Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Nasi Bungkus, Fenomena Paling Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemasan nasi di dunia ini boleh beragam dan bermacam-macam, tapi hanya satu yang so Indonesian, Indonesia banget, asli Indonesia. : nasi bungkus.

[caption id="attachment_106659" align="aligncenter" width="400" caption="Nasi bungkus dalam rupa paling sederhana (foto : gideonidea.wordpress.com)"][/caption]

Nasi bungkus bisa dengan mudah diproduksi oleh siapa saja dengan sarana pembungkus apa saja. Konten nasi bungkus bisa menu apa saja (kalau pakai kuah, kuahnya ada dalam bentuk komplimen yang diplastiki), produk kuliner tradisional Indonesia mana saja, dan boleh disantap di mana saja, tanpa perlu aturan dan tempat yang mapan, tidak perlu table manner. Bahan pembungkus bisa hadir dalam berbagai wujud : daun pisang, daun lain yang lebar, kertas koran, kertas berlapis plastik, plastik dan sebagainya.

Www.wikipedia.com mendifinisikan nasi bungkus sebagainasi putih beserta lauk untuk satu orang yang dibungkus daun pisang beralas kertas, agar bisa dibawa dan dimakan di tempat lain. Nasi bungkus bukan nama jenis makanan melainkan cara mengemas makanan.

Waktu teman bule bertanya apa itu nasi bungkus, saya bikin definisi sendiri : a complete rice meal for one that is tightly wrapped in plastic or paper sheet, or leaf. Lebih jauh, untuk diri saya sendiri, dan untuk kepentingan kontes blog Paling Indonesia gaya Telkomsel, saya mendefiniskan nasi bungkus sebagai tarikan nafas Nusantara, kesederhanaan khas Indonesia,instant meal amenity Indonesia banget dan sarana diplomasi sosial, budaya serta politik mujarab Indonesia, yang bisa menembus batas-batas status sosial.

[caption id="attachment_106660" align="aligncenter" width="403" caption="Nasi bungkus : simpel, praktis, whenever, whoever, wherever (foto : ruang-unikz.blogspot.com)"][/caption]

Tak percaya? Mari kita buktikan.

Sediaan/bantuan pangan apa yang paling cepat, tepat situasi dan instan untuk korban-korban bencana alam? Nasi Bungkus. Bayangkan bila sumbangan direncanakan dalam bentuk nasi delivery order dari resto-resto bermerek? Korban pasti keburu kelaparan. Kotak karton dan styrofoam bakal makan banyak tempat dan waktu persiapan. Nasi Bungkus tak pelak lagi adalah bagian kesetiakawanan nasional dan wujud empati sesama manusia. Ini contohnya. Ketika ratusan truk dan sopirnya terjebak antrian panjang di pelabuhan Merak (4 Maret 2011), puluhan wanita dari Majelis Taklim Al-Amin Perumahan Puri Krakatau Hijau Grogol, Kota Cilegon, memberi bantuan 1.500 nasi bungkus ke ribuan awak truk yang mengantre di dalam jalan Tol Merak. Ini karena warga setempat berempati pada para supir truk yang sulit melakukan aktifitas lainnya seperti mandi dan makan (www.republika.co.id). Berupaya membantu korban letusan Merapi, para relawan di Yogyakarta memanfaatkan Twitter untuk menggalang bantuan. "Kami membutuhkan 6.000 nasi bungkus malam ini. Ada yang bisa bantu?" seorang relawan di Sleman menulis di Twitternya. Pengguna Twitter lainnya segera menyahut. "Wilayah Jogja dan sekitar Magelang mana yang butuh nasi bungkus? Kami @jogjaliner punya banyak," tulis seorang bernama Arya_masteur. (www.tempointeraktif.com). Saking hebatnya semangat nasi bungkus sebagai simbol kesetiakawanan dan kebersamaan sosial itu, di Jogja (di titik nol kota Jogja) berdiri sebuah monumen nasi bungkus setinggi tiga meter. Sebelum dipasang, monumen nasi bungus diarak dulu keliling kota. Usai mengarak monumen nasi bungkus, warga bersama sama menyantap nasi bungkus yang dibagikan ibu-ibu dari buruh pasar Bringharjo Yogyakarta. Asyik, kan? Sayang monumen itu hanya berdiri dari Januari sampai Maret 2011. [caption id="attachment_106661" align="aligncenter" width="403" caption="Monumen nasi bungkus di Jogja (foto : pedulimerapi.sketz.co.id)"][/caption] Nasi bungkus juga ternyata ampuh sebagai alat diplomasi untuk meredam anarki massa. Saya masih ingat, pada tahun 1990-an, ketika suporter sepak bola Persebaya yang dikenal dengan nama ’Bonek’ balik dari Jakarta (dalam kemaraham karena Persebaya kalah), naik kereta api Gaya Baru malam. Para Bonek melempari setiap setasiun yang mereka lewati dengan batu yang mereka kumpulkan dari pinggiran rel.  Pada tengah malam kereta api harus berhenti di Joga. Apa jadinya kalau stasiun Jogja diamuk Bonek? Polisi dan pengelola stasiun putar akal cari cara antisipasi. Di titik inilah nasi bungkus ambil peranan. Polisi dan pihak stasiun berlomba dengan waktu menyiapkan 5.000 nasi bungkus dengan mengerahkan seluruh warung nasi yang ada di seputaran stasiun. Ketika kereta tiba di stasiun Jogja, sengaja kereta diarahkan ke lintasan yang diapit rangkaian gerbong-gerbong barang di kanan kiri, lalu kepala stasiun bicara lewat pengeras suara, ”Selamat datang sahabat-sahabatku suporter Persebaya. Kami tahu Anda semua haus dan lapar. Kami sediakan gratis nasi bungkus dan air mineral gelasan untuk Anda. Selamat makan!”. Dan nasi bungkuspun habis dilalap; para suporter anarkis lupa  pada rencana mereka memporakporandakan stasiun Jogja dengan aksi anarkis mereka.

Apakah nasi bungkus bisa pula beralih fungsi jadi alat kritik sosial sekaligus alat timpuk yang efektif? Begitulah adanya.

Bupati Lampung Timur, Satono dilempar nasi bungkus oleh massa yang berunjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Lampung (25 April 2011). Massa menuntut penegakan hukum terhadap sang bupati yang didakwa mengkorupsi dana APBD sebesar Rp 119 miliar (www. tribunenews.com).  Nasi bungkus seharga Rp 4.000 bisa menjadi alat protes untuk korupsi Rp 119 miliar.

[caption id="attachment_106662" align="aligncenter" width="359" caption="(Silakan ambil satu-satu, jangan rebutan. Yang karetnya hijau, pedes) (foto : pedulimerapi.sketz.co.id)"][/caption]

Masihkah Anda sangsi bila Nasi Bungkus adalah fenomena yang paling Indonesia? Yuk, makan nasi bungkus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline