Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Perempuan dari Malmedy 31 : Pengakuan Riri

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13337941101049569829

EPISODE 30 : UDARA BEBAS! Bisa dibaca di sini

EPISODE 31 : PENGAKUAN RIRI

”Kenapa?” tanya Pitra.

”Pagi ini ada pertunjukkan seni dan tari orang-orang gipsy di pertokoan Hoog Chatarijne, persis di atas stasiun kereta api Utrecht,” ujar Karin.

Pitra dan Karin berpandangan. Tampak raut cemas di wajah Karin. Tapi, saat itu, Riri tiba-tiba merintih kesakitan.

”Aduh! Kepalaku...”

Karin meraih lembut kepala Riri. Telapak Riri bersimbah darah segar. Riri bertambah gawat. Lewat mata, Karin minta Pitra segera melakukan sesuatu.

”Riri harus mendapat pertolongan. Aku cari telepon. Kau jaga Riri dulu, Karin!”

”Oke! Cepatlah!”

Pitra bergegas. Ia menyambar salah satu lampu baterei, kemudian naik tangga ke atas. Tak lama ia mencari tempat sepeda disandarkan, dan cepat Pitra memasang kembali lampu baterei di dekat stang kemudi sepeda. Sesaat kemudian Pitra menggenjot sepeda menembus jalan setapak terseok-seok menuju jalan yang lebih besar.

”Kuatkan hatimu, my friend!” ucap Karin membelai rambut Riri sembari menahan derain darah dari luka dengan kain yang ia sobek dari bajunya. Air mata Riri meleleh di pipi. Wajahnya tetap pucat menahan sakit.

”Ini semua salahku,” gigi Karin gemeletuk. Ia mulai sadar makin banyak orang menjadi korban. hatinya sedih sekali.

Karin sedikit terhibur tatkala Zaldy bergerak bangun. Ia memegang kepalanya sendiri.

”Setan gundul! Dunia seperti berputar-putar. Dimana ini?” Zaldy meringis menatap Karin.

”Rebahan dulu, Zal. Kau baru siuman dan minum air terlalu banyak. Pitra tengah mencari pertolongan,“ ujar Karin.

“Karin, itu kau?“ tanya Zaldy, masih meringis menahan pusing.

”Ya”

”Syukurlah. Kukira ini di surga, ”komentar Zaldy. ”Riri tak apa-apa?”

”Payah. Kondisinya mengkhawatirkan. Kepalanya berdarah dan ia tampak sangat menderita”

Zaldy hendak bergerak menengok Karin. Tapi masih seperti ada komidi putar bergerak di kepalanya. Ia kembali rebah.

”Ya, terakhir aku melihat sebuah lempengan dinding batu menghantamdari atas di air itu,” Zaldy mengingat-ingat.

Karin tadinya hendak mencoba memindahkan Riri ke tempat yang lebih baik dan lebih hangat. Tapi naik 8 meter ke atas sana dengan seorang yang cedera bukan usaha main-main. Ia khawatir Riri makin parah, sementara ia tak mungkin mengandalkan bantuan Zaldy.

Lama Karin Cuma bisa memandangi mata Riri yang terpejam. Nafas gadis ini mulai tak teratur. Bibirnya sedikit-sedikit mengeluarkan rintihan yang lebih merupakan upaya menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Beberapa bagian tubuh Riri memang membiri lebam. Sedikitnya Karin memeriksa ada sepuluh bagian kulit yang terkelupas dan tergorea. Sepertinya ini luka lama sebelum menerobos lorong api itu.

Berkali-kali Karin ke menatap ke arah Pitra pergi. Ia sangat berharap Pitra segera datang dengan kabar pertolongan.

Hati perempuan Malmedy ini demikian pilu. Sungguh tak enak ia menjadi biang penderitaan teman-teman Indonesia yang tidak berdosa ini. Sementara itu sendiri ia tak bisa membayangkan apa yang mulai dikerjakan Inrenanu dengan orang-orang gipsy menjelang pagi di kota Utrecht nanti. Diam-diam Karin berpikir, apa sebenarnya yang tengah ia perjuangkan?

Karin mendekap Riri dan memperhatikan Zaldy dari jauh. Pemuda belia itu tampak pulas. Atau mungkin tengah merasakan kepala yang berdenyut-denyut. Tapi Riri benar-benar menampakkan keadaan yang makin kritis. Darah terus mengucur dari kepala dan wajahnya makin pucat.

Untunglah kemudian Pitra tiba. Sebuah sinar terlihat dari kejauhan di atas sana. Sepeda Pitra berjalan meliuk-liuk di rerumputan. Ia melemparkan sepeda begitu saja dan berteriak ke dasar kanal.

”Karin!”

”Pitra. Bagaimana?” teriak karin dari bawah. Tak sabar Pitra menuruni tangga.

”Aku tak punya sekeping uang logampun buat menelepon. Tapi aku berhasil menggedor rumah orang dan pinjam telepon di pinggiran kota Wageningen, cukup jauh dari sini. Mudah-mudahan ambulans segera datang!” ungkap Pitra panjang lebar, ”Bagaimana Riri dan Zaldy?”

”Zaldy sudah siuman. Tampaknya tak parah. Tapi Riri...” Karin memalingkan muka ke arah Riri.

Pitra memeriksa Riri. Nafas Riri mulai tampak terputus-putus. Dan ia wajahnya makin pias saja.

”Kenapa lama betul ambulans itu?” gerutu Pitra. ”Sebaiknya aku ke atas, agar mereka segera tahu manakala mereka datang,” Pitra bergegas lagi naik.

Agak lama ia menanti. Ia sudah hendak turun kembali manakala dari kejauhan sepasang lampu mobil menyorot di antara perdu liar dan pepohonan kecil. Mobil ambulans itu tampaknya harus menerabas tanaman liar sebelum mencapai tempat Pitra melambai-lambaikan tangan.

Sebentar kemudian, mobil ambulans itu mengerdipkan lampu tanda memahami sinyal Pitra, dan berhenti agak jauh dari pinggiran kanal. Dua orang cepat mengeluarkan tandu angkut dan dua orang lain menyiapkan perlengkepan yang biasa digunakan untuk menarik penderita kecelakaan di jurang. Karin lega para penyelamat itu bergerak cepat.

”Snel, kom hier!” teriak Pitra dalam bahas Belanda, meminta agar orang-orang itu lekas datang. Setengah berlari ke empat orang itu menghampiri Pitra.

”Mijn God! Tempat apa ini?” salah seorang dari petugas itu menyorotkan lampu seratus watt ke bawah.

”Ini kanal jebol. Cepatlah. Temanku kritis sekali dibawah sana,”kata Pitra.

Ja...ja, zeker!’ petugas itu sigap menurunkan tangga darurat dan sejumlah tali. Dua petugas memeriksa Riri, kemudian membalut gadis itu dengan selimut tebal dan menaikkanya kesebuah tandu. Dua orang lain yang tinggal di atas menggereknya hati-hati ke atas.

Sementara itu, Karin minta seorang petugas lain memeriksa Zaldy. Setelah sedikit perawatan, Zaldy tampakmelek kembali. Ia bangkit dan menggoyangkan kepala.

”Bagaimana keadaanmu?” tanya Karin.

”Agak baikan. Pusing sedikit lenyap,” jawab Zaldy.

”Syukurlah. Riri sudah masuk ambulans. Ayo kubantu kau naik ke atas sana”

”Naik? Memangnya kita di mana?’

”Di dasar sebuah kanal. Dan dasar ini adalah atap ruang bawah tanah itu,” Karin membantu Zaldy berdiri dan menanti petugas membantu naik.

Sementara itu, dia atas sana Pitra sibuk membantu petugas menangkat tandu Riri ke mobil ambulans. Riri tetap tak bergerak, dan pipa infus menancap di lengan.

Pitra tak habis-habisnya khawatir. Riri makin pucat dan wajahnya kaku. semoga tak terjadi apa-apa yang serius pada mbak ini, ia berharap.

”Maaf, mobil hanya cukup untuk dua orang di belakang,” uajar petugas saat Riri dimasukkan mobil, dan Pitra kelihatan ingin menyertai.

”Oke...oke! Saya turun,”kata Pitra

”Pit...,” tiba-tiba terdengar suara Riri memanggil.

”Mbak Riri, Pitra menyingkirkan salah seorang petugas dan datang mendekat,”Mbak Riri...”

”Pegang tanganku, Pit. Dingin sekali,” pinta Riri, lirih sekali. Pitra menggenggam jemari Riri. Bibir Riri bergetar pelan.

”Mau memberiku maaf?” Riri menggenggam erat lengan Pitra, seolah mencari kehangatan di telapak tangan Pitra.

”Maaf?” tanya Pitra, memandang mata Riri yang teramat kuyu.

”Ya, aku punya sebuah rahasia. Mau mendengar?” tanya mbak ini di sela sengal-sengal nafasnya yang belum teratur. Pitra mengangguk.

”Kau tahu aku sangat mencintai Titon?” tanya Riri.

”Saya tahu,” jawab Pitra.

”Bagaiman kau tahu?” tanya Riri lagi

Pitra tak bisa memberi jawaban.

”Aku tahu kau tak yakin pada jawabanmu. Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku mengundangmu ke tempat tidurku kalau aku benar-benar mencintai tunanganku itu,” kata Riri terputus-putus.

”Sudahlah, mbak. Mbak Riri tak boleh banyak bicara”

Riri berusaha menatap Pitra.

”Tunanganku Titon itu...gay....homoseks,” tutur Riri perlahan Pitra tersentak.

”Tapi Titon amat mencintaiku. Ia ingin kembali normal. Ia ingin bisa mencumbuku. Ia sangat keras berusaha, dan...ia berhasil,” mata Riri berbinar-binar.

”Mas Titon berhasil?”tanya Pitra.

”Ya, berhasil. Ia sanggup mencumbuku seperti seorang pria normal asal aku melakukan itu dengan orang lain terlebih dahulu,” ujar Riri tersendat-sendat. Air matanya melelh.

Pitra tersentak. Nyaris tak mempercayai omongan Riri.

”Aku melakukannya denganmu agar bisa membangkitkan gairah Titon,” isak Riri. ”Ia juga bisa mencumbuku apabila aku membiarkannya menyiksaku terlebih dahulu,” bibir Riri bergetar.

”Jadi, seringkah mas Titon mengahajar mbak Riri bila ia ingin mencumbu mbak Riri?”

”Ya”

”Itukah sebabnya mbak mendatangi saya di ruang bawah tanah itu?” tanya Pitra.

”Ya. Titon minta aku mendatangimu agar kau mencumbuku. Dia sengaja pula membiarkan aku melewatkan malam di flat Spreeuwlan bersamamu tempo hari. Oh, aku amat mencintainya, Pit. aku mau melakukan apa saja demi dia,” tangan Riri bergetar di genggaman Pitra.

Pitra terpana sesaat. Matanya menatap Riri dengan pandangan iba. Inilah sebetulnya jawaban atas misteri gejolak cinta Riri yang tak kunjung diketahui. Ia tahu betul Riri kini tengah berharap.

Pitra memandang Riri dan mengangguk. Tak ada alasan untuk berkata tidak, meski Pitra sedikit terguncang juga atas pengakuan Riri.

Riri tersenyum mendapatkan ketulusan yang terpancar dari wajah Pitra. Air mata masih merambat di pipi.

”Ia harus dibawa segera!” petugas menyela Pitra, ”Rumah SkitAZU, Academisch Ziekenhius Utrecht, ”ujar petugas bersiap menutup pintu. Pitra melepas genggaman Riri.

”Lekas sembuh, mbak! Nanti aku segera datang menengok,” Pitra menatap Riri. Gadis itu mengangguk. Tapi kemudian bibirnya bergetar menahan rasa sakit.

Sesaat kemudian mobil bergerak meninggalkan Pitra yang berdiri mematung. Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar derak gemuruh tak jauh dari Pitra. Pitra menoleh. Ia terpana menatap tanah tanah yang berguncang keras.

Perlahan tapi pasti kincir kuno itu luruh dan ambrol membentuk kepingan-kepingan kecil. Pecahan tembok bertebaran di sekeliling. Bagian kincirnya terlepas dan ringsek begitu menyentuh tanah. Benar-benar seluruh bagian dari ruang rahasia buatan Smallstone sudah lebur. Dan kincir kuno yang semula terluhat angker ini kini bagai Cuma purukan sisa-sisa bangunan yang kena badai gempa bumi.

Bau tanah dan aroma bagian dalam bangunan yang apek menyundut hidung. Pitra terpana sesaat. Tapi kemudian ia ingat sesuatu.

”Zaldy!...Karin!”

Pitra berlari ke arah bibir kanal. Ia bersyukur melihat Zaldy berdiri di sana, memandangi reruntuhan kincir dengan mata tak percaya. Tapi hanya Zaldy berdiri mematung di sana. Tak ada Karin.

”Zaldy? Kau tak apa-apa?’ tanya Pitra.

”Seperti yang kau lihat. Aku tegak. Pusing berangsur-angsurlenyap. Itulah sebabnya paramedis rumah sakit tak membawaku serta,“ Zaldy tersenyum.

“Karin mana?“

“Lho, ia tak bilang padamu?“ Zaldy balik bertanya.

“Aku sedang bicara dengan Riri barusan“

”Well, ia pergi diam-diam. Katanya, Inrenanu pasti sedang menuju ke stasiun Utrecht. Ada pertunjukkan kesenian gipsy pagi ini. Inilah sasaran Inrenanu dari kebangkitannya setelah tidur selama setengah abad,” jelas Zaldy panjang lebar.

”Kenapa tidak bilang padaku?” Pitra geram.

”Karin berpesan ini bagian yang harus ia selesaikan sendiri. Ia tak ingin melibatkan kita lagi,” tukas Zaldy.

”Gadis bebal!” omel Pitra.

”Mbak Riri bagaimana?” tanya Zaldy.

”Entahlah. Aku berharap dia bisa diselamatkan. Ia telah kehilangan Titon. Dan Karin, si bengal itu...kenapa ia pergi diam-diam?” Pitra masih gusar.

”Dia enggan dibantu, Pit. Ia mersa terlalu banyak merepotkan kita. Berilah ia kebebasan bergerak,” ujar Zaldy.

”Tapi berbahaya baginya bergerak sendiri. Rahasia kekuatan Inrenanu masih belum diketahui,” berondong Pitra. ”Aku mau susul dia. Jam lima pagi sekarang,” Pitra melihat arloji.

”Terlebih dahulu, aku bawa kau ke rumah sakit” kata Pitra.

”Aku baik-bai ksaja, aku benci rumah sakit” kata Zaldy.

”Kalau begitu aku antar kau pulang!”

”Tidak bisa. Aku ikut kau!” otot Zaldy.

”Aku tidak mau kau terlibat lagi!” Pitra melotot.

”Apa alasanmu? Kalau kau terlibat terus, kenapa aku tidak? Kau pikir selama ini aku membebanimu?” Zaldy berkacak pinggang. Pitra menatap Zaldy. Ternyata ia punya dua teman yang bengal.

”Ini berbahaya. Kau sebaiknya pulang,” uajr Pitra bersabar.

”Apa kau tahu route jalur sepeda ke Utrecht yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari sini?” otot Zaldy.

”Itu bisa kuatasi!”

”Tapi, Pit!”

”Tidak ada tapi-tapian,”sela Pitra.

”Setidaknya kau masih butuh informasiku,”cerocos Zaldy. ”Asal tahu saja, Inrenanu saat ini tengah mendatangi stasiun kereta api Utrecht yang juga bergabung dengan pusat perbelanjaan Hoog Chatarijne, sebuah tempat paling ramai di Utrecht. Di stasiun juga sedang berlangsung pameran koleksi kereta api kuno dalam rangka seratus lima puluh tahun perkeretaapian Belanda. Kau bisa bayangkan berapa korban jatuh bila Inrenanu mengamuk?” Zaldy meberondong.

”Apa kau pikir kau bisa mencegah Inrenanu?” potong Pitra.

”Apa kau bisa?” tukas Zaldy. Pitra terdiam.

Zaldy kemudian menepuk bahu Pitra, dan meraih stang sepeda yang tergolek di rumput. Embun membasahi logam sepeda itu.

”Aku tahu jalan sepeda terdekat ke Utrecht. Kau kemudikan sepeda, aku duduk di belakang. Kita susul Karin bersama-sama, oke?” Zaldy menatap Pitra. Pitra terpana sesaat. Ia menyapukan pandangan ke arah kanal dan ke reruntuhan kincir kuno. Rembang merah matahari panas mulai membentuk warna-warna menyala suram di timur.

Sesaat kemudian, Pitra alih stang sepeda, dan berucap.

”Oke, bocah bebal! Duduk baik-baik di boncengan, dan katakan jalan mana yang terdekat ke Utrecht!”

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline