Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Bahasa Indonesia Kurang Dimuliakan di Negeri Sendiri

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

REFLEKSI 83 TAHUN SUMPAH PEMUDA

Saya ingat persis, waktu itu bulan Oktober 1994. Saya melamar pekerjaan pada sebuah stasiun televisi swasta untuk menjadi seorang editor bahasa Indonesia. Saya diwawancara oleh seorang personil senior di televisi itu.

“Jadi saudara  ingin menjadi penyunting bahasa Indonesia di TV kami?" tanya  pejabat itu. “Maaf, tapi ini TV hiburan, bukan TV pendidikan!"

Saya jengkel luar biasa saat itu. Saya tahu persis  penggunaan bahasa Indonesia di TV itu tak terlalu baik. Kenapa mereka enggan menggaji tenaga yang bisa membantu memperbaiki bahasa Indonesia  mereka? Saya yakin saya tidak berlebihan. Selama ini stasiun televisi tersebut seolah tak sadar mereka berbahasa nasional secara tidak baik dan tidak benar. Hari-hari berikutnya, tetap saja saya jumpai kalimat-kalimat tidak benar seperti dalam kecelakaan itu menewaskan 13 orang atau untuk mengatasi akibat itu memerlukan dana tidak sedikit.

(Yang benar, kata dalam pada kalimat pertama harus dihapus, dan kata memerlukan pada kalimat kedua harus diganti dengan diperlukan)

Media cetak juga tak ketinggalam menyumbang contoh-contoh salah berbahasa Indonesia. Saya ingat pernah (dan sering) membaca kepala judul berita seperti ini Korban Dilokasi Kejadian Sudah Di Evakuasi yang menunjukkan bahwa penulis berita tidak tahu persis penggunaan kata ‘di’ sebagai keterangan tempat, dan partikel ‘di-‘ sebagai awalan kata kerja pasif. Judul berita tersebut tersebut seharusnya : Korban di Lokasi Kejadian Sudah Dievakuasi. Radio dan televisi tak kalah gencar menyumbang contoh-contoh salah.

Sampai saat ini, 28 Oktober 2011, kebiasaan orang Indonesia dalam berbahasa Indonesia ternyata tidak banyak berubah. Kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia masih bertebaran di mana-mana. Bahasa Indonesia di televisi, baik yang tertulis maupun yang terucap masih diwarnai kesalahan yang tidak disadari oleh penulis dan pengucapnya, dan tidak pula disadari oleh pembaca atau pendengarnya.

[caption id="attachment_138492" align="aligncenter" width="446" caption="ilustrasi : www.netsains.com"][/caption]

Di tingkat masyarakat umum, kesalahan tulis dan ucap juga sama maraknya, yang bisa kita cermati dari penggunaan bahasa Indonesia saat berpidato atau menulis pengumuman. “Bagi yang memerlukan informasi bisa menghubungi kita”, sering saya dengar kata-kata dalam pengumuman. Tidak pernah terbersit untuk memakai bahasa Indonesia yang lebih benar, misalnya ‘Siswa-siswa yang memerlukan informasi bisa menghubungi kami’. Kata ‘bagi’ di awal pengumuman memang amat digemari, tanpa disadari bahwa ‘bagi’ bukanlah subjek kalimat.

Coba pula perhatikan pengumuman yang ditempel di pagar rumah yang hendak dijual atau dikontrakkan, sebagian besar pasti berbunyi rumah ini di jual atau rumah ini di kontrakan. Padahal, yang benar ternyata mudah saja, yakni : rumah ini dijual atau rumah ini dikontrakkan.

Kalangan bisnis dan birokrasi juga tak luput dari kesalahan. Ketika saya menunaikan pekerjaan penerjemahan, saya sering kesulitan menerjemahkan naskah dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris karena saya tidak paham suatu kalimat atau paragraph tertentu dalam bahasa Indonesia lantaran disampaikan dengan cara tidak runtut, tidak dengan susunan kata yang rapi, dan tidak dengan pilihan kata yang tepat. Ini menunjukkan rendahnya penguasaan bahasa Indonesia penulis naskah.

Boleh dibilang bahwa bahasa Indonesia sebagai salah satu kata kunci penting dalam ikrar pemuda pada Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sampai saat ini belum dimaknai secara serius. Setelah 83 tahun, bahasa Indonesia belum mulia di mata masyarakat bahasa Indonesia sendiri. Upaya-upaya ke arah itu sebenarnya pernah digulirkan, misalnya dengan ketentuan untuk menggunakan nama-nama berbahasa Indonesia untuk nama-nama perumahan, nama perusahaan, dan nama-nama lain yang asli Indonesia. Tetapi gerakan pemuliaan bahasa Indonesia belum pernah diupayakan secara komprehensif di segala aspek kehidupan di tengah maraknya gejala imperialisme bahasa asing (terutama bahasa Inggris), tumbuh suburnya bahasa birokrasi, serta keengganan masyarakat untuk dikoreksi dan berupaya memahami bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Mungkin bangsa kita bisa dikatakan sudah terlambat apabila hendak mulai menggencarkan penggunaan bahasa sendiri seperti yang sudah ditempuh oleh, misalnya, Prancis, yang sudah mengawali penempatan bahasa Prancis sebagai bahasa kebanggaan dan identitas nasional dengan berbagai cara.

Namun tak ada kata terlambat untuk memuliakan bahasa Indonesia di negeri sendiri. Bangsa ini punya ribuan sarjana bahasa Indonesia atau orang-orang yang biasa dan bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Yang diperlukan sekarang adalah kemauan keras untuk mendidik ulang warga negeri ini untuk mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ini bisa ditempuh dengan menggagas kursus-kursus bahasa Indonesia untuk lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta, mengharuskan pejabat dan birokrat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam bentuk tertulis dan tuturan, menerapkan aturan dan kebijakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketika menulis surat atau pengumuman, atau ketika sedang berpidato dan semacamnya.

Media cetak dan media elektronik harus pula mulai merangkul para penyunting bahasa Indonesia atau konsultan bahasa Indonesia untuk agar tampilan bahasa tulis dan bahasa ucap mereka tetap terjaga (saya yakin sejumlah media cetak dan elektronik besar di Indonesia sudah memiliki tenaga-tenaga seperti ini).

Kurikulum pelajaran bahasa Indonesia di segala tingkatan sekolah dan pendidikan harus lebih mengarah kepada pengajaran bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi yang baik dan benar, terpakai dan tergunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan bukan hanya sekadar pengetahuan semata.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di dunia birokrasi, bisnis dan media massa bisa menjadi teladan yang positif bagi masyarakat luas yang pada gilirannya akan menghasilkan upaya untuk turut mendidik ulang warga bangsa ini dalam berbahasa nasional.

Tidakkah Anda sepikiran dengan saya bahwa bahasa Indonesia sangat perlu dimuliakan melalui langkah-langkah dan sikap-sikap positif masyarakat bahasa Indonesia yang harus dimulai sekarang juga?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline