Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Kaliandra (Novel Seru). Episode 13

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ide gila! Candi ingin kembali ke tempat persembunyian Probosangkoro malam itu. Untuk apa?. Tak adakah gagasan yang lebih baik?

EPISODE 13

SARANG GULITA

Kentongan di gardu jaga dekat rumah Si Mbah dipukul 8 kali. Rio mengencangkan resluiting jaket dan berjalan berdampingan dengan Candi meninggalkan rumah Si Mbah. Sejumlah petugas Hansip menghadang mereka dengan lampu baterai tersorot.

”Mas Rio dan Mbak Candi mau kemana?” Gimun, staf desa yang ikut berjaga menghentikan Rio dan Candi.

”Mau ke rumah Pak Lurah, menyerahkan laporan pesanan beliau. Besok mau dikirim ke Pak Camat,” ujar Rio berbohong.

”Kalau begitu, akan kami kawal,” kata Gimun.

”Tidak, tidak perlu. Kami bisa sendiri,” kata Candi.

”Tapi ini perintah Pak Lurah, demi keamanan dan keselamatan kalian,” otot Gimun. Mukanya serius. Candi berpikir beberapa saat.

”Bagaimana kita bisa lolos dari mereka?” tanya Rio pada Candi dalam bahasa Inggris agar tak difahami Gimun.

”Biarkan mereka mengawal kita, nanti kita cari akal,” jawab Candi.

”Baiklah. Ayo kita jalan,” kata Rio.

Gimun memanggil Jono, salah satu teman jaga dan minta Jono bergabung dengannya. Keduanya segera menguntit Candi dan Rio dari belakang.

”Oke, kau masih ingat jalan ke arah selatan, ke bukit di mana kita bisa lihat jajaran kaliandara?” tanya Candi masih dalam bahasa Inggris.

”Aku ingat”

”Sip. Aku tunggu kau di sana. Sebentar lagi aku akan lancarkan aksiku untuk mengelabuhi dua Hansip ini. Kau nanti cari cara sendiri untuk lolos dari mereka, oke?” kata Candi.

”Oke!”

Selama beberapa menit mereka melintas jalan menuju ke rumah Pak Lurah. Jalanan sepi dan gelap.

”Astaga. Catatan penting untuk Pak Lurah ketinggalan. Bisa minta tolong Pak Gimun kembali dengan saya ke rumah Bu Parmi? Saya harus ambil catatan itu. Pak Jono terus saja sama Rio,” Candi menggamit lengan Gimun dengan gaya genit.

”Oo....... bisa.... ayo kita kembali ke sana!” kata Gimun, senang sekali tangannya digamit Candi.

Jono sebenarnya tak suka ini, tapi ia membiarkan saja Gimun berbalik arah bersama Candi. Rio meneruskan jalan bersama Jono.

Gimun menyorotkan lampu menerangi perjalanan mengantar Candi balik ke rumah Bu Parmi, kelihatan bangga bisa mendampingi gadis cantik berjalan berduaan di malam gelap. Tiba-tiba Candi berkata.

”Pak Gimun, saya kebelet pipis, nih. Yunggu di sini dulu, saya mau pipis di semak-semak situ”

”Lho, apa ndak sebaiknya di kamar mandi di dekat rumah Bu Parmi saja, kan sudah dekat?” tanya Gimun.

”Keburu keluar pipisnya, Pak. Ndak tahan, nih,” Candi pura-pura meringis mendekap perut.

”Lha mbersihkannya pakai apa?” tanya Gimun lugu.

”Pakai ini,” Candi mengeluarkan sekotak kecil kertas tisu dari tas pinggang. ”Tunggu

sebentar, ya,” kata Candi. ”Ingat, Pak Gimun tunggu di situ. Jangan ke mana-mana,” Candi menuju ke semak-semak gelap di sebelah. Gimun malah melempar cahaya senter ke semak-semak.

”Matikan dong senternya,” teriak Candi.

”Gelap lho, Mbak,” kata Gimun.

”Ndak apa-apa, saya berani. Lagian, masak cewek pipis disenteri,” kata Candi. ”Pak Gimun jangan menghadap ke sini!” lagaknya genit sekali.

Gimun berpaling dan mematikan senter.

Sambil meminimalkan suara gemerisik, Candi menerobos semak-semak menjauh dari Gimun. Ia melompati beberapa gundukan yang membawanya ke dataran lebih rendah di perladangan penduduk. Gimun pasti masih menunggu di tempatnya. Dari situ ia berjalan meintasi perladangan ke selatan sejauh beberapa puluh meter. Ia tahu ia bisa memintas naik ke jalan besar menuju selatan tanpa harus lewat depan rumah Bu Parmi yang sudah jelas bakal membuat mereka curiga kalau ia lewat situ.

***

Ternyata Rio agak kesulitan melepaskan diri dari Jono. Tapi ia melihat satu peluang. Jono tengah mencari-cari rokok di sakunya.

”Pak Jono punya rokok? Rokok saya habis,” kata Rio.

”Waduh, rokok saya ketinggalan di gardu jaga,” kata Jono.

”Kalau begitu saya beli rokok dulu. Tadi saya melihat ada warung buka di belakang sana. Pak Jono tunggu di sini, mau nitip rokok apa, saya bayari?”

”Lho, saya ikut saja”

”Walah, sebentar, kok. Tunggu disini! Rokoknya apa?” kata Rio.

Yo wis, jangan lama-lama. Saya tunggu di sini. Rokok saya Bentoel Remaja,” kata Jono. Ia kemudian duduk di sebongkah batu di pinggiran jalan sambil mempermainkan senternya.

”Sip, Bentoel Remaja. Lima menit ya,” Rio langsung berbalik, dan setengah berlari menyusuri jalan kembali ke selatan. Tentu saja ia tak mampir warung rokok. Ketika mendekati kawasan depan rumah Si Mbah, Rio berbelok ke semak-semak dan berjalan menerabas menghindari pengawasan para Hansip di depan rumah Si Mbah. Selepas kawasan rumah Si Mbah, ia balik ke jalan besar dari semak-semak dan terus melaju. Beruntung ia masih ingat jalan mana yang harus ditempuh menuju bagian atas Kali Randiu tempat ia janji ketemu Candi. Malam makin kelam, suara binatang malam mencekam sekaligus menghibur. Diam-diam Rio ragu pada gagasan Candi kembali ke tempat persembunyian Probosangkoro malam-malam begini. Mudah-mudahan Candi berubah ketakutan dan membatalkan rencana gila ini.

***

Gimuntergopoh-gopoh sampai di kantor desa hampir bersamaan dengan Jono. Banyak orang di balai desa. Pak Lurah ada di situ.

”Candi dan Rio! Apakah mereka sudah sampai sini?” tanya Gimun. Asromo mendongak.

”Tidak ada Candi dan Rio. Apa mereka mau ke sini?” tanya balik Asromo.

”Mereka tadi kami kawal, katanya mau menyerahkan laporan ke Pak Lurah,” ujar Gimun, serba salah, sambil melirik Jono.

”Kenapa bisa terpisah?” tanya Pak Lurah.

”Tadi Mbak Candi bilang mau pipis ke semak-semak. Saya tunggu setengah jam tidak muncul juga. Saya cari ke rumah Bu Parmi, tidak ada juga,” kata Gimun.

”Mas Rio juga begitu. Ia bilang mau beli rokok, saya tunggu, tidak muncul juga,” ujar Jono. ”Di rumah Si Mbah juga tidak ada. Kita eh.....kami dikelabui oleh mereka”

”Terus, kemana mereka?” tanya Pak Lurah.

”Lha itu yang kami tidak tahu,” polos Gimun dan Jono menjawab.

”Aneh sekali dua orang itu,” Pak Lurah berdiri. ”Terus kemana mereka malam-malam begini? Lihat, sudah lebih dari jam sembilan,” Pak Lurah menunjuk jam dinding.

”Maaf, Pak. Sejak kemarin-kemarin saya curiga pada dua orang itu,” tiba-tiba Karman yang sedari tadi menemani Pak Lurah ikut bicara, ”Apa mungkin mereka terlibat semua ini?” suara Karman berubah menjadi bisikan, ”Perasaan saya mengatakan mereka ini ada apa-apanya”

”Ada apa-apanya bagaimana?” tanya Pak Lurah, turut mengalir dalam kecurigaan Karman. Karman tak menyahut. Ia malah memperhatikan wajah Pak Lurah yang mengkerut. Karman kaget ketika Pak Lurah membanting puntung rokok dan menginjakknya dengan gerakan jengkel.

”Aku pusing! Desa ini tambah ruwet saja. Kain kusut! Kian Runyam!” Pak Lurah meraih gagang cangkir kopi dan meminumnya.

”Huah! Kopi ini pahit sekali! Siapa yang bikin?” gelegar Pak Lurah.

“Saya, Pak!“ kata Murjito, gemetar.

“Panggil Harjo. Suruh ia minta kopi ke Bu Lurah,“ masih meradang nada suara Asromo.

“Harjo tak tampak sejak sore tadi,“ tukas Murjito.

”Kalau begitu kau yang minta kopi sana, awas jangan bikin sendiri. Kau tidak becus!”

”Baik, Pak. Tapi di rumah Pak Lurah tidak ada siapapun. Bu Lurah sejak sore mengunci diri di kamar. Kata Marni, Bu Lurah masuk angin,” tutur Murjito.

”Bangunkan Marni. Suruh bikin kopi dan bawa pisang rebus!” Asromo meninju pilar pendopo, ”Bikin kopi saja susah setengah mati, apalagi mencari kunci teka-teki desa ini,” omel Asromo, keras, sengaja agar didengar anak buahnya. Para staf desa tak satupun ada yang bersuara. Semuanya menatap lantai, hanya Gimun yang memanfaatkan suasana hening itu untuk mencari mengupil dan daki di tangannya.

Beberapa detik kemudian Asromo berjalan ke tepian pendopo dan menatap kelam ke lembah perbukitan. Nafasnya berat dan lehernya menyembulkan otot. Tak lama kemudian ia menyapukan pandangan ke arah anak buahnya dan berucap:

”Malam ini, semua berjaga di balai desa, tanpa perkecualian!”

***

Gulita bertabur di setiap sudut Kemiren. Setiap jengkal Kemiren di bagian selatan yang tidak dialiri listrik mulai dari kawasan rumah Si Mbah sampai ke selatan, seperti tersaput jelaga. Bintang terlihat temaram di di langit, tak ada bulan. Jam baru merangkak beberapa menit dari pukul sembilan. Namun pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat dan tak terdengar nadi kehidupan. Di sepanjang jalan menuju Kali Randu, hanya ada beberapa rumah yang berandanya berlampu, itupun cuma lampu minyak yang bergoyang-goyang dihempas angin malam. Dari kejauhan, nyala lampu di beranda rumah penduduk seperti titik-titik kecil yang tak banyak memberi terang pada kelamnya malam.

Semakin jauh ke selatan, semakin jarang terlihat titik lampu minyak, kecuali titik-titik suram bintang di langit. Betul-betul gulita. Cuma cahaya lampu baterai Rio yang terlihat benderang.

Rio kini berdiri tak jauh dari jajaran kaliandra tempat Bu Lurah pernah membersihkan luka leher Rio. Di mana Candi? Mestinya di sini ia menunggu. Kesunyian benar-benar mencekam. Rio menebar cahaya lampu baterai ke sekeliling. Tiba-tiba ia dikejutkan suara berkeratak yang memecah sunyi. Bunyi itu bersahut sahutan, seperti suaara butir-butir kacang yang dikocok di dalam tabung bambu. Bunyi itu berasal dari jenis tumbuhan tak jauh dari Rio yang menurut dugaan Rio tergesek oleh gerakan manusia. Refleks Rio menyorotkan lampu ke arah bunyi itu. Candi menyeruak dari rerimbunan tumbuhan itu.

”Hebat! Pintar juga kau bisa sampai di sini,” kata Candi.

”Edan kau! Aku kaget, tahu!” semprot Rio. ”Suara apa yang berkerosok itu?”

”Itu suara biji-bijian pohon orok-orok. Orang desa sini menyebutnya ecek-ecek. Mau tahu nama latinnya, crotalaria sp. Buahnya hampir sebesar biji kacang, karena kering dan berongga, biji-biji di dalamnya menimbulkan bunyi gemericik,” kata Candi. Rio jengkel melihat Candi yang sepertinya tak berhenti mengguruinya untuk hal-hal yang sama sekali tidak penting.

”Jangan bengong begitu,” kata Candi, memetik satu buah orok-orok, ”lihat buah ini,” Candi menyorot buah itu. ”Setiap buah bersisi antara 6 sampai 15 biji.........”

”Stop! Boleh aku tanya?” kata Rio.

”Apa?”

”Kamu anggota PSTI, ya?”

”Apa itu PSTI?” tanya Candi.

”Persatuan Sok Tahu Indonesia. Tahu nggak, aku bosan kamu bicara tak penting begitu. Sekarang kita mau kemana?” ujar Rio ketus.

”Lho, kok tanya lagi? Kita turun ke bawah sana, mengikuti jalurku waktu dikejar si jebah. Kita cari tanah bergerak di dekat sebuah pohon besar. Lalu kita melorot ke bawah seperti aku kemarin. Jangan kuatir, aman kok, seperti main perosotan,” kata Candi, mulai memimpin Rio menuruni lembah dalam gelap.

Rio mengikuti Candi. Sungguh luar biasa semangat gadis ini. Ia tekun mencari jalur lari itu melewati pepohoan, gundukan, semak-semak belukar, dan tanda-tanda lain yang diingatnya. Setengah jam kemudian mereka menemukan posisi yang disebutkan Candi.

”Ini pohon besar itu. Tempat lorotan pasti ada di sekitar sini,” kata Candi.

Candi menyorotkan lampu. ”Nah, itu dia!” ia membuka segugus semak.

”Jadi lewat rerimbunan ini kamu terperosok ke bawah?” tanya Rio.

”Betul. Sekarang bersiaplah. Aku duluan, kamu menyusul setelah kau perkirakan aku sampai di dasar. Ingat, jangan ragu-ragu. Jangan takut,” Candi mengencangkan jaket dan menguak rerimbunan, dan mengambil ancang-ancang. Dengan pekik kecil tubuhnya luruh ke bawah. Rio menanti beberapa saat. Ketika dipastikan Candi sudah sampai di bawah, Rio menyusul. Jantungnya berdetak keras manakala tubuhnya meluncur deras ke bawah. Ia terjungkal sedikit ketika sampai di dasar perosokan. Candi sudah menanti tak jauh dari dasar perosokan dengan lampu baterai menyala.

”Mana gubug Probosangkoro?” tanya Rio.

”Itu di sana,” ia menyorot dengan lampunya, ”orangtua itu pasti terkejut kita datang berkunjung malam-malam begini”

Mereka melangkah ke arah gubug. Gubug itu gelap gulita.

”Aneh, Probosangkoro tidur tanpa penerangan sama sekali,” kata Candi.

”Tapi ada bekas bakaran yang menyala,” Rio menunjuk setumpuk sisa bahang yang masih hangat dan cercah sisa api di balik abu. ”Bahang ini masih baru. Kalau bukan untuk memasak, pasti buat memanaskan tubuh,” kata Rio.

”Probosangkoro tidak ada di dalam gubug,” lampu baterai Candi menjelajah bagian dalam gubug.

”Kemana dia?” kata Rio. ”Tak pernahkah kau tanya pada Probosangkoro ke mana ia pergi di malam hari?”

”Super sompret! Memangnya aku tahu bakal ke sini lagi malam-malam?” kata Candi.

Rio sibuk mengawasi bagian dalam gubug, Candi mundur beberapa langkah. Tak sadar kakinya berdiri di pinggiran kolam, dan batuan di pinggir kolam bergerak. Candi kehilangan kesimbangan. Ia tercebur diikuti buncahan air. Seluruh badannya terendam.

”Super sompret! Batu sialan. Candi berdiri dan merayap ke pinggiran kolam. Menggigil ia dalam pakaian basah. Ia menyisir rambutnya yang basah pula ke belakang. Rio menyorotkan lampu baterai ke muka Candi.

”Busyet! Kamu jelek sekali kalau basah kutup begitu,” kelakar Rio. Candi mengusap rambut, mencoba memeras air di rambut. Tubuhnya menggigil.

”Kau bisa masuk angin dengan baju basah begitu. Tanggalkan bajumu dan pakai jaketku,” Rio melepas jaket dan menyerahkannya pada Candi. Candi bersiap melepas jaket dan baju dalamnya.

”Eit. Tunggu dulu. Aku berbalik. Tak mau aku melihatmu telanjang dada sebelum kau jadi istriku,“ kelakar Rio lagi

“Memang siapa mau jadi istrimu?“ tukas Candi.

”Siapa saja boleh. Siapa tahu kamu,” kata Rio.

”Kau memang menyebalkan,” Candi mendekap tubuhnya seusai mengenakan jaket Rio. Kedinginan dia.

”Mau kupeluk biar hangat?” kata Rio asal-asalan, menggoda Candi. Candi tak menjawab. Itu tanda Candi tak keberatan. Rio merapatkan tubuh dan takut-takutmemeluk Candi. Candi tak protes dan membiarkan Rio menghangatkannya. Rio mematikan lampu baterai yang sedari tadi menyala.

”Lebih hangat sekarang?” tanya Rio. Candi mengangguk, dan merapatkan pelukannnya.

”Aku tahu sekarang, kau sengaja menceburkan diri ke kolam supaya....”

”Supaya apa?” tiba-tiba Candi melepaskan pelukannya.

”Supaya....supaya..... Eh, lihat dasar gubug itu terbuka,“ Rio menyorot gubug ketika terdengar suara berderak dalam gubug.

”Benar juga. Kok bisa?” tanya Candi.

Candi masuk ke dalam gubug dan memeriksa. Lantai gubug yang semula tertutupi dedaunan dan kain-kain kumal kini terangkat, menyisakan lubang menganga ke bawah yang berbau apek bercampur bau tanah. Tapi ketika Candi mendekati bukaan itu, tiba-tiba penutup yang tadi terangkat kembali berdebum ke bawah dan menutup rapat lubang itu.

”Aku tahu kenapa dasar gubug itu terbuka,” kata Rio sembari menyorotkan lampu senter. ”Lihat ada sepotong kau di pinggiran kolam,” Rio menginjak sepotong kayu mencuat di pinggir kolam yang terendam sedalam setengah meter. Dasar gubug terbuka lagi!

”Lantai gubug terbuka ketika kamu menyenggol kayu ini waktu kecebur kolam,” kata Rio.

”Aneh sekali. Ada sistem mekanis di gubug ini. Apa ada sesuatu di lubang menganga di gubug itu?” kata Candi.

”Probosangkoro pasti ada di lubang itu. Ayo kita cari tahu,” ajak Rio. Ia menginjak sekali lagi tuas kayu di kolam itu. dasar gubug terbuka lagi.

”Lihat, ada tangga kayu menurun,” Rio menyoroti lubang itu dengan lebih seksama.

”Oke, kita turun. Aku yakin ini tempat persembunyian lain Probosangkoro,” kata Candi.

Hati-hati mereka mulai menuruni tangga dengan rasa was-was. Lampu senter dijepit mulut. Kalau dihitung, ada 13 anak tangga yang masing-masing berjarak 25 centimer. Di bawah sana, mereka melihat sebuah gorong-gorong yang beratap dan berdinding tanah dengan penguat terbuat dari kayu malang melintang. Terowongan itu berlanjut ke kanan dan makin membesar, yang cukup untuk dua orang berpapasan. Jelas ini merupakan ruang rahasia. Di sinikah Probosangkoro tinggal?

Belum sempat mereka terkesima pada ruang rahasia itu, mereka dikejutkan oleh seberkas cahaya lampu minyak dari arah depan. Rio mencekal tangan Candi untuk menghentikan langkahnya, serta mendorong gadis itu menepis ke cekungan di dinding tanah. Berkas sinar itu berhenti mendadak, seakan pemegang lampu mengendus kehadiran Rio dan Candi.

Perlahan Candi mendekati lampu itu. Ia yakin itu pasti Probosangkoro. Dan benar saya, seorang tua berambut gondrong keperakan berdiri di sana. Terkejut orangtua itu melihat kehadiran Candi. Ia berbalik dan lari tertatih-tatih ke arah ia datang.

”Kakek Probo, tunggu! Ini saya, Candi,” teriak Candi. Tapi Probosangkoro terus berlari menyusuri lorong yang makin menjorok ke dalam.

“Kek, saya perlu bertanya. Desa Kemiren gawat. Kami harus tahu bukti yang ditinggalkan von Weisserborn pada Parto Sumartono. Ini penting, Kek!” teriak Candi sambil mengejar terus. Probosangkoro tetap berlari menjauh.

Candi dan Rio hampir bisa mendekati Probosangkoro ketika tiba-tiba saja dua orang lain datang dari arah berlawanan dengan lampu senter di tangan. Kedua orang itu membiarkan Probosangkoro lewat ketika berpapasan dengan mereka. Dan begitu orang yang terdepan kena sorot lampu baterai Candi, Candi terperangah.

“Si jebah!” pekik Candi.

“Dan si celana longgar di belakangnya!” pekik Rio pula.

Tanpa berpikir panjang, Candi langsung berbalik arah. Tapi mudah sekali si jebah mengaitkan kakinya ke kaki Candi. Candi jatuh bergulung.Si jebah langsung menindihnya dari belakang dan mengunci gerakan Candi.

Si celana longgar tak sulit pula mendapatkan Rio. Begitu Rio dekat dengannya, si celana longgar mengirim tinju yang langsung mendarat di jidat Rio. Rio terpental ke belakang dan kepalanya menghantam bentangan kayu di dinding tanah. Kepalanya berdenyut dan sebentar kemudian ia terkulai lemas.

Candi meronta-ronta dalam cengkeraman di jebah. Si celana longgar menyeret Rio yang setengah tak sadarkan diri ke lorong lebih ke dalam lagi.

Karena Candi terus berontak, si jebah jadi tak sabar. Ia angkat tubuh gadis itu dan memanggulnya dengan dengan kasar. Candi memukul-mukul. Tapi si jebah malah terkekeh-kekeh dengan suara menjijikkan.

Dari depan terdengar suara. ”Masukkan kedua bedebah ini ke ruang tertutup. Jangan diapa-apakan sampai Bapak datang,” ujar suara itu. Si jebah dan si celana longgar mengangguk. Mereka kemudian berbelok ke ruang berdinding tanah berlantai dedaunan kering. Terdengar rintihan Candi saat gadis ini dilemparkan dengan kasar ke lantai sebuah ruangan. Rio mengerang ketika ia dihempaskan ke lantai dengan kekasaran yang sama.

Kenapa bajingan-bajingan ini ada di tempat persembunyian Probosangkoro yang gelap gulita. Siapa Probosangkoro sebenarnya? Gerangan apa yang akan terjadi pada dua orang muda itu di sarang gulita ini?

(bersambung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline