berwajah bulat dengan rambut digelung ke atas itu terkekeh menatap wajah bodohku.

Apsara sudah berjalan sendiri cukup jauh ketika ia berteriak.

“Pemuda Jawa, kemarilah!”

Aku berdiri mematung dan kupastikan Apsara bicara bahasa Jawa, dan bicara padaku.

“Saya, Nyai?”

“Ya, kamu. Kemari segera! Memangnya ada orang lain yang bicara bahasa Jawa di sini?”

Tergopoh aku menghampiri Apsara. Dia tak berhenti melangkah.

Aku berjalan beberapa depa jaraknya dari Apsara, dan ini kurasa inilah adat yang tepat untuk berjalan dengan perempuan yang derajadnya lebih tinggi daripada seorang perawat gajah.

“Ceritakan padaku tentang perempuan dinegerimu,” ujar Apsara.

“Perempuan di negeri saya, umumnya sama dengan di sini, hanya saja, kulit mereka lebih gelap daripada kebanyakan perempuan di sini,” kataku.

“Kulit gelap? Itu bagus. Aku suka kulit gelap,” kata Apsara. “Pasti cantik-cantik!”

“Benar, Nyai. Perempuan Majapahit hampir semuanya menarik. Saya suka membuat lukisan perempuan Majapahit”

“Melukis?”

“Ya, melukis di atas pelepah daun kelapa yang diratakan”

“Pakai apa?”

“Digoreskan dengan serabut kelapa, bahan pewarnanya macam-macam, bisa campuran tanah liat untuk mendapatkan warna coklat dan merah, tumbukan arang untuk warna hitam, tumbukan kulit kerang sungai untuk warna putih. Semua bisa!”

“Hm!”

“Boleh saya, tanya, Nyai?” aku tetap mengambil jarak di belakang Apsara.

“Apa?”

“Saya lihat semua perempuan di sini pakai menggelung rambut dan mengikatknya di atas. Sedangkan rambut Nyai tidak digelung ke atas”

Apsara berhenti berjalan dan menatapku sejenak.

“Kenapa kau bertanya?”

“Hanya ingin tahu, Nyai”

Apsara berjalan lagi.

“Tuanku Pibulwongsawat suka melihat rambutku tergerai. Istri pertama dan kedua, rambutnya biasa digelung ke atas bila sedang berada di depan umum”

“Nyai sendiri suka rambut terburai?”

“Ya! Lebih enak begitu. Coba kau lihat kalau rambutku kugelung,” Apsara mengangkat kedua lengan dan menggulung rambutnya.Jengah aku melihat bidang ketiak dan dadanya.

“Menurutmu, mana yang lebih baik, rambutku terburai atau tergelung?” tanya Apsara, berdiri di hadapanku dengan rambut tergelung rapi, diikat dengan akar serabut yang ia temukan di rerumputan.

Aku menatapnya sesaat.

“Maaf, Nyai. Kalau saya jawab, saya takut dipenggal!”

Apsara tertawa renyah.

“Katakan, tak ada yang mendengar, selain aku!”

“Tapi Nyai melarang saya memuji”

“Jadi kau hendak memuji?”

“Bukan memuji, hanya mau memberi jawaban jujur!”

Apsara tergelak lagi. “Kamu lucu, pemuda Jawa!”

Aku diam tak bergerak, pikiranku lebih terserap pada gerakan jatuhnya rambut Apsara yang kembali diburaikan. Awut-awutan, tapi lebih memberinya sentuhan kecantikan alami yang menggoda.

Apsara berjalan kembali, aku menyusulnya. Pada saat itu, emban tergopoh menyusul, dan berbicara dari kejauhan.

“Tuanku Pibulwongsawat datang. Aku harus kembali,” kata Apsara menerjemahkan hasil pembicaraan dengan emban. Apsara berbalik arah.

Aku dan emban berjalan beriring di belakang Apsara ketika tiba-tiba, kaki Apsara terantuk batu. Tubuhnya oleng, dan rebah ke tanah. Bersamaan dengan itu, dari bawah daun-daun kering seekor ular dengan kepala tegak sudah berada tak jauh dari leher Apsara, siap menyerang. Rupanya ular itu tersenggol tubuh Apsara ketika ia terjerembab ke tanah. Kuperkirakan tak akan ada cukup waktu bagi Apsara untuk menghindari patukan ular itu.

Sigap aku melompat, mendorong tubuh Apsara jauh-jauh dan menangkap ular itu persis di lehernya. Ular kecoklatan dengan bagian bawah moncong berwarna kuning itu menggelepar dalam genggamanku, dan segera kulempar jauh-jauh.

Emban membantu Apsara berdiri.

“Oui, itu ngu gap kha, ular paling berbahaya!” seru Apsara. “Kau telah menyelamatkan hidupku, pemuda Jawa,” Apsara menatapku, mengelus lehernya sendiri yang pasti kena patuk ular kalau aku tak segera menangkap ular nakal itu.

“Nyai masih dilindungi dewa-dewa,” hanya itu yang bisa kuucapkan.

(BERSAMBUNG KE SINI)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline