Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Kaliandra (Novel Seru). Episode 11

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bila tiba-tiba harus berada di antara semerbak bunga yang aromanya melenakan anganmu,

sementara ada tangan yang menuntunmu untuk menikmati tebaran pesona samudra kembang

itu, apa yang akan kau lakukan?

EPISODE 11

KEMBANG LIAR

Rio tak terbiasa berputus asa. Tapi kali ini benar-benar ia habis akal. Ia sudah berputar-putar di sekitar Kali Randu tiga kali. Tapi sama sekali ia tak menemukan jejak Candi. Sejak meninggalkan Bu Lurah di jajaran kaliandra tadi, ia tak berhenti mencari. Apa yang terjadi dengan gadis ini? Di mana dia?

Rio menatap langit. Sebentar lagi gelap total. Di sekeliling tak ada rumah penduduk. Cuma jalan setapak yang mulai kelihatan kelam. Rerimbunan pohon makin membuat senja menjadi remang. Kini yang terbayang di benak adalah bayangan wajah Candi. Dalam hati ia berjanji, kalau ada apa-apa dengan gadis itu, tak segan-segan Rio akan menguliti si jebah.

Darah Rio seperti tersirap manakala semak-semak di depannya bergoyang. Ada orang menerabas pepohonan liar itu dengan cepat. Seketika Rio sigap. Bulu kuduknya meremang. Di luar dugaan, goyangan semak-semak berhenti mendadak. Tapi gesekan-gesekan kecil masih terdengar.

Rio berpikir inilah saatnya kewaspadaan berada pada beban puncak. Dua orang pengeroyok yang siang tadi beraksi sudah jelas tak puas atas kelolosannya. Liar mata Rio bergerak ke kanan dan ke kiri. Tak ada senjata. Tapi kemudian ia menemukan ide. Bongkahan batu bukan gagasan yang buruk buat senjata darurat. Perlahan ia menurunkan tangan sambil tetap mencermati setiap gerakan di semak-semak. Dua bongkah batu sebesar kepalan tergenggam di kanan dan kiri.

Manakala semak-semak bergerak lagi, seketika itu Rio menyiapkan batu dalam posisi lontar. Sekali bajingan itu muncul, mukanya tak ayal lagi tergempur barang padat itu.

Tapi tak segera musuh datang dari semak-semak. Rio jadi ragu apakah benar-benar manusia yang berada di balik rerimbunan itu. Untuk memastikan kemasygulannya, ia berteriak.

“Siapa di situ? Keluar atau kubogem batu,” hardik Rio. Di luar dugaan, selarik suara wanita menyambar.

“Rio? Kaukah itu? Candi ini!”

“Astaga, Candi, ya?” Rio menurunkan batu di genggaman. Sesosok tubuh muncul menguak dedaunan padat.

“Apa pula yang kau lakukan dengan batu siap dilempar?” tanya Candi, mengomentari Rio yang berdiri dengan posisi sangat konyol.

“Benar-benar kaukah itu?” masih tak percaya Rio pada pandangannya.

“Super sompret. Tentu saja ini aku. Kau pikir aku hantu?”

“Sialan! Syukurlah itu kau,” Rio berseru lega, “Kau baik-baik saja?”

“Tak kurang suatu apapun,” kata Candi.

“Bagaimana kau bisa selamat dari kejaran orang pejal bermuka jebah itu?”

“Gampang, asal kau rajin ikut latihan fitness seperti yang selama ini kulakukan. Kau sendiri bagaimana?” Candi mengamati Rio yang tampak dekil.

“Agak panjang ceritanya; sepanjang ceritamu barangkali. Tapi kita mesti tinggalkan tempat ini. Sudah gelap sekarang,” ajak Rio.

“Ayolah,” kata Candi, “Well, aku senang kau selamat.”

“Aku juga, tak lepas pikiranku padamu,” ujar Rio mulai bergegas. Ia diam sejenak, menunggu Candi bicara. Tapi gadis itu tak mengucapkan sepatah katapun. Padahal Rio menantikan sebuah ucapan, yang kurang lebih sama dengan ucapannya pada Candi barusan.

“Kamu bilang, kau tak lepas khawatirkan aku?” tanya Candi, setelah beberapa menit Rio menanti.

“Ya,” jawab Rio bersemangat.

“Sayang sekali, aku tak terlalu memikirkanmu,” tutur Candi, bernada seloroh.

“Aku tak minta komentarmu,” Rio bersungut.

“Edan, jalanan begitu gelap, kita bisa kesasar,”

“Aku bawa lampu baterai,” Candi mengeluarkan sebuah lampu senter mungil, dan menebarkan sinar ke jalan.

Sepanjang perjalanan, dengan suara perlahan Candi menceritakan seluruh kejadian, mulai melorot ke jurang sampai Probosangkoro. Rio kemudian berkisah pula pengalamannya dengan si celana longgar. Selebihnya mereka tak banyak bicara ketika mereka hampir sampai di rumah Si Mbah

***

“Kau percaya orangtua bernama Probosangkoro itu adalah Parto Sumartono?” bisik Rio di telinga Candi, sembari melempar kemasan rokok di meja pendek di ruang depan rumah Si Mbah. Gadis itu tak segera menjawab. Ia asyik sekali iamemeluk gelas teh hangat dan menempelkan kehangatan gelas itu ke pipinya.

“Tadinya tidak. Tapi cerita kakek itu logis. Lagipula, ia bisa bicara bahasa Belanda. Sangat mungkin ia Parto Sumartono yang asli. Ia lebih sering berhubungan dengan von Weissernborn,” tajam Candi berbisik, sambil mengunyah biskuit.

Rio menatap Candi. “Apa lagi yang diceritakan orang tua itu?”

“Semuanya sudah kuceritakan padamu. Makin ruwet, bukan?” ujar Candi.

“Ya. Kalau benar-benar utusan Yayasan von Weissernborn datang dan menemukan bukti itu, berarti mereka memberikan uang hibah pada orang yang salah,” ucap Rio.

“Lalu apa usaha kita? Menceritakan yang sebenarnya pada Pak Lurah? Padahal kakek Probosangkoro wanti-wanti agar aku tak panjang lidah membongkar rahasianya,” tukas Candi. Rio tak menyahut. Terlalu mendadak informasi ini untuk ditimpali reaksi.

“Aku tak menduga desa ini tenyata menyimpan seribu satu teka-teki,” Rio bicara sendiri.

“Soal Kuntoro, orang yang menyelamatkanmu itu, bagaimana ia bisa membuat si celana longgar mennyingkir?”

“Boleh jadi karena Kuntoro adalah salah satu dari sekian sesepuh desa yang disegani. Itu wajar,” kata Rio.

“Kakek misterius itu juga sempat menyebut nama Kuntoro,” sela Candi kemudian.

“Oh ya?” bersemangat Rio bertanya.

“Ya. Kuntoro adalah salah satu pemuda yang sedang bersama von Weissernborn tatkala Parto dan Probosangkoro menemukan fosil berharga itu,”

“Itu cuma suatu kebetulan, kukira,” timpal Rio.

“Ya, mudah-mudahan begitu. Kalau tidak, makin rumit saja teka-teki ini,” Rio menghisap rokok dan melirik arloji. Sudah sepuluh menit melewati delapan malam. Di luar, penjagaan makin ketat dan rapat. Senjata yang dibawa, tak lagi cuma pentungan dan kelewang. Kini ada besi lancip panjang, ada pedang, ada clurit dan sejumlah gobang. Penduduk desa, agaknya sudah bertekad menggelar total war pada para penyelinap gelap.

Rio menguap, bersamaan dengan nyala lampu tekan yang meredup-redup. Gas lampu itu, pasti menurun. Rio baru saja hendak menambah pompa lampu tekan ketika tiba-tiba ada suara di pintu.

Nuwun Sewu!

Candi menoleh. Seorang lelaki tua, berkemeja batik, berkacamata dan bertongkat berdiri di pintu dengan santun. Segera Rio mengenali sosok ini.

”Pak Kuntoro,” Rio berdiri menyambut. Candi mengernyitkan alis. Macam cerita lenong saja; orang yang baru dibicarakan, mendadak muncul.

”Saya bermaksud menjenguk si mbah Parto. Sejak tiba kembali di desa tadi pagi, saya belum menjenguknya,” ujar Kuntoro, lelaki tua itu.

”Silakan, Pak. Langsung saja,” ajak Rio, ”Oh, ya. Nama saya Rio. Ini Candi, teman yang saya sebutkan tadi,” Rio memperkenalkan Candi. Candi membalas uluran tangan Kuntoro yang lebih dulu diajukan.

”Ini gadis yang kau bilang kau cari-cari tadi?” tanya Kuntoro simpati, ”Syukurlah, kau menemukan temanmu ini. Sayang kalau hilang. Ia cantik, seperti cucuku,” seloroh Kuntoro. Candi tersenyum. Cukup pintar orang tua ini bikin celetuk segar.

Tak lama kemudian Kuntoro lenyap di pintu kamar si mbah. Ada setengah jam ia menghabiskan waktu untuk mengamati dan berbicara dengan istri Sujarno di bilik Si Mbah. Sujarno sendiri sejak tadi pagi tak tampak. Kata istrinya, tak biasa Sujarno pulang malam dari kota kecamatan.

Ketika Kuntoro muncul kembali di ruang depan, Rio sudah siap dengan ucapan terimakasih, yang siang tadi lupa disampaikan.

”Kalau tak ada bapak, tadi siang saya sudah babak belur,” Rio mempersilakan Pak Kuntoro duduk di antaranya dan Candi.

Kuntoro tersenyum, ”Kalau tidak ada nak Rio, nasib Si Mbah makin tak keruan lagi,” ujarnya, kebapakan sekali.

”Bapak bisa saja,” kata Rio.

”Betul, Nak Rio. Seluruh orang desa berterimakasih pada Nak Rio. Si Mbah itu salah satu kebanggaan desa ini. Jasanya amat besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Sebagai penduduk Kemiren dan tetangga dekat Si Mbah sejak bertahun-tahun lalu, saya amat bangga pada si mbah. Kau lihat kemajuan Kemiren dengan kerajinan fosil itu?” ucap Kuntoro.

”Ya,” timpal Rio.

”Sedikit banyak itu karena jasa Si Mbah, yang senantiasa memompa masyarakat untuk menelateni hikmah kekayaan Kemiren. Penggalian-penggalian lain mungkin tak akan menghasilkan karya-karya besar seperti yang ditemukan Si Mbah bersama von Weissernborn. Tapi wisatawan yang datang untuk membeli kerajinan ’kan merupakan hikmah terselubung?” Kuntoro tersenyum. Kumis warna perak yang tipis rapi memberi aksentuasi kearifan wajahnya.

”Orang yang menyerang saya tadi, apakah orang Kemiren juga, Pak?” Rio mengajukan pertanyaan yang sedari tadi ingin diajukan. Kuntoro menaikkan alis.

”Itu yang saya herankan. Kenapa di jaman seperti ini masih ada begal. Tapi di sekitar Kali randu memang ada satu-dia pengangguran yang kerjanya menganggu orang,” jelas Kuntoro.

”Kelihatannya mereka segan pada Pak Kuntoro,” kata Rio.

”Kebetulan saja. Saya sering suruh orang bagi-bagi beras di sekitar Kali Randu. Mungkin itu salah satu orang tang biasa terima sedekah dari saya. Mereka takut kalau saya tidak bagi-bagi beras lagi,” ujar Kuntoro.

”Bapak tinggal di sekitar sini,” tanya Candi tiba-tiba.

”Rumah saya ada belakang rumah di seberang jalan itu,” Kuntoro menunjuk ke arah luar. ”Saya baru bisa menjenguk Si Mbah malam ini. Tadi pagi sampai sore saya harus memeriksa sebidang tanah saya dekat Kali Randu,” kata Kuntoro. Ia kemudian menatap arloji kuno yang melingkar di pergelangan tangan kanan. ”Senang sekali di sini banyak orang berjaga. Saidun kabarnya diopname di kota kabupaten?” kata Kuntoro.

”Betul. Kata orang-orang lukanya cukup parah. Untunglah Pak Lurah menanggung semua biayanya,” ulas Rio. Kuntoro mengangguk-angguk.

”Oh, ya, apa yang kalian orang-orang muda ini lakukan di desa ini?” tanya Kuntoro kemudian.

”Saya mahasiswa antropologi, sedang menulislaporan tentang sejarah penemuan di Kemiren, dan teman saya ini Candi, wartawati yang tengah meliput tentang kerajinan fosil di Kemiren,” jelas Rio.

”Hebat! Saya turut senang. Promosi kerajinan Kemiren harus digencarkan. Nanti kirimkan korannya pada saya. Koran apa, to?” tanay Kuntoro.

”Tajuk Zaman!”

”Tajuk Zaman? Oh ya, saya pernah baca di Jogja. Bagus, anak muda jaman sekarang memang membanggakan hati,” tutur Kuntoro. ”Wah, tampaknya hari sudah malam. Maaf, saya minta diri dulu. Kalau ada waktu, silakan mampir ke rumah saya,” Kuntoro melangkah ke pintu. Rio menguntit langkah orang ini yang hilang dalam gelap.

Jam kuno di dinding berdentang sembilan kali. Rio baru ingat Wolfgang belum datang juga.

”Kemana rambut jagung kira-kira?. Ia bilang ia akan kembali ke desa sebelum gelap,” kata Rio.

”Barangkali menginap di kota kabupaten. Pernah ia bilang ia ingin melihat kraton di kota kabupaten,” timpal Candi.

”Ya, sudahlah. Besok pasti nongol. Besok apa rencanamu?” tanya Rio.

“Malam ini aku nulis laporan tentang kerajinan. Besok aku pergi ke kota kabupaten buat kirim facsimile ke redaksiku. Mau nitip apa?”

“Tak ada. Aku mau nulis laporan besuk saja, capek sekarang,” Rio merebahkan diri begitu saja di tikar dekat meja.

“Aku mau menulis di sini, mungkin tidur di sini juga,” kata Candi, “tadi sudah pamit pada Bu Parmi”

Candi menyiapkan kertas, memilih pena bertinta hitam dan memutar ulang tape-recorder. Di luar sana, udara dingin menyergap desa. Para petugas Hansip memasang mata dan telinga baik-baik dan tak berhenti meronda dengan formasi tiga-tiga. Sejumlah pemuda desa lain yang tidak secara resmi bertugas juga membantu berjaga dan pasang mata. Candi sengaja membiarkan pintu depan tetap terbuka. Sesekali pemuda lewat di depan pintu dan menyapa. Malam itu, desa Kemiren sepertinya tidak lelap tidur.

***

Telah 10 halaman kertas folio penuh tulisan tangan Rio. Kopi di meja tinggal setengahnya.

Candi berangkat ke kota kabupaten satu jam lalu. Candi merasa aman-aman saja pergi sendiri, toh semalam tak terjadi apa-apa. Semua penjaga melakukan tugasnya dengan baik. Satu-satunya laporan pagi itu cuma berbunyi : dua ekor kucing berkelahi di atas rumah Bu Parmi.

Wolfgang belum juga tampak batang hidungnya. Rio bertanya-tanya kenapa di rambut jagung belum muncul juga. Atau jangn-jangan ia ketakutan dan memilih menyingkir dari Kemiren?

Hari masih pagi, sekitar pukul 10. Rio melintas rumah Si Mbah untuk menuju ke kamar kecil tak jauh dari rumah Bu Parmi. Halaman belakang itu benar-benar sepi. Seusai buang air, Rio menyapukan pandangan. Sepi sekali, semua orang sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Angin yang berdesir di pepohonan terdengar jelas. Halaman belakang rumah Bu Parmi yang berpagar pepohoan rimbun tampak hening.

Tiba-tiba ia melihat sekelabat bayangan cerah di halaman belakang rumah Bu Parmi. Itu mungkin Candi. Sosok itu bergerak ke pintu belakang rumah Bu Parmi. Rio menghampiri pintu dan membukanya. Tak ada suara orang. Tapi manaka Rio menerobos dapur dan masuk ke ruang tengah, yang remang hanya dengan sebias cahaya lewat genting kaca. Ia tertegun sejenak. Hidungnya menangkap aroma rempah-rempah. Tadinya ia hendak berbalik ke pintu belakang rumah, tetapi aroma itu mengingatkannya pada seseorang.

”Dik Rio! Saya kira siapa!” seutas suara mengangetkan Rio. Bu Lurah duduk di kursi dekat meja, memperhatikan. Rio terpana sesaat. Bu Lurah tampak tak biasa pagi itu. Ia mengenakan busana perempuan kota, rok span ketat sebatas lutut dan blazer berwarna hijau tosca. Satu hal yang membuat Rio terdiam sesaat adalah betapa menariknya perempuan berkulit cerah ini dengan rambut ikal terurai sampai ke bawah bahu. Rambut itu tidak disisir terlalu rapi, tapi justru membuatnya tampak ayu.

”Bu Lurah! Saya pangling,” akhirnya Rio bisa bicara, masih berdiri mematung agak jauh dari tempat Bu Lurah duduk. Bu Lurah cuma tersenyum.

”Kok Bu Lurah di sini?” tanya Rio.

”Sekali-sekali saya mampir rumah ibu saya. Barusan saya dari pasar kecamatan. Capek, mau istirahat dulu. Bu Parmi masih belanja ke kota kecamatan, membelikan tole seragam sekolah,” kata Bu Lurah.

”Tadi saya kira Candi yang masuk ke sini,” ujar Rio.

”Kata Bu Parmi, Candi ke kota kabupaten. Jauh lo, baru nanti sore pulangnya,” ujar Bu Lurah.

”Ya, saya tahu. Baiklah, Bu Lurah. Saya permisi dulu,” tak enak Rio berdiri mematung begitu. ”Mari, Bu! Rio berbalik.

”Sebentar to, Dik Rio!” tahan Bu Lurah, matanya menatap Rio penuh. Ia berdiri, setelah mengeliat dengan memajukan dada dan menekan pinggang. Rio melihat perempuan ini berjalan melintasinya dan menutup pintu belakang rumah dari dalam. Kenapa pula Bu Lurah menutup pintu, dan menguncinya.

”Suka banyak kucing liar masuk rumah lewat belakang sini. Saya tutup pintunya,” kata Bu Lurah. Rio faham soal kemungkinan kucing masuk. Tapi soal dikunci?

”Kebetulan Dik Rio di sini. Mau ada yang saya tanyakan. Saya baru beli obat sesak nafas buata Cina buat Pak Lurah. Petunjuknya dalam bahasa Inggris. Dik Rio ’kan pinter bahasa Inggris, tolong bacakan, ya?’ Bu Lurah mulai mencari-cari sesuatu dari tasnya di atas meja.

Rio tak menjawab. Ia menunggu Bu Lurah menemukan kemasan obat yang dimaksud. Diam-diam Rio menatap postur tubuh Bu Lurah dari belakang. Sema sekali wanita ini tampak terlalu muda untuk usianya yang di kisaran 37 tahun.

”Di mana ya kertas itu tadi?” Bu Lurah beralih ke sebuah ranjang tidur tanpa penykat, sekitar 3 meter dari kursi. Ia membolak-balik bantal di ranjang itu.

”Ini dia kertas petunjuknya,” Bu Lurah duduk di pinggiran ranjang bersih itu. Sibuk ia membuka kertas petunjuk obat itu.

”Apa ya isi petunjuk obat ini?” Bu Lurah mengunjukkan kertas petunjuk itu tanpa berdiri. Rio termangu. Enggan ia mendekat. Tapi mata Bu Lurah mengisyaratkan agar ia tidak malu-malu.

”Kemari, Dik. Tolong baca!”

Rio akhirnya mendekat juga, dan menerima kertas itu dari tangan Bu Lurah. Rio berdiri tak jauh dari Bu Lurah mengamati kertas petunjuk yang berbahasa Cina dan Inggris itu. Ia tak melihat kesibukan kecil Bu Lurah yang melepas blazernya, menyisakan busana atas berbahan kaos tanpa lengan warna merah maroon dan pinggiran atas yang rendah. Rio melirik bersit bahu bersih dan lengan kencang Bu Lurah. Sungguh luar biasa perempuan desa bisa memiliki kulit secerah dan sekencang itu.

”Kalau siang, desa ini panas sekali,” ujar Bu Lurah mencampakkan blazernya. Ia menengadah, berusaha mencari angin untuk lehernya. Kedua tangan Bu Lurah menopang tubuh dari belakang.

Percik debur mulai menyesaki dada Rio, tak mengingkari pesona perempuan ini membuat jantungnya berdetak hebat. Rio mencoba menekuni kertas itu.

”Saya tak bisa dengar suaramu dengan baik, duduk di sini biar lebih jelas,” Bu Lurah menepuk kasur tak jauh darinya dengan tangan kiri. Rio seperti tersihir langsung duduk di situ. Dekat sekali ia dengan Bu Lurah. Perempuan ini mendekatkan kepala ke arah Rio, seolah ingin ebrgabung membaca kertas petunjuk itu. Nafasnya menyapu leher Rio.

”Obat ini harus diminum sehari tiga kali, pagi siang dan malam,” ujar Rio. Dengan jarak sedekat itu Rio bisa melihat Bu Lurah mengais minggir bagian kain busana yang melintangi pundak kiri dan kanannya.

”Gunakan sendok teh, satu sendor tiap minum untuk anak-anak, atau satu sendok makan untuk orang dewasa,” Rio terus menerjemahkan. Bu Lurah tak bersuara, mungkin juga tak mendengar hasil terjemahan Rio. Separuh dadanya dari atas sudah terbentang.

”Dik Rio!” panggil Bu Lurah. Rio menoleh. Darahnya tersirap. Dada itu bercahaya, penuh dan menggoda. Tatapan Bu Lurah makin membuat darah Rio mendidih. Mati-matian ia mencoba menghindari tatapan mata itu.

”Eh.....err......saya.....mohon maaf. Saya bawa dulu kertas ini. Nanti saya tuliskan terjemahannya,” Rio berusaha berdiri dari duduknya. Tapi cepat tangan Bu Lurah menangkap tangan Rio.

”Bu Lurah!” kata Rio, tak jelas panggilan itu untuk apa. Tapi ia tak melepaskan tangannya dari cekalan Bu Lurah. Bu Lurah tiba-tiba menggerakkan tangan kanan, meraih sebuah gagang kayu sejauh jangkauan tangan kanan di depannya dan menyeret sebilah pintu yang merupakan penyekat ruang tidur. Rio baru tahu itu tadi gagang pintu geser. Seretan bilah pintu geser itu membuat kamar tertutup sepenuhnya. Ruangan makin remang.

”Nama saya Praptiwi. Kau boleh panggil aku ’Mbak Prapti’ atau ’Prapti’ saja. Perlahan tangannya menghela tangan Rio makin dekat agar Rio duduk kembali. Ia mendengar nafas Bu Lurah mulai tak teratur.

”Saya memang tidak muda lagi. Tahun depan 38 tahun. Saya tahu kau jauh lebih muda,” ujar kata Praptiwi.

”Lupakan kertas itu, Rio. Aku tidak mau berpura-pura lagi. Aku menginginkanmu. Sangat menginginkanmu,” makin kuat tangan itu menghela tangan Rio dengan segenap pesonanya.

Rio mengikuti helaan itu. Ditatapnya balik mata yang memandang syahdu dan bergelora itu yang tak surut membuatnya terpana.

”Saya tahu ini aneh. Tapi saya juga tahu kau tak akan menampikku. Saya bisa baca sorot matamu. Kaupun pasti sama inginnya dengan saya,” suara Praptiwi lebih menyerupai bisikan.

”Bu Lurah,” desah Rio.

”Panggil aku ’Mbak Prapti’”

”Mbak Prapti!”

Praptiwi menuntaskan pekerjaan yang tersisa, menguak sisa busana yang menutup dada. Ia menghela Rio dan mendekapnya. Bibirnya menjalar hangat di bibir Rio. Rio merasa seperti tengah berada di taman lautan bunga semerbak. Ia balas pagutan itu dan ia dekap sepenuh hati. Ia ikuti gerak tangan Praptiwi yang membimbing mereka merebah rata dengan permukaan ranjang. Erat dekapan Praptiwi. Memburu nafasnya. Menggila gerakannya. Terampil mengarahkan wajah Rio ke bukit-bukit semerbak bunga.

Rio tersentak ketika jari-jari Praptiwi mulai menyiasati kancing-kancing baju Rio. Serta merta Rio bangkit dan melepaskan dekapan itu. Wanita itu hampir terlempar karena tarikan mendadak tubuh Rio darinya.

”Rio!” desis Praptiwi, terkejut atas perlakukan demikian kasar tak terduga seperti itu.

”Ini gila!. Saya tidak bisa!” ujar Rio, menatap Praptiwi yang tanpa Rio sadari sudah pula melepas span, menyisakan sepasang tungkai yang indah. Bibir wanita itu bergetar menahan gelora yang terputus.

Rio menggeser balik bilah geser itu dan meninggalkan Praptiwi sendiri. Ia menghambur keluar. Praptiwi menyeka hidung, meraih blazer, menutup dada dengan blazer dan menyusul.

“Rio. Kembali ke sini! Kamu harus selesaikan apa yang kita mulai!” desah Bu Lurah.

Rio tak menghiraukan. Setengah berlari melewati ruang tengah, membuka pintu belakang dan keluar tergesa. Tak sadar ia menubruk seseorang yang tiba-tiba saja berdiri tak jauh dari pintu di halaman luar. Orang itu tertegun melihat Rio menghambur keluar dari rumah Bu Parmi dengan kemeja setengah terbuka. Tak jelas siapa orang itu. Yang jelas ia mengenakan seragam staf kantor kepala desa.

Praptiwi berlari menyusul ke pintu belakang. Tapi seketika langkahnya terhenti di mulut pintu. Harjo, staf kantor kepala desa yang naksir berat Bu Lurah berdiri di sana. Ia ternganga menatap pemandangan di balik pintu setengah terbuka. Wanita yang selalu menghiasi mimpi-mimpinya berdiri di balik pintu, dengan dada sedikit tertutup kain blazer dan tungkai terbuka.

Bu Lurah panik sesaat. Ia menutup pintu lebih rapat. Kenapa Harjo ada di sini?

Harjo menatap Bu Lurah tanpa berkedip. Bu Lurah tahu Harjo telah melihatnya dalam keadaan setengah berbaju. Ia tahu Harjo tengah menebak-nebak apa yang baru saja terjadi antara Rio dan dirinya. Bu Lurah tahu situasi ini bakal menghebohkan.

Segera Bu Lurah menguasai diri. Dibukanya sedikit lagi pintu itu dan dia biarkan Harjo terus menatapnya.

”Kau dari mana, Jo?” tanya Bu Lurah.

”Saya....saya dari rumah Si Mbah, mau....balik ke kantor,” terbata-bata Harjo bicara.

”Kau tidak sedang tergesa-gesa, ’kan?” kata Bu Lurah.

”Saya.....eh....tidak...., kenapa, Bu?” dada Harjo naik turun.

”Kalau begitu,” Bu Lurah membuka pintu lebih lebar, ”tunggu apa lagi. Masuklah!” suara Bu Lurah perlahan, menggoda.

Harjo masih terpaku.

”Masuklah. Tak ada siapa-siapa di dalam, ayo!” ujar Bu Lurah.

Bagai terhisap magnit, Harjo melangkah perlahan ke dalam rumah. Jantungnya seperti berhenti bergerak ketika Bu Lurah menutup pintu dari dalam dan memenjarakan Harjo besamanya.

”Kemarilah!” Bu Lurah melangkah gemulai, meminta Harjo mengikutinya. ”Kau suka padaku, ’kan?” ia menoleh Harjo dengan kerling.

”Lihat kamar itu. Kita berdua, hanya berdua sekarang. Itu ranjang kita. Lakukan apa yang kau mau,” Bu Lurah berbalik dan menghela tangan Harjo. Samudra bunga itu kini ganti menari-nari di benak Harjo.

”Panggil aku ’Mbak Prapti’,” hanya itu yang kemudian terdengar dari kamar. Selebihnya adalah puluhan desahan ditingkah suara angin di luar sana yang menggesek dedaunan. Halaman belakang rumah Pu Parmi masih sehening tadi.

Benar-benar sepi.

(bersambung)

Catatan :

nuwun sewu = permisi (bahasa jawa)

pangling = sulit mengenali (bahasa Jawa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline