Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Perempuan dari Malmedy 18 : Karin dan Busana Pesta nan Sexy

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1328687842322597113

EPISODE 17 : MBAK RIRI YANG PANAS bisa dibaca di sini

EPISODE 18 : KARIN DAN BUSANA PESTA NAN SEXY

Serta merta Fred maju dan mencengkeram Zaldy.

”Berani sekali lagi kau bilang aku seperti kambing, kutembak jidatmu,” Fred meradang. Mukanya merah. Zaldy melepaskan cengkeraman Fred.

”Gila orang ini! Ia ngerti bahasa Jawa!” umpat Zaldy membetulkan letak kerah setelan jasnya. Fred undur beberapa langkah. Karl minta Fred bersabar sedikit.

”Kalian diperintahkan untuk berlaku baik pada kami, bukan?” Pitra maju beberapa langkah, ”Nah, tak usah kalian hiraukan kami ngomong apa. Tapi saya salut juga kamu bisa menangkap bahasa Jawa. Dimana kamu belajar bahasa yang indah itu, Fred?”

Fred tak membuka mulut. Karl yang tampak lebih tenang mengisyaratkan agar mereka segera mengikutinya keluar ruangan.

Zaldy dan Pitra berjalan dengan pengawalan agak ketat dari Fred dan Karl yang seolah ingin santai tapi tetap siaga dengan pistolnya. Barangkali, mereka perlu waspada lantaran dua orang Asia yang mereka kawal ini bisa saja mempecundangi mereka seperti yang sudah-sudah.

Lantaran baru mandi air hangat dengan sabun beraroma limau dan shampoo berconditioner buatan Prancis, terus terang Pitra merasa lebih segar, apalagi setelah ganti baju selengkapnya. Cuma Zaldy yang sepertinya tak mampu menikmati aroma segar itu. Ia sangat tak senang saja mata Karl dan Fred terus gerak-gerik mereka.

”Sebetulnya, Pit. Ini pesta macam apa?” tanya Zaldy, dengan bahasa Jawa, nyaris berbisik.

”Entahlah. Yang jelas aku sama sekali tak gembira. Semakin Smallstone mampu menunjukkan keleluasaan bagi kita, semakin kecil kemungkinan bagi kita untuk selamat. Ini termasuk cara dia untuk membunuh kita secara perlahan,” jawab Pitra.

”Apa kita bisa berhasil, Pit?”

”Embuh! Jumlah orang yang berada di sinipun tak kita ketahui. Kegiatan mereka, kekuatan mereka, niat-niat jahat mereka, belum kita ketahui juga. Aku sendiri tak tahu apa yang harus kulakukan.”

”Waduh!”

”Kenapa ’waduh’?”

”Seandainya kamu jagoan dalam sebuah film dan kamu ngomong begitu, aku pasti pulang sebelum film bubar,” kata Zaldy.

”Kenapa?”

”Sebab kalau jagoan macam kau nanti menang, pasti bakal terlalu banyak adegan tak masuk akal yang dilakukan sang jagoan buat menang”

Pitra tersenyum.

”Kamu betul! Tapi, kalau sudah terlanjur masuk perangkap begini, tak buruk kalau kita mencoba. Kalau kamu banyak akal dan cerdas, kita bisa lolos. Nah, dasiku sudah bagus duduknya?” kata Pitra.

Zaldy melirik ogah-ogahan. ”Sulit dipercaya, kita diundang ke pesta untuk ditunjukkan bagaimana kita nanti mati,” Zaldy berubah murung.

”Minimal kita mati pakai setelan jas, Zal!”

Pitra merengkuh bahu Zaldy, ”Dan sekarang kita punya dua kacung yang setia,” Pitra melirik Fred dan Karl yang membuntuti mereka dari belakang. Zaldy tersenyum kecut.

***

Lebih dari lima menit mereka menyusuri koridor berkelok-kelok sebelum mereka sampai ke pintu-pintu masuk yang digerakkan secara elektronis. Tak jelas bagaimana pintu-pintu itu terbuka. Yang terang, pintu-pintu itu terbuka secara otomatis dua meter sebelum mereka menjangkau pintu. Pitra menghitung lebih dari tiga pintu sebelum mereka sampai ke sebuah pintu utama yang harus ditempuh bila ingin melarikan diri.

Fred dan Karl melepaskan pengawalan begitu Pitra dan Zaldy berhenti pada sebuah ruangan benderang yang berisi berbagai macam barang. Pitra mengamati dengan teliti. Ruangan ini bisa dibilang luas. Mungkin 25 x 25 meter persegi, atau lebih. Dinding ruangan terbuat dari beton yang kokoh dan berwarna cerah. Ada lebih dari 30 lampu tergantung di atas. Zaldy menengadah, memperhatikan setiap sudut ruangan. Ia heran kenapa persis di langit-langit bagian tengah tak tergantung sebuah lampupun, kecuali sebuah bentangan semacam layar proyektor berwarna putih bersih dengan pinggiran hitam.

Di bagian tengah ruangan, sebentuk panggung selebar 1,5 x 2 meter setinggi satu meter dibiarkan kosong, berwarna keperakan dan terbuat dari metal. Pitra baru menyadari lebar panggung itu sama dengan layar putih yang membentang persis di atasnya.

Panggung berwarna perak itu dikelilingi oleh sepuluh buah peralatan mirip kamera video-film, dengan lensa yang memanjang ke depan. Kesepuluh lensa itu ditata dalam jarak yang sama, sekitar 10 meter jauhnya dari panggung perak. Semua lensa menyorot ke arah panggung perak. Sebuah lensa lain yang lebih panjang dan lebih tinggi serta lebih lengkap berdiri di sebuah ujung di antara jajaran ke sepuluh lensa berbentuk teropong itu. Sama sekali Pitra dan Zaldy tak paham fungsi peralatan-peralatan aneh di ruangan itu. Mereka juga tak paham untuk apa 3 set komputer diletakkan tak jauh dari lensa-lensa itu.

”Panggung itu tak cukup luas untuk sebuah pertunjukkan drama,” gumam Pitra, mencoba menerka fungsi panggung dan lensa-lensa itu.

”Kalau buat pertunjukkan tari bugil, mungkin pas,” Zaldy bicara sekenaknya, ”Lensa-lensa itu bertugas menyoroti bagian-bagian penting dari tubuh sang penari”

”Makin ngawur saja kamu. Eh, dari tadi cuma kita berada diruang ini. Undangan macam apa ini, tak ada penyambutan?” Pitra melihat berkeliling. Fred dan Karl tak terlihat juga.

”Betul, tapi aku mendengar suara pintu terbuka,” Zaldy menoleh ke arah pintu masuk.

”Amboi! Kau lihatkah itu?” Zaldy melotot ke arah pintu. Ruud berjalan mengiringi Karin yang didandani demikian memukau dengan pakain bawah yang tak lengkap menutupi kakinya. Busana bawah berwarna kelam demikian tingginya dari lutut. Dan kalau saja busana atas tak dilengkapi sebangsa jaket, Karin pasti kedinginan dengan seperempat dadanya terbuka lebar. Pitra menetap Karin lekat. Dalam hati Pitra mengakui, sungguh baru kali ini ia melihat Karin demikian cantik.

”Sudah kuduga, Ruud pasti konsultan busana jempolan. Karin cakep sekali malam ini dengan pakaian pendek itu. Kulitnya bersih. Ck ck ck,” desis Zaldy, sulit menyembunyikan komentarnya. .

”Hentikan omongan ngaco itu,” hardik Pitra. Zaldy nyengir.

”Kamu nggak pinya selera humor, rupanya,” seloroh Zaldy. Pitra mengalihkan perhatian pada Karin.

”Karin, kau baik-baik saja?” tanya Pitra. Ia khawatir jangan-jangan Ruud sudah berlaku kurangajar selama bersama Karin tadi.

”Ternyata orang-orang ini tidak perlu dikuatirkan. Selera mode mereka boleh juga, dan tak seorangpun berlaku kurang ajar. Ketika aku mandi dan ganti pakaian di ruang yang agak terbuka, mereka melirikpun tidak,” kata Karin.

Zaldy mendengus, ”Begitulah perempuan, tampak sedikit lebih cantik saja, mereka sudah lupa sedang berhadapan dengan bahaya,” celetuk Zaldy dalam bahasa Jawa.

”Tapi dia memang cakep, kok!” tukas Pitra.

”Kamu juga bakal begitu. Kalau Karin memuji kamu, kamu pasti lupa diri,” kata Zaldy lagi.

Karin melenggang dengan gaya sedemikian rupa ke arah Pitr, melirik Zaldy. ”Hei, bung kecil. Kamu ganteng sekali dalam setelan jas itu,” Karin memuji Zaldy. Mata Zaldy melotot. Senang sekali dia kelihatannya dengan pujian itu.

”Well, setelan ini memang tidak buruk, bukan begitu, Pit?” tanya Zaldy, mengomentari penampilannya sendiri.

Tawa Pitra nyaris meledak kalau saja tak sekonyong-konyong sebuah pintu berseberangan dengan arah Pitra masuk, terbuka lebar. Soerang pria perlente lain, tak kalah klimis daripada Ruud muncul dengan santun. Mata pria itu menyapu ke sekelilin, seolah sedang memeriksa apakah para tetamu sudah lengkap. Tampaknya inilah saat pertama Pitra melihat sosok musuh pertama.

”Itu Bad Smallstone. Aku jijik melihat mukanya,” tutur Karin.

Perlahan Smallstone menuruni anak tangga singkat yang menghubungkan bagian depan pintu masuk dengan lantai yang sejajar dengan tempat Pitra berdiri. Senyum berkembang di bibir pria itu.

”Selamat datang tuan-tuan dan nona. Namamku Ted Smallstone. Orang memanggilku Bad Smallstone, artinya Smallstone yang jahat,” senyum Smallstone terus berkembang. ”Tapi aku tak keberatan dengan nama itu; orang memang suka melihat sisi buruk orang lain”

Mata Smallstone berhenti pada mata Pitra, kemudian beralih menatap Karin dan Zaldy. Sekilas saja, Pitra bisa mendapat kesan bahwa Smallstone adalah sosol yang lihat mengatur emosinya. Ia tak tampak seperti bajingan jahat sebagaimana digambarkan Karin. Bahkan mungkin Pitra bisa memaafkan orang ini bila Karin dikembalikan dalam keadaan segar bugar.

Pitra menunggu kalimat basa-basi lain dari Smallstone. Smallstone kini kembali menatap Pitra.

”Nama Anda Pitra, asalah kota Malang, lahir 29 Mei 1963, anak keempat dari lima bersaudara. Menyelesaikan kuliah di sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, dan baru saja mengikuti proses rekrutmen penyiar dan programer di Radio Nederland Wereldomroep, dengan visa Benelux berlaku satu bulan,” rentet Smallstone sembari melangkah pelan mengelilingi Pitra. Kalimat terakhirnya diucapkan tak sampai setengah meter di dekat wajah Pitra, ”satu hal yang menarik, Tuan Pitra adalah seorang yang gigih dengan rasa ingin tahu yang kelewat berlebihan, sehingga kadang sulit baginya untuk menyadari bahwa rasa ingin tahu yang berlebihan kadang bisa menimbulkan kesulitan”

Smallstone kini melangkah mendekati Zaldy.

”Tuan kecil ini punya jiwa petualangan yang luar biasa hebat. Sewaktu menempuh SMA di Semarang, suka ngebut pakai mobil dinas bapaknya ke arah Kopeng, bahkan sampai Tawangmangu. Ia kini tinggal bersama neneknya dengan sokongan penuh keuangan dari seorang paman,” ujar Smallstone. Zaldy tak berkata-kata.

”Dan....perempuan cantik ini,” Smallstone mendekati Karin, dan berhenti bicara, ”rasanya saya tak perlu banyak berkomentar. Saya tahu segalanya tentang dia. Tak baik bila saya membuka hal-hal yang tak kusukai dari gadis ini. Yang jelas, bagian dari pesta ini ditujukan untuk perempuan dari Malmedy ini”

Smallstone menyentuh dagu Karin dan berbicara, ”saya akan perlu bantuan kamu. Di tanganmulah sebenarnya peristiwa demi peristiwa menjadi makin menarik. Berjanjilah kau untuk membuat malam ini bisa lebih menyenangkan untuk semua orang,” ujar Smallstone meninggalkan Karin.

Karin menguntit gerakan Smallstone dengan pandangan jijik. Pitra bisa melihat itu dari pandangan mata Karin.

”Nah, tuan-tuan dan nona sekalian. Kini tiba saatnya saya memperkenalkan beberapa orang lain yang akan terlibat dalam perhelatan ini,” Smallstone kembali menaiki tangga dan berdiri lebih tinggi di antara pehadir lainnya.

”Anda semua sudah kenal Ruud, Karl dan Fred. Ruud adalah seoerang arsitek sekaligus pecinta tatatertib, kerapian dan kenecisan. Ia juga ahli ilmu sopan santun dan soerang kepala rumah tangga terbaik yang pernah saya kenal,” kata Smallstone.

”Kini, saya akan kenalkan sejumlah teman sejawat, para intelektual muda sejati yang bekerja untuk kepentingan ilmu pengetahuan,” Smallstone membalikkan badan dan menanti seseorang muncuk dri balik pintu di belakang Smallstone.

”Yang pertama, perkenalkan seorang calon dokter dalam bidang ilmu kimi a asal Stuttgart, Jerman Barat. Namanya Sebastian Kelmer. Ia seorang jenius dan sangat dapat dipercaya. Kelmer muncu dari balik pintu dan memberi salam.

”Rekan berikutnya adalah Gerard Bergen, calon dokter teknologi komputer berkebangsaan Belanda yang punya reputasi amat tinggi. Pemikiran-pemikirannya amat progresif dan karya-karyanya diakui dunia luas,” demikian jelas Smallstone.

”Berikutnya, saya perkenalkan seorang ahli arkeologi kondang asal Belgia. Inilah Dominique Decaller”

Ketika Dominique muncul dari balik pintu, Pitra langsung ingat inilah pria yang menyambut kedatangan Karin di airport Schiphol tempo hari.

”Yang terakhir..........,” ujar Smallstone.

Pitra berbisik pada Zaldy. ”Itu pria yang mengobarak-abrik tas Karin di bandara dan orang yang ditemui Titon di pasar malam Den Haag......kau tahu Zal, aku menduga sebentar lagi kita akan mendapati hal yang mengejutkan....orang yan”

”Apa itu?” tanya Zaldy.

”Entahlah,” Pitra menatap ke arah pintu di belakang Smallstone.

”Rekan yang terakhir, adalah seorang cendekiawan antropologi sangat berbakat, asal Indonesia”

Pitra, Zaldy dan Karin menatap arah pintu. Dada Pitra berdegup menyaksikan orang terakhir yang hadir. Benarkah pandangan matanya?

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline