Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Kaliandra (Novel Seru). Episode 10

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seorang tua lain dengan kisah tak terduga? Benarkah semua yang ia kisahkan itu? Sedemikian rumitkah misteri desa ini?

EPISODE 10

PROBOSANGKORO

Kecuali ‘super sompret’, Candi memang sengaja menahan suara manakala ia terperosok beberapa meter ke bawah mengikuti tanah bergerak di atas tadi. Sebenarnya ia ngeri juga meluncur deras ke bawah dalam gesekan tumbuhan liar berduri dan ujung-ujung akar di lajur lorotan itu. Tapi ia beruntung mengenakan baju lengan panjang dan celana jeans tebal. Jadi ia berusaha tenang saja mengikuti luncuran itu, sekitar 40 meter ke bawah.

Ia mendarat dengan kaki terlebih dahulu, dan hanya tergulung sedikit. Ia mendapati dirinya berada di sebuah kawasan asing. Selama seperempat jam ia menunggu sambil mempelajari sekitarnya. Si jebah di atas sana pasti sudah mengira ia mati karena terkikis ujung batuan tajam atau terantuk batu besar. Padahal, kalau dipikir-pikir, tempat ia mendarat ini tergolong empuk. Di dasar jurang ini ada tumpukan daun kering dan ilalang kering yang sengaja ditata rapi.

Candi duduk di tumpukan kering dan memeriksa anggota badan. Cuma goresan-goresan kecil di lengan. Tas pinggang utuh, dan kamera baik-baik saja, kecuali casingnya yang tergores di sana sini. Candi menatap tempat itu berkeliling. Tempat apa ini? Pohon-pohon di sekitarnya tumbuh subur dan rimbun, suhu lebih sejuk dan nyaman. Lokasinya benar-benar terlindung. Buktinya, dari tempat itu ia sama sekali tidak bisa melihat jauh, selain dinding-dinding pepohonan dan perdu liar.

Tak jauh dari tempat Candi duduk, ia mendengar suara gemericik air. Candi mendekat. Ada sebuah pancuran kecil sebesar ibu jari lewat sebatang bambu yang dibelah menjadi dua. Aliran air ini seerti disengaja dikumpulkan pada sebuah kolam kecil. Air kolam tampak bening, dengan kedalaman tak lebih dari satu meter.

Candi menangkupkan kedua telapak dan menggunakannya untuk mengais air. Sejuk sekali air pancuran itu membasuh muka, dan minum seteguk pastilah bukan gagasan buruk.

Puas minum dan membasuh muka, ia menebarkan pandangan berkeliling. Di mana-mana hanya pemandangan hijau dedaunan. Tapi tunggu dulu! Ada gubuk kecil sepuluh meter di arah kanan. Gubuk itu dibangun menjorok ke dalam tebing sehingga tak mudah terlihat dari permukaan tebing.

Perlahan Candi mendekati gubuk. Ia perhatikan baik-baik gubuk yang terbuat dari campuran kayu patahan pohon dan dedaunan. Ketika ia melongok ke dalam, ia tak melihat siapapunkecuali dua rantang logam yang kelihatan amat tua dengan onggokan kain menyerupai busana. Di depan gubuk, tiga bongkah batu ditata, melingkung bekas bakaran. Abu yang berserak di antara ketiga bongkahan batu itu tampak baru.

”Apa yang menarik dari gubukku, putri ayu?” tiba-tiba seuntai suara berat datang dari arah belakang. Terkejut Candi mencari arah suara itu. Seorang kakek, berambu putih, berkaos oblong kumal dan bercelana drill kumal kedodotan berdiri tak jauh dari Candi.

Candi mundur beberapa tapak. Terbungkuk si kakek mendekati Candi.

”Siapa kau?” tanya kakek, matanya yang berair memandang curiga.

”Saya Candi, tamu di desa ini,” kata Candi.

”Bagaimana kau sampai di sini? Tak ada jalan yang bisa dilewati untuk sampai ke sini”

”Saya datang dari atas sana, terperosok!” kata Candi.

”Terperosok?” ulang si kakek.

”Ya, melorot. Saya tengah berjalan di sana, lalu tanah bergerak dan saya terporosok ke sini, lumayan tinggi,” ujar Candi.

”Kamu tidak apa-apa?” tanya si kakek.

”Saya baik-baik. Mujur, tidak terluka secuilpun. Kakek tinggal di gubuk ini?” tanya Candi.

”Ya, sejak jaman Jepang,” ujar kakek.

”Jaman Jepang?”

”Ya, jaman Jepang. Tahun 1942-an,” si kakek berjalan tertatih menuju pancuran dan membasuh kaki.

”Namaku Probosangkoro. Aku orang Kemiren asli. Begitu istriku wafat, aku menyepi di tebing ini. Geen kinderen, geen familie,” Probosangkoro bicara bercampur bahasa Belanda.

”Kakek tak punya anak atau sanak keluarga?” tanya Candi.

”Lho, kan barusan saya bilang tadi, tak ada anak, tak ada keluarga,” ujar Probosangkoro.

”Oo, yang bahasa Belanda tadi?” kata Candi.

Probosangkoro terkekeh menatap Candi, ”jij tidak bisa bahasa Belanda?”

”Tidak. Di sekolah kami diajari bahasa Inggris,” kata Candi. ”Kakek tinggal sendiri di sini?”

Probosangkoro menoleh Candi. ”Apa ada kau lihat orang lain di sini?”

Candi mengernyitkan kening. Kakek ini bicara tangkas. Ia pasti bukan orang sembarangan.

”Kenapa tidak tinggal di desa, kan lebih nyaman?” tanya Candi. Probosangkoro tidak menyahut, juga tidak menoleh. Boleh jadi ia tidak suka pertanyaan Candi.

”Kau punya korek api?” tanya Probosangkoro.

”Tidak”

”Setiap bertemu orang asing, aku selalu minta korek api. Cuma itu yang kubutuhkan kalau kebetulan bertemu orang. Tiga tahun lalu ada pencari kayu bakar dari desa lain kesasar ke sini. Dia meninggalkan satu pak korek api kayu. Dia memberi aku celana dan kaos ini. Dia orang terakhir yang aku temui,” ujar Probosangkoro, ”tebing ini bukan tempat manusia hidup. Tak ada yang suka pergi ke sini”

Candi memperhatikan Probosangkoro berjalan mondar-mandir mencari kau bakar di sekitar gubuk. Candi membantu mengumpulkan satu dua kayu bakar dan mengikuti Probosangkoro meletakkan ranting-ranting itu di antara tiga bongkahan batu tungku. Ia kemudian mengambil beberapa potong singkong dari bagian depan gubuk dan meletakkannya di dekat tungku.

Candi duduk di tanah dan memperhatikan kesibukan kecil Probosangkoro. Orangtua ini menata ulang ranting-ranting di tungku. Sari saku celana ia mengeluarkan sepasang batu pemantik dan segumpal kapuk yang diambil dari buah randu. Gumpalan itu dilempar ke ranting-rantin kayu. Cekatan tangan Probosangkoro menggesek-gesek batu pemantik. Percikan api dari gesekan dua batu pemantik melahap kapuk kering di ranting dan sebentar kemudian membakar ranting-ranting kering itu. Ketika nyala api mulai membesar, Probosangkoro menjejalkan ranting-ranting lebih besar. Ketika ranting-ranting besar membara, ia menjejalkan beberapa barang ketela pohon ke dalam bara api.

”Ada kabar apa dari desa?” tanya Probosangkoro, mengipasi api dengan daun-daun tebal segar.

”Banyak kabar, Kek. Kakek mau dengar kabar apa?” tanya Candi.

”Apa saja,” kata Probosangkoro di tengah asap membumbung dari tungku batu.

”Selama tiga hari ini, desa Kemiren gempar!”

”Gempar?”

”Ya, Si Mbah Parto Sumartono dikeroyok orang di tengah malam, dipukuli pakai linggis. Sekarang Si Mbah belum bisa bangun,” kata Candi. Airmuka Probosangkoro berubah.

”Parto Sumartono dikeroyok orang? Mijn God! Waarom?” ujar kakek. ”Kenapa?”

”Kakek kenal Si Mbah Parto Sumartono?” tanay Candi.

Ja, zeker! Kenapa ada yang menganiaya dia?”

Setahap demi setahap Candi menceritakan peristiwa penyerangan terhadap Parto Sumartono.

“Waduh! Benar-benar vervelend orang-orang jaman sekarang. Sekarang kau baru tahu kenapa aku lebih suka menyepi di sini,” ujar Probosangkoro, duduk sebuah kursi bongkahan batu besar.

”Kau orang mana?” tanya Probosangkoro.

”Jakarta!”

”Ja...apa?”

”Jakarta, kek! Dulu namanya Batavia,” jelas Candi.

”Oh, bataafsche meisje, heh?” kata Probosangkoro.

”Apa itu?”

”Dara Batavia,” kata Probosangkoro. ”Benar-benarkah kau tidak bisa bicara bahasa Belanda?” Probosangkoro sulit percaya.

”Sama sekali tidak”

”Harusnya orang batavia bisa bicara Belanda.........heh...dari dulu perempuan Batavia cantik-cantik. Apa kau perempuan indo, kulitmu bersih?” tanya Probosangkoro.

”Saya orang Priangan, Kek. Sunda asli!” tutur Candi. ”Sekarangpun orang pribumi banyak yang berkulit putih, hidup bersih dan sehat,” kata Candi.

”Ya.....ya, kamu harus berterimakasih pada Soekarno. Orang itu yang kasih kamu orang merdeka, bukan?” ujar Probosangkoro terkekeh, memamerkan gusinya yang melepuh dengan sisa satu dua gigi yang hitam dan kotor.

”Bagaimana kakek bisa bicara bahasa Belanda?” usik Candi.

Di luar dugaan, senyum Probosangkoro tiba-tiba memudar. Tatapannya menerawan jauh dan nafasnya jadi berat. Candi menyesal mengajukan pertanyaan yang mungkin menganggu pikiran orangtua ini.

Mata Probosangkoro yang berair menatap Candi. Ia melepas ikat kepala terbuat dari kain yang sudah tak jelas warnanya. Rambut putih perak panjang tiba-tiba saja terburai beriring dengan lepasnya ikatan kepala. Probosangkoro kini terlihat seperti seorang pertapa.

”Ketika aku masih muda, mungkin seusia kau, banyak orang asing, termasuk orang Belanda, datang dan pergi ke desa Kemiren. Mereka mencari balung butho, peninggalan-peninggalan kuno yang menurut mereka banyak bersemayam di perut Kemiren,” Probosangkoro berhenti bicara dan memeriksa singkong yang masih terbenam dalam bara kayu dengan sebatang ranting.

”Tepian sungai di seberang itu, tak henti-hentinya digali,” tangan renta Probosangkoro menunjuk ke satu sarah, ke semak-semak yang menghadap tebing curam Kali Randu. ”Pinggiran Kali Randu memang memendam peninggalan sejarah yang katanya kemudan terkenal di seluruh dunia. Banyak pemuda desa juga ikut terlibat dalam kerja penggalian sebagai buruh gali. Orang asing yang paling lama tinggal di sini adalah Kristoff von Weissernborn. Ia menggali siang malam, selama hampir lima tahun. Aku salah satu pemuda yang membantunya. Upahnya sehari sekeping uang kuningan, yang cukup buat makan sekeluarga selama dua hari. Hasil galian dibawa ke balai desa lama yang sekarang ditempati Parto Sumartono,” Probosangkoro berhenti bicara. Ia menusuk-nusukkan ranting lagi ke arah singkong bakar untuk melihat apakah singkong bakar siap disantap. Candi membetulkan tempat duduknya, mulai menikmati dongeng si kakek.

”Suatu sore, ketika aku dan Parto menggali, di antara bongkahan tanah sangkulku menderak beberapa kepal batu keras berbentuk aneh. Aku menunjukkan pada Parto. Parto kemudian meneriaki von Weissernborn yang sedang memimpin penggalian agak jauh dari pinggiran Kali Randu bersama seorang pemuda desa bernama Kuntoro,” kata Probosangkoro. ”Bongkahan batu itulah yang kemudian dikenal sebagai fosil rahang phitecanthropus erectus yang dicari-cari von Weissernborn,” Probosangkoro berhenti bicara. Ia mengais singkong dari bakaran dan mengumpulkannya pada selembar daun segar.

”Lalu, kek?” tak sabar Candi ingin si kakek terus berkisah.

”Von Weissernborn kemudian menghadiahi aku dan Parto sepuluh kali lipat upah biasa. Parto senang, tapi aku tidak,” Probosangkoro tertunduk, wajahnnya bertabur duka.

”Kenapa, Kek?” tanya Candi.

”Tigabelas hari kemudian, setelah von Weissernborn membawa balung-balung butho itu ke Bandung dengan kereta api, aku selalu bermimpi buruk. Setiap malam aku merasa didatangi seorang besar dengan tubuh penuh bulu. Rahangnya menyeringai, bertaring pendek dan berjalan membungkuk”

”Menurut Kakek, siapa mahkluk itu?” tanya Candi.

”Entahlah. Tapi dalam mimpi-mimpiku makhluk itu bilang ia sudah mata beratus-ratus ribu tahun lalu dan menghuni tanah Kali Randu dengan damai. Ia minta bagian-bagian tulangnya tidak dipindahkan dari tempatnya. Aku turut berdosa memindahkan tulang-tulang itu dari kuburnya yang abadi. Semula aku tahan dengan mimpi-mimpi buruk itu, tapi setahun lebuh kemudian, ketika istriku mati tanpa sebab jelas, aku benar-benar tak tenang,” Probosangkoro tertunduk.

”Lurah tua, bapaknya Parto Sumartono yang memberi ijin von Weissernborn untuk membawa fosil-fosil itu keluar Kemiren juga meninggal dua tahun kemudian. Itulah sebabnya, ketika von Weissernborn kembali dari Bandung dan berniat memberi hadiah padaku, aku bikin perjanjian dengan Parto Sumartono”

”Perjanjian apa?” sela Candi.

Probosangkoro tak lekas menjawab. Ia pandangi Candi sedemikian rupa seolah ingin terlebh dahulu memastikan gadis ini bisa dipercaya untuk menyimpan sebuah rahasia. Orangtua itu menarik nafas beberapa saat sebelum bicara.

”Sebetulnya.....akulah Parto Sumartono, di Si Mbah Parto Sumartono yang kau kenal itu adalah Probosangkoro,” kata si kakek.

Candi tertegun, sulit mempercayai informasi di luar dugaan itu.

”Kau boleh tak percaya. Kami bertukar nama. Aku relakan penemuanku diakui orang lain. Aku yang minta itu,” Probosangkoro menatap Candi, dan berjalan ke arah gubuk. Dari baling dinding keropos gubuk, ia meraih sebuah foto kusam. Ia menunjukkan foto dirinya dan foto seorang pemuda lain yang mirip dirinya berdiri mengapit seorang bertampang bule.

”Yang di tengah itu von Weissernborn,“ Probosangkoro menunjuk. “Yang di kanan Probosangkoro asli, dan yang kiri Parto Sumartono asli.

“Jadi, si Mbah Parto Sumartono itu sebenarnya adalah Probosangkoro. Dan Kakek ini adalah Parto Sumartono?“ tegas Candi.

“Ya,“ Probosangkoro menelan ludah.

“Apakah von Weissernborn tahu ini?“ tanya Candi.

“Tidak. Ia selalu mengalami kesulitan membedakan aku dan Parto. Lihatlah, wajak dan perawakan kami memang sulit dibedakan. Ketika pecah perang Jepang dengan Belanda, sebagian pemuda bergabung dengan tentara Jepang, dan aku memilih menyepi di sini. Probosangkoro kuminta menempati balai desa dengan Nama Parto Sumartono, sementara orang-orang mengira aku ikut berperang bersama tentara Jepang dan tewas di medan perang. Von Weissernborn tak tahu kesepakatanku dengan Parto Sumartono. Ia mengira Probosangkoro itu benar-benar Parto Sumartono,“ kakek itu menatap dengan pandangan kosong.

Meski lamban, Candi berusaha memahami logika cerita sang Kakek. Untuk sementara, tak alasan lain selain percaya pada kisah tak terduga orangtua ini.

”Tak usah kau terpengaruh ceritaku. Tetap saja sebut aku Probosangkoro, sebagaimana aku tadi mengenalkan diri padamu. Dan aku berharap kau rahasiakan keberadaanku di sini. Aku tahu kau bisa dipercaya”

Candi iba melihat airmuka orangtua itu. Meski terlihat sedih, kerut kulit dan bercak renta kakek ini seolah menyiratkan kelegaan ketika sebuah rahasia panjang telah tertumpah.

”Saya benar-benar ingin tahu,” Candi duduk mendekat, ”Kenapa kakek mau menceritakan ini pada saya?”

Probosangkoro mengusap mata.

”Aku telah mengasingkan diri hampir tigaperempat umurku. Mataku telah lamur, gigiku ompong, tulangku makin lemah, dan tubuhku gemetar. Ini pertanda ajal siap menjemput. Bukan tidak mungkin kaulah orang terakhir yang kulihat sebelum aku menutup mata selamanya,” tutur Probosangkoro. Candi tak berkata-kata. Pertemuan dengan kakek ini sungguh menambah keruwetan misteri desa ini.

”Aku sedih Parto dianiaya orang,” kata Probosangkoro. Candi tadinya hendak menceritakan soal surat dari Beland yang diterima Pak Lurah. Tapi ia kuatir ini hanya akan menambah gundah Probosangkoro.

”Nah, ketela ini sudah siap dimakan. Ambillah,” Probosangkoro menjumput satu bongkah ketela pohon dari pembakaran. Ia juga memberikan sebuah daun lebar untuk alas makan.

Candi meniup-niup ketela yang masih panas mengepul dan makan sedikit demi sedikit.

”Kini aku lega. Kabarnya orang desa punya penghasilan baru dengan menjual barang-barang kerajinan mirip peninggalan purbakala. Aku senang penggalian ini bisa membawa berkah di saat kemarau panjang tak mampu menyuburkan tanah. Lariskah dagangan orang-orang itu?” tanya Probosangkoro.

”Lumayan,” jawab Candi mengunyah ketela rebus. Probosangkoro menyimak berkeliling dan menatap Candi.

”Sebentar lagi sore. Sebaiknya kau segera pergi. Kau tahu jalan keluar dari sini?” tanya Probosangkoro.

”Tidak!”

”Ini agak sulit. Tapi harus dicoba,” Probosangkoro berdiri dan menunjuk ke kiri. ”Kau susuri semak-semak liar itu menuruni bukit. Tak ada bekas tapak kaki. Kau harus gunakan akal dan kecerdasanmu. Nanti kau akan tiba di pinggiran sungai di lembah sana. Dari lembah itu kau harus susuri sungai ke arah kanan, lalu berbalik ke arah matahari tenggelam sampai ketemu jalan setapak yang akan mengantarmu ke arah jalan setapak lebih besar. Ikuti terus sampai menemukan jalan besar,” kata Probosangkoro.

”Baiklah,” Candi menyeka mulut. Ia menjamah kamera dan menyiapkan lampu kilat.

”Apa itu?” tanya Probosangkoro.

”Alat potret. Saya mau ambil gambar kakek dan gubuk ini”
Nee. Nee. Niet doen!
Jangan lakukan itu,” mata Probosangkoro melotot. Rupanya ia

menolak dipotret. Candi menyesal tak sedari tadi ia mencuri-curi memotretnya.

Candi mengurungkan niatnya. ”Saya pergi dulu, Kek!” kata Candi.

”Cepat pergi, dan ingat jangan pernah sebut namaku dan lokasi gubuk ini. Aku sudah cukup senang tinggal di sini sampai akhir hayat,” kata Probosangkoro.

”Saya berjanji. Terimakasih ketela bakarnya. Enak sekali,” perlahan candi melangkah ke arah semak-semak yang dimaksud Probosangkoro. Ia menoleh ke belakang dan mencari peluang memotret si kakek dari kejauhan. Sejumlah jepretan ia buat. Sayang ia tidak membawa lensa jauh. Namun, gambar Probosangkoro di depan lingkungan gubuknya yang asri dari kejauhan itu cukuplah sudah.

Candi kemudian menyapukan pandangan beberapa saat lamanya ke atah ruang terbuka yang sempit di seputaran gubuk. Tatapan terakhir ke arah Probosangkoro merupakan cara yang ia sukai untuk berpamitan kepada orangtua itu.

Setengah jam lamanya Candi menghabiskan waktu untuk menembus perdu-perdu liar dengan pohon-pohon besar tanpa adanya petunjuk jalan. Benar kata si kakek, ia perlu akal sehat,kecerdasan, dan matahari untuk bisa menemukan jalan dan tidak tersesat. Kalau ia tersesat tanpa sinar matahari, akan kacaulah perjalanan pulang ini. Bermalam di hutan sendirian tanpa makanan bukanlah ide yang baik.

Beruntung, pada saat hari mulai redup ia baru sampai di lembah di kaki tebing-tebing pinggiran Kali Randu. Dengan petunjuk sisa-sisa pendar sore sinar mentari, ia berharap bisa sampai di jalan besar menuju ke rumah Bu Parmi sebelum hari benar-benar gelap.

Sepanjang perjalanan otak Candi dikecamuki berbagai pikiran. Akankah Probosangkoro menjadi cerita besar untuk Rio dan Wolfgang, dan mungkin juga untuk Pak Lurah, atau untuk seluruh desa Kemiren?

Dan pikirannya kini tertuju pada Rio. Kalau ia sendiri terselamatkan dari cengkeram di jebah karena terperosok ke jurang, bagaimana dengan nasib Rio yang diuber-uber si celana longgar? Candi ingin segera tahu kabar Rio.

(bersambung)

catatan :

jij = kamu (bahasa Belanda)

ja, zeker = ya, tentu saja (bahasa Belanda)

nee = tidak (bahasa Belanda)

niet doen = jangan lakukan (bahasa Belanda)

vervelend = kurang ajar (bahasa Belanda)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline